Yogyakarta, 2/7/2025 – Seminar Antarabangsa Kajian Melayu-Jawa (SEMEJA) IV berlangsung di University Club Universitas Gadjah Mada, menghadirkan diskursus inspiratif tentang kekuatan narasi perempuan dalam sastra Jawa. Dra. Wiwien Widyawati Rahayu, M.A., bersama dua mahasiswanya, Yudha Adistira dan Saktia Hidayah, mempresentasikan kajian berjudul “Kepemimpinan Tokoh Perempuan dalam Novel Kidung Trěsna Sang Pikatan: Perspektif Demokratis Rancière.”
Dalam paparan tersebut, peneliti menyoroti bagaimana tokoh-tokoh perempuan dalam novel karya Alexandra Indriyanti Dewi berfungsi sebagai agen perubahan sosial. Dengan menggunakan teori demokrasi radikal Jacques Rancière, mereka menafsirkan bahwa kepemimpinan dalam cerita tidak berasal dari kekuasaan struktural, melainkan dari tindakan politis yang menggugat tatanan simbolik patriarkal yang telah mapan.
Wulan, Pramodawardhani, dan Sri Kahulunan muncul sebagai representasi tokoh-tokoh perempuan yang memanifestasikan tiga konsep utama Rancière: disensus, egalitarianisme, dan pembalikan hierarki. Wulan, yang digambarkan sebagai tělik sandhi, mengalami konflik batin dan secara halus menantang sistem melalui kepatuhan semu, sebuah bentuk disensus yang secara diam-diam mengguncang struktur kekuasaan. Sementara itu, Pramodawardhani mencerminkan semangat egalitarianisme melalui ketajaman strategi politiknya dan keterlibatannya dalam pembangunan Candi Borobudur. Di sisi lain, Sri Kahulunan dengan tegas menentang klaim bahwa kepemimpinan harus didominasi laki-laki, menunjukkan keberanian perempuan dalam mereposisi kekuasaan.
Menariknya, ketiga tokoh tersebut juga dianalisis melalui lensa feminisme Cyborg Donna Haraway, yang memposisikan mereka sebagai subjek hibrida yang menolak dikotomi lama seperti laki-laki-perempuan atau publik-privat. Dengan pendekatan ini, tokoh-tokoh perempuan muncul tidak hanya sebagai pelengkap narasi sejarah, tetapi sebagai pemimpin yang menyusun ulang peta kekuasaan.
Presentasi ini memberikan kontribusi penting dalam diskursus gender dan politik di ranah sastra, sekaligus menegaskan bahwa sastra Jawa pun mampu menjadi ruang demokrasi yang mengafirmasi suara perempuan sebagai subjek aktif perubahan sosial. Lebih dari sekadar karya roman sejarah, Kidung Trěsna Sang Pikatan tampil sebagai teks perlawanan terhadap patriarki dan simbol keberanian perempuan Jawa dalam mengukir sejarah bangsanya.
Presentasi ini juga menekankan pentingnya keberagaman budaya dalam sastra, menunjukkan bagaimana berbagai narasi dapat hidup berdampingan dan memperkaya pemahaman tentang peran gender. Dengan memberdayakan perempuan melalui pendidikan untuk keberlanjutan, pemaparan ini menyoroti perlunya kesempatan yang setara dalam representasi sastra, memastikan bahwa cerita perempuan diceritakan dan dirayakan.
Sebagai kesimpulan, melalui sesi presentasi oleh Dra. Wiwien Widyawati Rahayu, M.A., SEMEJA IV tidak hanya merayakan kontribusi para ahli dan akademisi dalam kajian Melayu-Jawa, tetapi juga memperkuat pentingnya pendidikan dan keberagaman budaya dalam membangun masa depan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Narasi yang disajikan menjadi panggilan untuk bertindak bagi semua orang untuk mengenali dan mendukung peran vital perempuan dalam sastra dan masyarakat.
[Humas FIB UGM, Candra Solihin]