• About UGM
  • Academic Portal
  • IT Center
  • Library
  • Research
  • Webmail
  • Informasi Publik
  • Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Manajemen
    • Tenaga Kependidikan
    • Tenaga Pendidik
  • Akademik
    • Kalender Akademik
    • Program Sarjana
      • Antropologi Budaya
      • Arkeologi
      • Sejarah
      • Pariwisata
      • Bahasa dan Kebudayaan Korea
      • Bahasa dan Sastra Indonesia
      • Sastra Inggris
      • Sastra Arab
      • Bahasa dan Kebudayaan Jepang
      • Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa
      • Bahasa dan Sastra Prancis
    • Program Master/S2
      • Magister Antropologi
      • Magister Arkeologi
      • Magister Sejarah
      • Magister Sastra
      • Magister Linguistik
      • Magister Pengkajian Amerika
      • Magister Kajian Budaya Timur Tengah
    • Program Doktor/S3
      • Antropologi
      • Ilmu-ilmu Humaniora
      • Pengkajian Amerika
    • Beasiswa
  • KPPM
    • Info Penelitian
    • Publikasi Ilmiah
    • Pengabdian Masyarakat
    • Kerjasama Luar Negeri
    • Kerjasama Dalam Negeri
  • Organisasi Mahasiswa
    • Lembaga Eksekutif Mahasiswa
    • Badan Semi Otonom
      • KAPALASASTRA
      • Persekutuan Mahasiswa Kristen
      • LINCAK
      • Saskine
      • Keluarga Mahasiswa Katolik
      • Dian Budaya
      • Sastra Kanuragan (Sasgan)
      • Keluarga Muslim Ilmu Budaya (KMIB)
      • Bejo Mulyo
    • Lembaga Otonom
      • Himpunan Mahasiswa Arkeologi
      • Ikatan Mahasiswa Jurusan Inggris
      • Himpunan Mahasiswa Pariwisata
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia
      • Ikatan Mahasiswa Sastra Asia Barat
      • Himpunan Mahasiswa Bahasa Korea
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara
      • Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah
      • Himpunan Mahasiswa Studi Prancis
      • Keluarga Mahasiswa Antropologi
      • Himpunan Mahasiswa Jepang
  • Pendaftaran
  • Beranda
  • Pos oleh
Pos oleh :

Humas FIB

Budaya dalam Antrean: Ketika Taiwan dan Indonesia Memiliki Cara Sendiri

Rilis BeritaSDGSSDGs 11: Kota dan Pemukiman Yang BerkelanjutanSDGs 12: Konsumsi dan Produksi Yang Bertanggung Jawab Selasa, 15 Juli 2025

Yogyakarta, 9 Juli 2025 – Orang Taiwan suka mengikuti tren. Ketika mereka melihat sesuatu yang sedang ramai diperbincangkan atau dikejar banyak orang, mereka ingin ikut serta. Meskipun efek kawanan ini bisa dialami oleh siapa saja, fenomena antre di Taiwan terlihat sangat mencolok. Orang Taiwan sering melihat antrean panjang di jalan, dan mereka menjadi penasaran hingga akhirnya ikut mengantre. Bahkan, ada orang yang ikut antre tanpa tahu apa yang sebenarnya sedang ditunggu. Ini sudah menjadi hal yang lumrah di Taiwan.Sebaliknya, di Indonesia, mengantre adalah fenomena yang cukup istimewa. Hampir semua orang Indonesia tidak menyukai antrean. Jika melihat toko dengan antrean panjang, banyak dari mereka lebih memilih pergi ke toko lain daripada ikut menunggu.

Namun, ini bukan berarti orang Indonesia tidak pernah mengantre. Kenyataannya, antrean tetap terjadi di Indonesia, terutama di tempat-tempat yang dianggap penting seperti bank, rumah sakit, atau kantor pemerintahan. Tetapi, sangat jarang terlihat orang Indonesia rela mengantre di restoran seperti yang biasa terjadi di Taiwan. 

Sebuah survei media sebelumnya menemukan bahwa tiga alasan utama mengapa orang Taiwan rela mengantre adalah: produk edisi terbatas, harga murah, dan makanan yang direkomendasikan oleh toko terkenal.Contohnya, selama Tahun Baru Imlek, department store di Taiwan biasanya meluncurkan “tas keberuntungan” edisi terbatas, yang tidak hanya berisi barang-barang biasa, tetapi juga hadiah menarik seperti tiket pesawat atau mobil. Karena itu, setiap tahun banyak konsumen rela datang sejak pagi hari untuk mengantre dan mendapatkan tas keberuntungan ini.

Dalam hal kepercayaan agama, sebagian besar orang Taiwan menganut agama Buddha. Mereka percaya bahwa menerima amplop merah dari kuil selama Tahun Baru Imlek akan membawa kelancaran dan rezeki sepanjang tahun. Oleh karena itu, kuil-kuil besar di Taiwan setiap tahunnya dipadati orang yang mengantre untuk mendapatkan amplop merah ini. Panjang antrean bisa mencapai 8 kilometer, dan tidak mudah untuk mendapatkan amplop merah tersebut.

Kebiasaan mengantre di Taiwan bahkan terlihat di dunia digital. Pada tahun 2018, Chunghwa Telecom—perusahaan telekomunikasi terbesar di Taiwan—meluncurkan paket internet murah seharga NT$499 per bulan, harga yang sangat menarik pada saat itu. Namun, penawaran ini hanya berlaku selama tujuh hari, sehingga banyak orang langsung menyerbu kantor-kantor Chunghwa Telecom. Akibatnya, jaringan menjadi tidak stabil di area padat, banyak karyawan harus bekerja lembur, dan akhirnya perusahaan tersebut didenda oleh pemerintah karena gangguan pelayanan.

Orang Taiwan juga memiliki kebiasaan makan kue saat Festival Pertengahan Musim Gugur. Setiap tahun, ibu saya pergi ke toko kue bernama Fujia. Banyak orang Taiwan tahu bahwa selama festival ini, antrean panjang hampir selalu terlihat di toko tersebut. Produk yang paling diminati adalah kue telur asin. Ibu saya membelinya karena saya dan adik laki-laki saya sangat menyukainya, dan juga sebagai hadiah untuk pelanggannya. Meskipun harganya tidak mahal, hadiah seperti ini lebih bermakna karena mencerminkan niat dan usaha dari pemberinya—terutama karena harus dibeli dengan sabar mengantre.

Fenomena mengantre menunjukkan perbedaan budaya yang mencolok antara masyarakat Taiwan dan Indonesia. Di Taiwan, antrean merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, didorong oleh keinginan mengikuti tren, berburu produk terbatas, kepercayaan agama. Bahkan di era digital, masyarakat Taiwan tetap rela “mengantre” untuk mendapatkan penawaran menarik secara online. Sebaliknya, masyarakat Indonesia cenderung menghindari antrean. Perbedaan ini mencerminkan nilai-nilai sosial, kebiasaan, dan cara pandang masyarakat terhadap waktu, kenyamanan, dan makna di balik suatu tindakan.

   

source :

彰化伴手禮【不二坊蛋黃酥】天天還沒開門就排隊,皮薄又酥、整顆蛋黃,超人氣團購美食(原不二家蛋黃酥)

https://www.chinatimes.com/newspapers/20210102000380-263301?chdtv#

https://today.line.me/hk/v3/article/1koKl2

[National Chengchi University, Pan Ke En]

Undangan dari Para Malaikat: Selamat Datang di Omah Petroek

Rilis BeritaSDGSSDGs 13: Penanganan Perubahan IklimSDGs 15: Ekosistem daratanSDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang Tangguh Selasa, 15 Juli 2025

Yogyakarta, 9 Juli 2025 – Bayangkan Anda dulunya seorang pematung berbakat, dan Anda terkenal karena patung-patung Garuda, simbol kebanggaan dan kehormatan bangsa Indonesia. Namun, bertahun-tahun telah berlalu sejak Anda memegang kehormatan yang didambakannya, dan Anda belum mampu menciptakan karya yang memuaskan selama periode tersebut. Gambaran-gambaran dewa, manusia dan hewan dalam benak Anda perlahan-lahan menjadi kabur, dan pengalaman kreatif masa lalu dengan cepat lenyap dari tangannya bagai pasir hisap yang tak dapat Anda genggam. Sebelum harga diri, rasa takut gagal dan tekanan dari pandangan orang lain perlahan-lahan menggerogoti tubuh dan pikirannya hingga Anda benar-benar kehilangan gairah terhadap kesenian, Anda sebaiknya mencoba bertamasya ke Omah Petroek untuk melihat tanggapan seniman lain terhadap dunia yang lebih baik; mendengarkan berkat dari patung-patung malaikat yang mengelilinginya; mencium aroma phytoncide yang unik dari lingkungan alam; merasakan kenyamanan suasana angin yang membelai wajah Anda, dan mencoba menemukan kembali inspirasi bagi diri sendiri dan perasaannya terhadap dunia melalui pengalaman kelima indera yang tak terlupakan.

Omah Petroek merupakan tempat dibangun oleh Pastor Romo Gabriel Possenti Sindhunata atau yang dikenal dengan panggilan Romo Sindu, seorang wartawan senior Harian Kompas. Rumah tersebut didirikan Romo Sindu sebagai ruang bebas merayakan keberagaman kebudayaan dan kesenian. Jauh dari kebisingan klakson mobil dan motor serta hiruk pikuk pedagang kaki lima di tengah hiruk pikuk kota Yogyakarta, Omah Petroek dipenuhi dengan suasana pedesaan yang begitu dekat dan hangat yang semuanya rasakan semasa kecil. Ruang sejuk yang tercipta dari rindang pepohonan meredakan panas yang tak tertahankan dan kebosanan musim kemarau Indonesia. Kicauan burung tak jauh dari sini dan palang bertuliskan “Kita  eritema sudah lama, Selamat datang di Omah Petroek” seolah memiliki daya magis tersendiri, menarikan kita untuk melangkah lebih dekat ke dunia alami yang murni dan sederhananya, yang masih belum terlalu terpengaruh oleh masyarakat sekuler yang semakin kompleks.

Terletak di taman yang luas dan seakan tak berbatas, sebuah pura Hindu berdiri di balik pintu berwarna cokelat kemerahan yang dijaga oleh dua arca. Banyak persembahan berupa dupa kering dan bunga ditempatkan di tengah pura. Baik gaya eksterior pura maupun adat istiadat pengorbanan yang dapat diamati di sekitarnya sangat mirip dengan gaya pura di Bali. Warna pura tersebut sendiri mirip dengan karakteristik batuan lembah, membuatnya tampak alami dan halus, seolah menyatu dengan alam. 

Selain itu, orang-orang dapat berjalan-jalan dan mengunjungi miniatur tempat peribadatan dari seluruh lintas agama di Indonesia. Yang paling menarik pastikan pemandangan yang digambarkan dalam Alkitab yang akan semuanya saksikan setelah menuruni tangga batu yang agak terjal: Di ruang ibadah yang dikelilingi beberapa patung ternak yang menghadap dinding batu, orang-orang dapat memandang ke atas ke arah Yesus Kristus yang disalib dan patung malaikat putih yang suci. Dalam ruang yang remang-remang dan agak ramai, ada keinginan untuk bertahan hidup di celah-celah. Dari keterkejutan awal hingga sentuhan hati, doa-doa yang hening dan khusyuk dipanjatkan, memohon anugerah dari ribuan Tuhan.

Mengunjungi dunia magis yang memadukan alam, agama, seni dan budaya, barangkali kita dapat menemukan kembali kepolosan dan kedamaian batin yang telah lama hilang. Ketika jiwa tersesat dalam hiruk pikuk realitas, Omah Petroek bagaikan cermin, membantu kita memahami kembali diri sendiri dan membangkitkan persepsi kita akan keindahan dan kebaikan. Entah itu mengamati patung-patung yang bergerak, mendengarkan kicauan burung yang merdu, atau merasakan semilir angin di wajah, pengalaman-pengalamannya mengingatkan kita: Terkadang-kadang, jika kita berhenti sejenak, kita dapat menemukan kembali kekuatan untuk melangkah maju dan menemukan kembali makna hidup yang sesungguhnya. Saya berharap setiap orang yang mengunjungi Omah Petroek dapat menemukan sentuhan dan inspirasinya sendiri di sini, serta kembali merangkul momen-momen indah dalam hidup dengan semangat yang baru!

[National Chengchi University, Wu Yu Han]

Dari Hikayat Ke Kandha: Interaksi Sastra Melayu-Jawa Dalam Pembentukan Pakem Lakon Wayang Purwa

Rilis BeritaSDGSSDGs 17: Kemitraan Untuk Mencapai TujuanSDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi Selasa, 15 Juli 2025

Yogyakarta, 2 Juli 2025 –  Dalam Seminar Antarabangsa Kajian Melayu-Jawa, Dr. Rudy Wiratama memperkenalkan Wayang Purwa sebagai bagian dari kebudayaan Nusantara yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-harian masyarakat Austronesia.

Dalam “Wayang Purwa”, kata “Purwa” berarti “awal dan asal”. Wayang Purwa yang pertama kali tercatat pada abad ke-10 Masehi, mengambil cerita dari dua epos yang besar India: Mahabharata dan Ramayana, dengan cara menyatukan unsur kesenian budaya Jawa melalui pertunjukan-pertunjukan siluet wayang tokoh dan hewan, serta menggabungkan musik dan nyanyian tradisional Jawa untuk menceritakan kisah-kisah mitos dan legenda. Dengan kata lain, Wayang Purwa dapat dianggap sebagai produk budaya yang lahir dari perpaduan erat antara peradaban budaya Indonesia dan budaya Hindu.

Dr. Rudy Wiratama kemudian mengemukakan serta mencoba untuk menjelaskan pokok dalam permasalahan berikutnya: Meskipun Wayang Purwa dikatakan menggunakan epos India Mahabharata dan Ramayana sebagai bahan ceritanya, namun dalam karya kesenian terkait yang diterbitkan di masa kini sering kali ditemukan penyimpangan dari versi Sanskritnya. Untuk memahami sejauh apa hal ini terjadi dan menganalisis faktor-faktor di baliknya, Dr. Rudy menyusun dua hipotesis dari studi terkait:

  1. JJ RAS (1988) menduga bahwa terdapat dua arus persebaran Mahabharata dan Ramayana di Kepulauan Nusantara: Arus pertama melalui kaum elite membawa tradisi tulisan, yang kemudian menjadi penopang sastra penting bagi kaum Kakawin; arus kedua melalui tim pedagang yang membawa versi rakyat dari kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana, yang dilestarikan oleh dalang-dalang. I Kuntara Wiryamartana dalam penelitiannya tentang karya sastra Jawa Kuno dan penerimaannya dalam karya sastra Jawa Baru menganggap bahwa perubahan cara membaca dan mencatat Mahabharata dan Ramayana dipengaruhi oleh kakografi ( kesalahan membaca ) dan hilangnya penguasaan para pujangga selanjutnya dalam bahasa kuno.    

 

  1. SUMARSIH (1985) menunjukkan bahwa terutama dalam Ramayana ditemukan petunjuk yang menunjukkan bahwa Ramayana Pesisiran memiliki kesamaan sumber dengan Hikayat Seri Rama Melayu. Annabel Teh-Gallop (2015) lebih lanjut meragukan: Pada masa kemunduran Majapahit pada abad ke-15 hingga ke-16, saat kerajaan Islam mendorong perluasan jaringan perdagangan global di Asia Tenggara, pertukaran budaya yang semakin sering antara Jawa dan Melayu memengaruhi penciptaan versi “epos lokal” dari Mahabharata dan Ramayana.

Terakhir tetapi tidak kalah penting, Dr. Rudy Wiratama secara singkat merangkum kebangkitan dan dampak-dampak interaksi sastra Melayu-Jawa dalam keterkaitan Wayang Purwa: Keterkaitan Jawa-Melayu dalam proses pembentukan Wayang Purwa di masing-masing daerah pasti mengalami pasang surut. Setelah berlalunya masa Kerajaan Majapahit, persebaran Wayang Purwa kembali menyebar luas di Kepulauan Nusantara, namun jalur-jalur penyebab yang berbeda seperti tren-trennya berbalik dengan pekerja migran ke wilayah Malaysia dan warga transmigrasidi di pulau-pulau luar Pulau Jawa.

Yang lebih menariknya, pada fase ini, pertautan Wayang Purwa Jawa serta Melayu tidak terjalin lagi, kecuali di beberapa kuliyah yang memiliki ciri khas lokal Wayang Purwa sebagaimana Banjarmasin dan Palembang. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga tidak ditulisnya sebagai Wayang Purwa, melainkan Wayang Banjar atau Wayang Palembang.

[National Chengchi University, Wu Yu Han]

Dari Taiwan ke Yogyakarta untuk Menjadi Bunga yang Mekar: Kehidupan Magang Pan Ke En di FIB UGM

Rilis BeritaSDGSSDGs 17: Kemitraan Untuk Mencapai TujuanSDGs 4: Pendidikan BerkualitasSDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi Selasa, 15 Juli 2025

Yogyakarta, 10 Juli 2025 – Pada bulan Juli, di meja kerja Ruang Humas Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM), tampak tiga wajah asing. Mereka adalah mahasiswa magang dari National Chengchi University (NCCU), Taiwan, nama mereka adalah Wu Yu Han (beritanya dapat diakses melalui tautan), Wang Hui Chen (beritanya dapat diakses melalui tautan), dan salah satunya yang akan diperkenalkan hari ini adalah Pan Ke En.

“Halo! Nama saya Pan Ke En. Saya mahasiswa Jurusan Bahasa dan Budaya Asia Tenggara (kelompok Indonesia) di NCCU. Saat ini saya berada di tingkat akhir dan diperkirakan akan lulus pada bulan Juni 2025. Hobbi saya adalah menonton film dan berjalan-jalan ke luar negeri untuk merasakan budaya yang berbeda,” ujarnya. Sebagai mahasiswa yang studi bahasa Indonesia, dia akrab dipanggil Bunga oleh dosen dan teman-temannya di NCCU. Panggilan ini juga selalu dipakai oleh rekan-rekan di ruang Humas.

“Bunga, artikelnya sudah selesai?” Setiap pagi begitu melangkah masuk kantor, teman-teman di ruang Humas selalu menanyakan perkembangan pekerjaannya. Selama magang di ruang Humas, Bunga bertanggung jawab menulis berita berbagai kegiatan dalam Bahasa Indonesia. “Seperti seminar, pertunjukan budaya, atau kuliah umum dan sebagainya,” jelasnya. Selain menulis, dia juga sering mondar-mandir di lokasi acara untuk mengambil foto dan mencatat hal-hal penting, mendokumentasikan setiap momen yang krusial.

 

Walaupun kehidupan magangnya terasa sibuk dan menarik, Bunga tak menampik bahwa menerapkan Bahasa Indonesia yang dipelajari di kelas ke pekerjaan sehari-hari tetap menjadi tantangan baru baginya. “Tantangan yang saya hadapi saat belajar bahasa Indonesia adalah memahami berbagai dialek dan ungkapan lokal. Menggunakan bahasa Indonesia langsung di lingkungan kerja terasa menantang tapi juga menyenangkan,” ungkapnya. Menurut Bunga, hal ini memang membantu dia untuk berkembang lebih cepat.

 

Selain harus berani berbicara langsung dalam Bahasa Indonesia, Bunga juga sering menemui kendala saat menulis. Dia mencontohkan, beberapa istilah khusus dalam Bahasa Mandarin memang tidak selalu punya padanan kata yang pas dalam Bahasa Indonesia, dan jika diterjemahkan secara kata per kata, maknanya bisa melenceng. “Seperti cerita tentang nasi goreng Taiwan dan nasi goreng Indonesia. Di dalamnya saya menyebut istilah ‘鑊氣 (wok hei)’, yang artinya aroma khas dari wajan panas. Tapi dalam Bahasa Indonesia tidak ada satu kata pun yang benar-benar mewakili maksud ini. Akhirnya saya tulis dulu dengan ejaannya, lalu saya tambahkan penjelasan dalam Bahasa Indonesia dan pembaca bisa memahami maksudnya,” jelasnya.

 

Menhadapi berbagai tantangan dalam tugas sehari-hari juga membuat Bunga lebih bersyukur. “Karena dulu sempat mengambil mata kuliah Menulis dalam Bahasa Indonesia di NCCU. Kuliah ini juga melatih saya untuk menyusun kalimat dengan struktur yang benar dan gaya bahasa yang efektif, sehingga saya dapat menulis laporan dan artikel dengan lebih percaya diri dan profesional,” dia menambahkan dengan nala lega.

Magang di luar negeri memang penuh tantangan, tetapi bagi Bunga justru di situlah letak daya tariknya.

“Di sini ada lingkungan yang mendukung pembelajaran bahasa, kedalaman pengalaman budaya yang bisa saya rasakan secara langsung, dan kekayaan sumber daya akademik yang dimiliki oleh fakultas ini,” dia menegaskan alasan mengapa magang di UGM. Bagi Bunga, pengalaman ini bukan kesempatan belajar Bahasa Indonesia, tetapi juga menjadi awal baginya untuk tumbuh dan mekar, membuka lebih banyak peluang karier setelah lulus nanti.

[National Chengchi University, Wang Hui Chen]

Melihat Jogja yang Inklusif dan Berani Lewat Pemutaran Film Jagad’e Raminten di ARTJOG

Rilis BeritaSDGSSDGs 10: Berkurangnya kesenjanganSDGs 4: Pendidikan BerkualitasSDGs 5: Kesetaraan Gender Selasa, 15 Juli 2025

Yogyakarta, 5 Juli 2025 – Sebagai salah satu festival seni kontemporer terbesar di Indonesia, ARTJOG selalu menjadi ruang pertemuan seniman, penikmat seni, dan publik luas. Diselenggarakan setiap tahun di Yogyakarta, ARTJOG tidak hanya memamerkan karya rupa, tetapi juga merangkul seni pertunjukan, diskusi, film, hingga kolaborasi lintas disiplin. Dengan tema yang berbeda setiap tahunnya, ARTJOG mendorong penonton untuk merasakan Jogja sebagai kota seni yang hidup, terbuka, dan penuh ide segar.

Salah satu program ARTJOG tahun ini adalah pemutaran film Jagad’e Raminten yang diproduksi oleh Kalyana Shira Foundation. Dokumenter berdurasi 95 menit ini disutradarai dan ditulis oleh Nia Dinata, diproduseri dan ikut ditulis oleh Dena Rachman, serta Melissa Karim sebagai produser bersama. Jagad’e Raminten menyoroti kisah Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Tanoyo Hamijinindyo, atau dikenal sebagai Hamzah Sulaiman.

Sosok Raminten sendiri merupakan salah satu ikon budaya Jogja yang lahir dari kreativitas Hamzah Sulaiman. Sebagai seniman, Hamzah Sulaiman menciptakan karakter Raminten yang beliau perankan dalam acara komedi situasi di stasiun televisi lokal Jogja TV. Karakter ini kemudian menjadi inspirasi berdirinya The House of Raminten dan Raminten Cabaret Show.

Pada pemutaran film yang diselenggarakan pada tanggal 5 Juli, penonton diajak menelusuri kembali sosok mendiang Hamzah Sulaiman melalui sudut pandang para pemain Raminten Cabaret. Hamzah Sulaiman tidak hanya dikenal sebagai seorang pengusaha sukses yang mendirikan Toko Hamzah Batik serta sejumlah restoran Raminten, tetapi juga sebagai seorang dermawan yang telah mengadopsi anak-anak dan membuka ruang ekspresi bagi komunitas Inklusif melalui panggung Raminten Cabaret.

Sejak pertama kali diadakan, Raminten Cabaret telah berperan sebagai wadah ekspresi diri bagi kalangan yang kerap terpinggirkan. Namun demikian, perjalanan menuju penerimaan publik bukanlah suatu proses yang mudah. Seusai penayangan film, salah seorang penonton, Nia, membagikan pengalamannya: “Saya menonton ini rasa relate gitu, karena baru semalam saya nonton Raminten Cabaret Show, dan saya bahkan tahunya bukan dari orang Indonesia, tapi dari teman saya yang dari Singapura. Jadi memang Raminten Cabaret kayaknya udah cukup mendunia.” Selain itu, Nia juga menyampaikan rasa penasaran yang mewakili banyak penonton: bagaimana Cabaret Raminten bisa perlahan diterima oleh masyarakat?

Menanggapi hal itu, BaBam, salah satu pemain Raminten Cabaret, menjawab: “Persepsi masyarakat pasti pada awalnya kita sebagai komunitas itu tidak mengerti, dipandang sebelah mata, dan memang sangat membutuhkan waktu untuk Cabaret Raminten bisa diterima. Sekarang ini sudah 16 tahun kami berdiri, dan itu pun tidak langsung mudah. Mungkin baru sekitar 7–8 tahun terakhir kami mulai dikenal lebih luas, bahkan sampai ke luar daerah, meski di rumah sendiri belum tentu diterima sepenuhnya,” tutur BaBam.

Namun demikian, para pemain Raminten Cabaret akan terus berjuang. “Itulah pelajaran dari Kanjeng, yaitu dedikasi dan kerja keras,” lanjutnya. Dengan warisan nilai itu, Raminten Cabaret terus membuktikan bahwa seni bisa menjadi ruang aman bagi siapa saja untuk berekspresi. “Akan saya teruskan dan teman-teman dari Raminten Cabaret juga jalankan, dan semoga kami bisa terus berkarya tanpa kemunduran,” tambah BaBam.

Berbekal dedikasi dan ketulusan orang-orang di dalamnya, Raminten boleh berpulang, tetapi jagadnya akan tetap hidup.

[National Chengchi University, Wang Hui Chen] 

123…210

Rilis Berita

  • Budaya dalam Antrean: Ketika Taiwan dan Indonesia Memiliki Cara Sendiri
  • Undangan dari Para Malaikat: Selamat Datang di Omah Petroek
  • Dari Hikayat Ke Kandha: Interaksi Sastra Melayu-Jawa Dalam Pembentukan Pakem Lakon Wayang Purwa
  • Dari Taiwan ke Yogyakarta untuk Menjadi Bunga yang Mekar: Kehidupan Magang Pan Ke En di FIB UGM
  • Melihat Jogja yang Inklusif dan Berani Lewat Pemutaran Film Jagad’e Raminten di ARTJOG

Arsip Berita

Video UGM

[shtmlslider name='shslider_options']
Universitas Gadjah Mada

Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Jl. Nusantara 1, Bulaksumur Yogyakarta 55281, Indonesia
   fib@ugm.ac.id
   +62 (274) 513096
   +62 (274) 550451

Unit Kerja

  • Pusat Bahasa
  • INCULS
  • Unit Jaminan Mutu
  • Unit Penelitian & Publikasi
  • Unit Humas & Kerjasama
  • Unit Pengabdian kepada Masyarakat & Alumni
  • Biro Jurnal & Penerbitan
  • Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
  • Pusaka Jawa

Fasilitas

  • Perpustakaan
  • Laboratorium Bahasa
  • Laboratorium Komputer
  • Laboratorium Fonetik
  • Student Internet Centre
  • Self Access Unit
  • Gamelan
  • Guest House

Informasi Publik

  • Daftar Informasi Publik
  • Prosedur Permohonan Informasi Publik
  • Daftar Informasi Tersedia Setiap Saat
  • Daftar Informasi Wajib Berkala

Kontak

  • Akademik
  • Dekanat
  • Humas
  • Jurusan / Program Studi

© 2024 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY