Diumumkan kepada seluruh mahasiswa Program Sarjana Terapan, Sarjana, Profesi, dan Pascasarjana Universitas Gadjah Mada bahwa ada sedikit perubahan pada informasi pendaftaran ulang dan pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) Semester Gasal Tahun Akademik 2025/2026. Dokumen terbaru dapat diunduh pada tautan berikut: http://ugm.id/ralatpendaftaranulang
Yogyakarta, 4 Juli 2025 — Kalau kita berbicara soal nasi goreng Taiwan, asal-usulnya sebenarnya cukup sederhana dan lekat dengan tradisi keluarga di Tiongkok bagian selatan, khususnya dari Fujian dan Guangdong. Bayangkan, banyak keluarga di sana yang biasa memanfaatkan nasi sisa semalam daripada dibuang, nasi itu digoreng cepat dengan telur, daun bawang, dan sedikit daging seperti udang atau char siu. Yang paling penting, mereka ingin nasi itu tetap terasa kering dan butiran-nya terpisah, bukan lengket seperti nasi yang baru matang. Rasanya sederhana, tapi penuh kehangatan rumah.
Salah satu contoh sukses nasi goreng Taiwan yang menembus pasar internasional adalah seri nasi goreng dari restoran terkenal Din Tai Fung. Nasi goreng udang Din Tai Fung terkenal dengan teksturnya yang kering, nasi yang tidak lengket dan tidak berminyak, serta teknik penggorengan yang sangat presisi. Selain nasi goreng udang, nasi goreng dengan iga babi goreng juga menjadi menu klasik favorit. Potongan iga babi digoreng hingga renyah di luar namun tetap lembut di dalam, lalu disajikan bersama nasi goreng gurih, menciptakan perpaduan rasa dan tekstur yang seimbang. Hidangan ini memperlihatkan bagaimana Taiwan mampu mengangkat masakan sederhana seperti nasi goreng menjadi kuliner berkualitas tinggi.
Dibandingkan dengan nasi goreng Indonesia, nasi goreng Taiwan cenderung memiliki cita rasa yang gurih, ringan, dan sederhana. Umumnya dimasak dengan bahan-bahan dasar seperti daun bawang, bawang putih, telur, dan kecap asin, lalu digoreng cepat dengan api besar. Gaya memasaknya menekankan pada keterampilan teknik, khususnya dalam menciptakan “wok hei” (aroma khas dari wajan panas) dan tekstur nasi yang kering serta butiran yang terpisah. Komposisi bahan biasanya lebih minimalis, dengan fokus pada rasa asli dari bahan utama.
Sebaliknya, nasi goreng Indonesia menampilkan rasa yang lebih kuat, kompleks, dan berlapis-lapis. Selain penggunaan kecap manis dan terasi sebagai bumbu utama, nasi goreng Indonesia juga sering diperkaya dengan berbagai sumber protein dan pelengkap seperti ayam, daging sapi, udang, bahkan tempe goreng dan sosis. Orang Indonesia juga biasa menyajikan nasi goreng bersama tempe, telur ceplok, irisan mentimun, tomat, serta kerupuk, menciptakan hidangan yang mengenyangkan sekaligus menarik secara visual.
Perbedaan ini mencerminkan perbedaan budaya kuliner: di Taiwan, terdapat penekanan pada rasa murni dan keterampilan memasak yang halus, sedangkan di Indonesia, lebih menonjolkan keharuman bumbu dan kekayaan rasa yang kompleks. Nasi goreng Taiwan bisa dikatakan sebagai masakan rumahan yang sederhana dan tenang, sementara nasi goreng Indonesia lebih seperti sajian penuh warna yang mencerminkan identitas budaya. Meskipun keduanya sama-sama disebut “nasi goreng”, dalam konteks budaya yang berbeda, mereka menunjukkan estetika dan filosofi kuliner yang sangat kontras.
[National Chengchi University, Pan Ke En]
Yogyakarta, 2 Juli 2025 – Dalam Seminar Kajian Melayu-Jawa Semeja IV hari ini, salah satu judul yang dipresentasikan adalah “Warisan Budaya dan Komunitas Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengalaman Gastronomi Generasi Z” , yang disampaikan oleh Nur Madiha Arisha Binti Mohd Subri dari Internasional Islamic Universitas Malaysia (IIUM) .
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi teori pangan dengan menggunakan Penang sebagai studi kasus, guna mengidentifikasi faktor-faktor utama yang memengaruhi pengalaman wisata kuliner Generasi Z.
Menurut Madiha, Penang sering disebut sebagai ibu kota makanan Malaysia. Berbagai hidangan dari beragam negara dan budaya di sana menarik perhatian Generasi Z. Di era digital, konten visual yang menarik di platform seperti Instagram dan TikTok semakin memperkuat daya tarik Penang, mengubah makanan pasar tradisional menjadi objek wisata yang populer melalui penceritaan yang dinamis.
Kerangka teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Foodscape (Bentang Pangan), yaitu pandangan bahwa makanan tidak hanya untuk penghidupan, tetapi juga mencerminkan identitas budaya, nilai sosial, dan simbolisme estetis. Faktor-faktor ini memengaruhi motivasi masyarakat, khususnya Gen Z, untuk mencoba makanan pasar di Penang.
Untuk memperoleh data, Madiha menyebarkan kuesioner daring kepada warga Melayu dan orang asing berusia 18 hingga 28 tahun di Malaysia. Hasil survei dianalisis menggunakan metode Cronbach’s Alpha, yang menunjukkan bahwa semua faktor yang diteliti pengalaman budaya, daya tarik visual makanan di media sosial, harga yang dirasakan, dan niat untuk berwisata kuliner memiliki tingkat reliabilitas yang sedang.
Temuan Penelitian :
- Pengalaman budaya memiliki nilai korelasi tertinggi, menunjukkan bahwa unsur budaya merupakan faktor paling berpengaruh dalam mendorong Generasi Z untuk mencoba makanan pasar di Penang.
- Daya tarik makanan di media sosial menempati posisi kedua, menunjukkan pentingnya stimulasi visual digital dalam membangkitkan minat.
- Harga yang dirasakan, meskipun pengaruhnya lebih rendah, tetap menjadi pertimbangan penting setelah aspek budaya dan sensorik.
- Niat untuk berkunjung menunjukkan konsistensi sedang, yang mengindikasikan bahwa ketiga faktor utama di atas secara bersama-sama memengaruhi minat Generasi Z dalam wisata gastronomi.
Secara keseluruhan, pengalaman budaya dan daya tarik sensorik makanan berperan signifikan dalam membentuk niat Generasi Z untuk melakukan wisata kuliner di Penang. Konten visual di media sosial seperti TikTok dan Instagram mampu membangkitkan antisipasi emosional dan ketertarikan terhadap destinasi. Hasil penelitian ini mendukung teori Foodscape, yang memandang makanan sebagai medium budaya yang simbolis dan estetis.
Menariknya, harga tidak menjadi faktor dominan yang menunjukkan bahwa Generasi Z lebih mengutamakan pengalaman yang otentik daripada sekadar keterjangkauan. Konten digital tidak hanya berfungsi sebagai alat promosi, tetapi juga menjadi bagian dari pengalaman pra-konsumsi yang membentuk ekspektasi dan keterikatan emosional dengan destinasi kuliner.
[National Chengchi University, Pan Ke En]
Yogyakarta, 1 Juli 2025 – Untuk mendorong pertukaran akademik internasional dan pembelajaran lintas budaya, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada(UGM) bekerja sama dengan National Chengchi University (NCCU) dari Taiwan.
Tahun ini, FIB menerima tiga mahasiswa magang dari Taiwan. Salah satunya adalah Wu Yu-Han, yang juga dikenal dengan nama Indonesia Dewa Angerputra. Dia akan memanfaatkan kesempatan magang ini untuk menerapkan kemampuan bahasa Indonesia dan bekerja di bagian Humas FIB. Kedatangannya juga memberikan semangat baru dalam dinamika internasional di lingkungan kampus.
Sebagai salah satu lulusan pertama Jurusan Bahasa dan Budaya Asia Tenggara (kelompok Indonesia), Dewa sudah menempuh berbagai mata kuliah bahasa Indonesia berintensitas tinggi selama empat tahun masa kuliah. “Pengalaman ini menumbuhkan perspektif internasional saya dan kemampuan berkomunikasi lintas budaya dan bahasa,” katanya.
Untuk membuktikan apakah kemampuan bahasanya benar-benar dapat diterapkan di lingkungan kerja di Indonesia, Dewa memilih untuk magang di bagian Humas FIB UGM.
Di Humas, Dewa bertugas membuat konten berita, menulis laporan kegiatan, dan mendokumentasikan acara universitas. Dia merasa ilmu menulis dari kampusnya di Taiwan sangat berguna, tapi ternyata tantangan sebenarnya justru muncul saat harus berbicara langsung dengan teman-teman kerja.
Dewa bercerita, memahami perbedaan penggunaan bahasa formal dan informal adalah hal yang sangat penting di lingkungan kerja. “Tetapi, meskipun saya dapat membaca buku atau laporan berita, kadang-kadang saya tidak dapat langsung memahami isi percakapan teman-teman di sekitar saya, karena mereka sering menggunakan bahasa sehari-hari yang sangat kasual,” ujarnya.
Kesulitan beradaptasi dengan bahasa sehari-hari malah membuat Dewa semakin semangat mengasah kemampuan komunikasinya. Menurutnya, karena hal ini, dia bisa mempelajari pengetahuan baru, mulai dari cara menulis berita hingga koordinasi dengan rekan kerja lintas budaya.
Di masa depan, Dewa berharap dapat melanjutkan pengalaman internasionalnya di bidang kajian hubungan internasional, khususnya terkait kerja sama dan pertukaran bahasa serta budaya Asia Tenggara, agar dapat mempererat hubungan antara Taiwan dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Dia juga ingin memperkenalkan budaya Taiwan kepada teman-teman di Indonesia, seperti pasar malam. “Ketika saya berjalan-jalan di Jogja, saya selalu melihat pedagang kaki lima yang menjual makanan khas Indonesia, itu sedikit mirip dengan suasana pasar malam di Taiwan.” Jadi kalau ada kesempatan, Dewa ingin juga membawa teman-teman Indonesia mencoba jajanan tradisional Taiwan, seperti Tahu busuk, katanya.
Dengan semangat belajar lintas budaya dan kemampuan bahasa yang mumpuni, Dewa percaya pengalamannya di FIB UGM dapat menjadi pijakan penting untuk perjalanan karier internasionalnya di masa depan.
[National Chengchi University, Wang Hui Chen]
Jakarta, 28 Juni 2025 – Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea FIB UGM kembali menunjukkan kiprahnya dalam ajang bergengsi The 23rd K-Speech Contest yang diselenggarakan oleh K-Speech Eloquence Association Indonesia di Lotte 360 Shopping Avenue, Jakarta. Acara yang mempertemukan berbagai universitas di Indonesia ini menjadi wadah untuk menampilkan kemampuan berpidato dalam Bahasa Korea sekaligus memperkenalkan pertunjukan budaya.
Tim UGM tiba di lokasi sebelum pukul 09.00 WIB untuk melakukan gladi resik. Sebagai bagian dari pertunjukan, tim talchum (tari topeng Korea) menampilkan tarian khas Korea sebagai representasi budaya Korea yang dibawakan oleh UGM. Perlombaan kemudian dimulai dengan kategori big group, yang diikuti oleh tim dari UNAS, UGM dan UI.
Tim big group UGM yang berjumlah 20 orang, berhasil meraih Juara Pertama dan berhak membawa pulang hadiah sebesar Rp5.000.000 beserta medali. Kemenangan ini menjadi hasil dari kerja keras tim yang telah berlatih secara intensif dan menunjukkan kekompakan di atas panggung.
Setelah kategori big group, perlombaan dilanjutkan ke kategori individu dan tim kecil (2–3 orang). UGM mengirimkan perwakilan individu, Oryza Sativa Rosyadi (angkatan 2023), yang menyampaikan pidato berjudul “Impian dari Pemuda.” Sementara itu, pada kategori tim kecil, UGM mengirimkan dua tim. Tim pertama beranggotakan Adzini, Layla, dan Mulya. Mereka membawakan pidato dengan mengangkat tema tentang persamaan hak untuk teman-teman yang menggunakan bahasa Isyarat. Tim kedua yang beranggotakan Tamara, Theresia, dan Nasywa, membawakan orasi tentang peran fans Kpop dalam demokrasi saat ini baik di Korea dan di Indonesia. Meskipun belum berhasil meraih kemenangan di kategori individu dan tim kecil, seluruh peserta dari UGM telah menunjukkan performa terbaik mereka dan mendapatkan pengalaman berharga yang membekas.
Para peserta dari Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea UGM membagikan kesan dan pesan mereka usai mengikuti The 23rd K-Speech Contest. Theresia Chindyawati, mahasiswa angkatan 2024, mengungkapkan bahwa berpidato dalam grup kecil menjadi pengalaman yang baru dan sangat berkesan. Bagi Theresia dan timnya, kemenangan bukanlah tujuan utama. Dapat berdiri di atas panggung dan menyampaikan pidato yang telah mereka siapkan dengan sungguh-sungguh sudah menjadi kebanggaan tersendiri. Ia juga menyampaikan rasa terima kasih kepada para dosen dan teman-teman atas bimbingan dan dukungan yang diberikan. Melalui pengalaman ini, ia menyadari bahwa berbicara di depan umum ternyata tidak semenakutkan yang dibayangkan, justru memberikan semangat baru untuk lebih berani dan percaya diri ke depannya.
Sementara itu, Difta Sakina dari angkatan 2023 juga mengaku mendapat pengalaman yang sangat berkesan saat mengikuti kategori Big Group. Ia menekankan pentingnya kekompakan, kerja sama, dan rasa saling percaya dalam satu tim. Difta pun menyampaikan apresiasi kepada Ibu Alfiana selaku dosen pembimbing, serta kepada para dosen dan teman-teman yang terus memberikan dukungan selama proses latihan hingga tampil di panggung. Baginya, proses menyatukan suara, peran, dan semangat dalam satu tim besar bukan hal yang mudah, namun sangat bermakna.
Di sisi lain, Oryza Sativa Rosyadi, juga dari angkatan 2023, untuk pertama kalinya mengikuti kompetisi pidato Bahasa Korea kategori individu secara luring. Ia mengungkapkan perasaan campur aduk—gugup, takut lupa teks, namun juga antusias karena mendapat kesempatan menyampaikan pidato di hadapan banyak orang. Menurutnya, kemenangan hanyalah bonus, sementara pengalaman tampil di atas panggung dan berbicara sepenuh hati menjadi pelajaran paling berharga. Ia yakin pengalaman ini akan sangat membantunya untuk berkembang di masa depan.
Partisipasi mahasiswa Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea UGM dalam ajang The 23rd K-Speech Contest tidak hanya mencerminkan kemampuan berbahasa Korea yang mumpuni, tetapi juga semangat dan keberanian. Melalui pengalaman ini, para peserta pulang membawa prestasi dan pembelajaran berharga yang membangun rasa percaya diri dan semangat untuk terus berkembang.
Penulis: Nisa Khairuna Sabilla dan Sherina Azmi