• About UGM
  • Academic Portal
  • IT Center
  • Library
  • Research
  • Webmail
  • Informasi Publik
  • Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Manajemen
    • Tenaga Kependidikan
    • Tenaga Pendidik
  • Akademik
    • Kalender Akademik
    • Program Sarjana
      • Antropologi Budaya
      • Arkeologi
      • Sejarah
      • Pariwisata
      • Bahasa dan Kebudayaan Korea
      • Bahasa dan Sastra Indonesia
      • Sastra Inggris
      • Sastra Arab
      • Bahasa dan Kebudayaan Jepang
      • Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa
      • Bahasa dan Sastra Prancis
    • Program Master/S2
      • Magister Antropologi
      • Magister Arkeologi
      • Magister Sejarah
      • Magister Sastra
      • Magister Linguistik
      • Magister Pengkajian Amerika
      • Magister Kajian Budaya Timur Tengah
    • Program Doktor/S3
      • Antropologi
      • Ilmu-ilmu Humaniora
      • Pengkajian Amerika
    • Beasiswa
  • KPPM
    • Info Penelitian
    • Publikasi Ilmiah
    • Pengabdian Masyarakat
    • Kerjasama Luar Negeri
    • Kerjasama Dalam Negeri
  • Organisasi Mahasiswa
    • Lembaga Eksekutif Mahasiswa
    • Badan Semi Otonom
      • KAPALASASTRA
      • Persekutuan Mahasiswa Kristen
      • LINCAK
      • Saskine
      • Keluarga Mahasiswa Katolik
      • Dian Budaya
      • Sastra Kanuragan (Sasgan)
      • Keluarga Muslim Ilmu Budaya (KMIB)
      • Bejo Mulyo
    • Lembaga Otonom
      • Himpunan Mahasiswa Arkeologi
      • Ikatan Mahasiswa Jurusan Inggris
      • Himpunan Mahasiswa Pariwisata
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia
      • Ikatan Mahasiswa Sastra Asia Barat
      • Himpunan Mahasiswa Bahasa Korea
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara
      • Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah
      • Himpunan Mahasiswa Studi Prancis
      • Keluarga Mahasiswa Antropologi
      • Himpunan Mahasiswa Jepang
  • Pendaftaran
  • Beranda
  • SDGs 15: Ekosistem daratan
Arsip:

SDGs 15: Ekosistem daratan

Sastra Hijau: Menyemai Kesadaran Lingkungan Lewat Kata-Kata

SDGs 13: Penanganan Perubahan IklimSDGs 15: Ekosistem daratanSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Rabu, 13 Agustus 2025

Di tengah gencarnya kampanye penyelamatan lingkungan yang kerap disampaikan dengan data dan seruan langsung, Kumala, MAhasiswa Sastra Arab UGM memilih jalur berbeda. Ia menghadirkan Sastra Hijau, sebuah program yang memadukan literasi dengan isu ekologis, sekaligus berkontribusi pada pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Menurutnya, pendekatan ini bisa menyentuh sisi emosional pendengar, menyampaikan pesan tanpa harus menggurui.

“Edukasi lingkungan sering kali identik dengan data teknis atau himbauan langsung. Padahal, lewat sastra kita bisa mengetuk kesadaran dengan cara yang lebih halus,” ungkapnya. Program ini, lanjutnya, mendukung tujuan Pendidikan Berkualitas karena memberikan pembelajaran kreatif berbasis sastra, sekaligus mendorong Penanganan Perubahan Iklim lewat peningkatan kesadaran ekologis.

Pemilihan materi pun dilakukan dengan cermat. Kumala memilih cerpen, puisi, dan kutipan dari tokoh sastra yang sarat nilai ekologis. Tidak hanya mempertimbangkan isi pesan, ia juga menyesuaikan gaya bahasa agar mudah dipahami peserta, khususnya santri pondok yang menjadi sasaran program ini. Dengan begitu, nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra sejalan dengan Ekosistem Daratan yang menekankan pentingnya pelestarian alam.

Agar sesi tidak terasa kaku, Kumala menyelipkan metode interaktif seperti kuis dan diskusi terbuka. Cara ini membuat peserta terlibat aktif dan merasa punya peran. Hasilnya, banyak yang awalnya belum akrab dengan karya sastra bertema lingkungan justru menjadi tertarik untuk membaca lebih banyak. Interaksi ini bukan hanya membangun pengetahuan, tapi juga menumbuhkan empati terhadap isu lingkungan yang sedang dihadapi dunia.

Perjalanan Sastra Hijau tidak lepas dari tantangan. “Sastra kadang dianggap membosankan,” akunya sambil tersenyum. Solusinya sederhana namun efektif: menggunakan bahasa sehari-hari yang akrab di telinga peserta, sehingga pesan tetap mengalir tanpa jarak.

Kumala percaya, kekuatan sastra terletak pada kemampuannya membentuk perspektif baru. Sastra tidak memaksa, melainkan mengajak pembaca melihat hubungan manusia dengan alam sebagai harmoni, bukan dominasi. Dari situlah, ia berharap benih kesadaran yang disemai bisa tumbuh menjadi perubahan nyata—sejalan dengan semangat SDGs yang menempatkan keberlanjutan sebagai prioritas global.

“Harapannya, setelah program ini, peserta bisa menjadi agen perubahan kecil di lingkungannya. Minimal, mereka punya cara pandang baru dalam memperlakukan alam,” ujarnya. Sastra Hijau mungkin dimulai dari ruang kecil, namun dampaknya bisa menjalar jauh—setiap kata menjadi bibit yang suatu hari bisa menghijaukan bumi, sekaligus menggerakkan langkah kita menuju masa depan yang berkelanjutan.

[Humas FIB UGM, Candra Solihin]

Mahasiswa KKN-PPM UGM Kenalkan Pariwisata Mangrove Lewat Plang Multi-Bahasa

SDGs 15: Ekosistem daratanSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Kamis, 31 Juli 2025

Jawa Barat, 29 Juli 2025 –  mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) dari Program Studi Sastra Arab, Fakultas Ilmu Budaya, melaksanakan pemasangan plang pariwisata multi-bahasa di Pantai Batu Nunggul. Kegiatan ini dilakukan oleh tim KKN-PPM UGM 2025 sebagai upaya memberikan penunjuk arah sekaligus edukasi dengan menggunakan bahasa Indonesia, Arab, dan Inggris. Kegiatan ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan potensi wisata mangrove serta mendukung pengembangan pariwisata di situs yang kurang dikunjungi akibat minimnya informasi akses.

Plang bertuliskan “Mangrove” dan “Pantai Batu Nunggul Beach” dipasang di area pesisir menuju mangrove untuk memandu wisatawan ke spot wisata tersebut. Selain sebagai penanda arah, plang ini juga berfungsi sebagai media edukasi tentang pelestarian lingkungan dan promosi destinasi wisata yang kurang terkenal. Kegiatan ini sejalan dengan SDGs 4: Quality Education untuk pendidikan berkualitas, serta SDGs 15: Life on Land untuk perlindungan ekosistem darat.

Penulis: Muhammad Satria Revaldi

Perbandingan kebijakan Perubahan Iklim Indonesia dan Taiwan Serta Potensi Kerja Samanya

Rilis BeritaSDGSSDGs 13: Penanganan Perubahan IklimSDGs 15: Ekosistem daratanSDGs 4: Pendidikan BerkualitasSDGs 7: Energi bersih dan terjangkau Rabu, 23 Juli 2025

Yogyakarta, 18 Juli 2025 – Dengan semakin seringnya terjadi pemanasan global dan bencana iklim ekstrem, perubahan iklim tidak lagi hanya menjadi isu lingkungan semata, melainkan tantangan besar yang berkaitan erat dengan aspek ekonomi, sosial, dan keamanan nasional. Berbagai negara di dunia mulai merancang rencana aksi iklim jangka menengah dan panjang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan memperkuat kapasitas adaptasi terhadap bencana iklim di masa depan. Sebagai dua negara penting di kawasan Asia, Indonesia dan Taiwan meskipun memiliki perbedaan dalam status internasional, kondisi geografis, dan struktur ekonomi, keduanya sama-sama menghadapi tekanan besar akibat perubahan iklim. Dengan membandingkan kebijakan dan praktik iklim kedua negara, kita dapat melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing, serta mengungkap potensi dan arah kerja sama bilateral di masa mendatang.

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan memiliki hutan hujan tropis serta keanekaragaman hayati yang sangat luas. Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan iklim Indonesia mulai bergerak menuju sistematisasi. Di bawah Perjanjian Paris, Indonesia telah mengajukan Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC) dengan komitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% pada tahun 2030 secara mandiri, dan hingga 41% jika mendapatkan dukungan internasional. Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan target jangka panjang untuk mencapai netral karbon pada tahun 2060. Mulai tahun 2025, aksi iklim akan diperluas ke tingkat pemerintah daerah, mendorong setiap provinsi untuk menyusun strategi pengurangan emisi dan adaptasi secara mandiri. Meskipun saat ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang Perubahan Iklim yang komprehensif, pemerintah telah mulai membangun kerangka tata kelola iklim nasional melalui kerja sama lintas sektor dalam mendorong energi terbarukan, penerapan pajak karbon, dan pengembangan pasar karbon nasional (IDXCarbon).

Dibandingkan dengan Indonesia, Taiwan memiliki kebijakan iklim yang lebih terstruktur. Pada tahun 2023, Taiwan mengesahkan Undang-Undang Penanganan Perubahan Iklim yang menetapkan target netral karbon pada 2050 secara hukum, dan membentuk Komite Nasional Perubahan Iklim untuk mengoordinasikan kebijakan lintas sektor. Taiwan juga aktif dalam transisi energi, dengan peningkatan kapasitas tenaga surya dan angin, serta merencanakan penerapan sistem pajak karbon dan pasar karbon pada 2025. Di sisi adaptasi, Taiwan telah meluncurkan program pengelolaan banjir, perlindungan pesisir, dan daur ulang air, bekerja sama dengan pemerintah daerah.

Meskipun Indonesia dan Taiwan memiliki sistem yang berbeda, keduanya memiliki potensi kerja sama yang saling melengkapi. Indonesia memiliki pengalaman luas dalam konservasi hutan, perlindungan laut, dan partisipasi masyarakat adat, sementara Taiwan unggul dalam desain kebijakan, teknologi karbon, dan edukasi lingkungan. Melalui kebijakan New Southbound Policy, kedua pihak telah bekerja sama dalam bidang pertanian berkelanjutan, pengelolaan air, dan pendidikan iklim, termasuk program pelatihan,dan forum pemuda.

Ke depan, Indonesia dan Taiwan dapat memperdalam kolaborasi dalam desain regulasi iklim, pasar karbon, proyek percontohan di sektor pertanian dan kelautan, serta pengembangan pemimpin muda di bidang iklim. Kerja sama iklim ini bukan hanya respons terhadap perubahan iklim, tetapi juga peluang bersama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

[National Chengchi University, Pan Ke En]

Panik : Tokek Datang!

Rilis BeritaSDGSSDGs 15: Ekosistem daratanSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Rabu, 23 Juli 2025

Yogyakarta, 11 Juli 2025 – Hidup di Yogyakarta tidak selalu berjalan mulus bagi kami, para mahasiswa magang dari Taiwan. Selain tantangan bahasa yang harus dihadapi setiap hari, kadang juga ada momen mendadak yang memacu adrenalin.

Suatu malam, setelah menyelesaikan semua jadwal hari itu, kami kembali ke kos-kosan. Tanpa sengaja, saya melihat seekor reptil besar di dinding. “Ada tokek!” Kemudian saya langsung memberi tahu dua teman magang lainnya. Awalnya mereka tidak terlalu peduli, sampai saya menambahkan, “Tokek ini lebih panjang daripada wajahku!” Seketika suasana jadi tegang, dan kami bertiga bergegas memanggil pemilik kos untuk membantu mengusir tamu tak diundang itu.

Awalnya, pemilik kos hanya menanggapi kepanikan kami dengan santai. Setelah kami beberapa kali menekankan betapa besarnya tokek itu, beliau membalas dengan satu kata, “Serius?” barulah beliau mulai memperhatikan kekhawatiran kami. Setelah kami mengirimkan foto “penyusup” itu, pemilik kos bukannya takut, malah menenangkan kami dan sambil bercerita bagaimana orang Indonesia memaknai Tokek.

“Di Indonesia dan banyak daerah di Asia Tenggara, orang percaya tokek bisa membawa keberuntungan, bahkan sering dianggap sebagai simbol rezeki dan kemakmuran,” ujar pemilik kos. Selain itu, menurut dia, suara tokek juga sering dipercaya bisa menjadi petunjuk. Jika suaranya berjumlah ganjil, itu dianggap pertanda baik, kalau tokek berbunyi tujuh kali berturut-turut, konon keesokan harinya cuaca akan cerah. Dalam budaya Tionghoa pun, meski tidak semua orang mempercayainya, ada juga yang menganggap tokek sebagai penarik rezeki.

Bagi kami bertiga yang berasal dari Taiwan, kepercayaan seperti ini tentang tokek memang jarang terdengar. Yang kami tahu, dalam pengobatan tradisional Tiongkok, tokek kering kadang digunakan sebagai bahan obat. Katanya, tokek yang sudah dikeringkan bisa membantu menurunkan kadar gula darah, dan terutama bagian ekornya dipercaya dapat membantu mencegah penuaan. Karena itu, tokek sering dianggap sebagai bahan perawatan tubuh yang bernilai.

Sebagai mahasiswa asal Taiwan, melihat seekor tokek yang sebesar wajah memang membuat kami kaget setengah mati, tapi pengalaman ini juga membuka jalan untuk mengenal sisi lain dari budaya Indonesia. Apakah kalian juga pernah bertemu tokek di Indonesia? Di budaya kalian sendiri, tokek punya makna seperti apa?

[National Chengchi University, Wang Hui Chen]

Undangan dari Para Malaikat: Selamat Datang di Omah Petroek

Rilis BeritaSDGSSDGs 13: Penanganan Perubahan IklimSDGs 15: Ekosistem daratanSDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang Tangguh Selasa, 15 Juli 2025

Yogyakarta, 9 Juli 2025 – Bayangkan Anda dulunya seorang pematung berbakat, dan Anda terkenal karena patung-patung Garuda, simbol kebanggaan dan kehormatan bangsa Indonesia. Namun, bertahun-tahun telah berlalu sejak Anda memegang kehormatan yang didambakannya, dan Anda belum mampu menciptakan karya yang memuaskan selama periode tersebut. Gambaran-gambaran dewa, manusia dan hewan dalam benak Anda perlahan-lahan menjadi kabur, dan pengalaman kreatif masa lalu dengan cepat lenyap dari tangannya bagai pasir hisap yang tak dapat Anda genggam. Sebelum harga diri, rasa takut gagal dan tekanan dari pandangan orang lain perlahan-lahan menggerogoti tubuh dan pikirannya hingga Anda benar-benar kehilangan gairah terhadap kesenian, Anda sebaiknya mencoba bertamasya ke Omah Petroek untuk melihat tanggapan seniman lain terhadap dunia yang lebih baik; mendengarkan berkat dari patung-patung malaikat yang mengelilinginya; mencium aroma phytoncide yang unik dari lingkungan alam; merasakan kenyamanan suasana angin yang membelai wajah Anda, dan mencoba menemukan kembali inspirasi bagi diri sendiri dan perasaannya terhadap dunia melalui pengalaman kelima indera yang tak terlupakan.

Omah Petroek merupakan tempat dibangun oleh Pastor Romo Gabriel Possenti Sindhunata atau yang dikenal dengan panggilan Romo Sindu, seorang wartawan senior Harian Kompas. Rumah tersebut didirikan Romo Sindu sebagai ruang bebas merayakan keberagaman kebudayaan dan kesenian. Jauh dari kebisingan klakson mobil dan motor serta hiruk pikuk pedagang kaki lima di tengah hiruk pikuk kota Yogyakarta, Omah Petroek dipenuhi dengan suasana pedesaan yang begitu dekat dan hangat yang semuanya rasakan semasa kecil. Ruang sejuk yang tercipta dari rindang pepohonan meredakan panas yang tak tertahankan dan kebosanan musim kemarau Indonesia. Kicauan burung tak jauh dari sini dan palang bertuliskan “Kita  eritema sudah lama, Selamat datang di Omah Petroek” seolah memiliki daya magis tersendiri, menarikan kita untuk melangkah lebih dekat ke dunia alami yang murni dan sederhananya, yang masih belum terlalu terpengaruh oleh masyarakat sekuler yang semakin kompleks.

Terletak di taman yang luas dan seakan tak berbatas, sebuah pura Hindu berdiri di balik pintu berwarna cokelat kemerahan yang dijaga oleh dua arca. Banyak persembahan berupa dupa kering dan bunga ditempatkan di tengah pura. Baik gaya eksterior pura maupun adat istiadat pengorbanan yang dapat diamati di sekitarnya sangat mirip dengan gaya pura di Bali. Warna pura tersebut sendiri mirip dengan karakteristik batuan lembah, membuatnya tampak alami dan halus, seolah menyatu dengan alam. 

Selain itu, orang-orang dapat berjalan-jalan dan mengunjungi miniatur tempat peribadatan dari seluruh lintas agama di Indonesia. Yang paling menarik pastikan pemandangan yang digambarkan dalam Alkitab yang akan semuanya saksikan setelah menuruni tangga batu yang agak terjal: Di ruang ibadah yang dikelilingi beberapa patung ternak yang menghadap dinding batu, orang-orang dapat memandang ke atas ke arah Yesus Kristus yang disalib dan patung malaikat putih yang suci. Dalam ruang yang remang-remang dan agak ramai, ada keinginan untuk bertahan hidup di celah-celah. Dari keterkejutan awal hingga sentuhan hati, doa-doa yang hening dan khusyuk dipanjatkan, memohon anugerah dari ribuan Tuhan.

Mengunjungi dunia magis yang memadukan alam, agama, seni dan budaya, barangkali kita dapat menemukan kembali kepolosan dan kedamaian batin yang telah lama hilang. Ketika jiwa tersesat dalam hiruk pikuk realitas, Omah Petroek bagaikan cermin, membantu kita memahami kembali diri sendiri dan membangkitkan persepsi kita akan keindahan dan kebaikan. Entah itu mengamati patung-patung yang bergerak, mendengarkan kicauan burung yang merdu, atau merasakan semilir angin di wajah, pengalaman-pengalamannya mengingatkan kita: Terkadang-kadang, jika kita berhenti sejenak, kita dapat menemukan kembali kekuatan untuk melangkah maju dan menemukan kembali makna hidup yang sesungguhnya. Saya berharap setiap orang yang mengunjungi Omah Petroek dapat menemukan sentuhan dan inspirasinya sendiri di sini, serta kembali merangkul momen-momen indah dalam hidup dengan semangat yang baru!

[National Chengchi University, Wu Yu Han]

123

Rilis Berita

  • Sastra Hijau: Menyemai Kesadaran Lingkungan Lewat Kata-Kata
  • Sosialisasi Mahasiswa Baru Magister Sastra Semester Gasal 2025/2026 Menyambut Hangat 39 Mahasiswa Termasuk Dua Mahasiswa Asing
  • Program Studi Sastra Arab UGM Sambut Mahasiswa Baru Angkatan 2025 dalam PPSMB PIONIR Kampung Budaya
  • Groundbreaking Ceremony for the Construction of Building C, Faculty of Cultural Sciences UGM: A Strategic Step Towards Strengthening the Humanities in the Digital Era
  • Jadwal Kuliah Program Magister FIB UGM TA 2025/2026

Arsip Berita

Video UGM

[shtmlslider name='shslider_options']
Universitas Gadjah Mada

Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Jl. Nusantara 1, Bulaksumur Yogyakarta 55281, Indonesia
   fib@ugm.ac.id
   +62 (274) 513096
   +62 (274) 550451

Unit Kerja

  • Pusat Bahasa
  • INCULS
  • Unit Jaminan Mutu
  • Unit Penelitian & Publikasi
  • Unit Humas & Kerjasama
  • Unit Pengabdian kepada Masyarakat & Alumni
  • Biro Jurnal & Penerbitan
  • Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
  • Pusaka Jawa

Fasilitas

  • Perpustakaan
  • Laboratorium Bahasa
  • Laboratorium Komputer
  • Laboratorium Fonetik
  • Student Internet Centre
  • Self Access Unit
  • Gamelan
  • Guest House

Informasi Publik

  • Daftar Informasi Publik
  • Prosedur Permohonan Informasi Publik
  • Daftar Informasi Tersedia Setiap Saat
  • Daftar Informasi Wajib Berkala

Kontak

  • Akademik
  • Dekanat
  • Humas
  • Jurusan / Program Studi

© 2024 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY