• About UGM
  • Academic Portal
  • IT Center
  • Library
  • Research
  • Webmail
  • Informasi Publik
  • Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Manajemen
    • Tenaga Kependidikan
    • Tenaga Pendidik
  • Akademik
    • Kalender Akademik
    • Program Sarjana
      • Antropologi Budaya
      • Arkeologi
      • Sejarah
      • Pariwisata
      • Bahasa dan Kebudayaan Korea
      • Bahasa dan Sastra Indonesia
      • Sastra Inggris
      • Sastra Arab
      • Bahasa dan Kebudayaan Jepang
      • Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa
      • Bahasa dan Sastra Prancis
    • Program Master/S2
      • Magister Antropologi
      • Magister Arkeologi
      • Magister Sejarah
      • Magister Sastra
      • Magister Linguistik
      • Magister Pengkajian Amerika
      • Magister Kajian Budaya Timur Tengah
    • Program Doktor/S3
      • Antropologi
      • Ilmu-ilmu Humaniora
      • Pengkajian Amerika
    • Beasiswa
  • KPPM
    • Info Penelitian
    • Publikasi Ilmiah
    • Pengabdian Masyarakat
    • Kerjasama Luar Negeri
    • Kerjasama Dalam Negeri
  • Organisasi Mahasiswa
    • Lembaga Eksekutif Mahasiswa
    • Badan Semi Otonom
      • KAPALASASTRA
      • Persekutuan Mahasiswa Kristen
      • LINCAK
      • Saskine
      • Keluarga Mahasiswa Katolik
      • Dian Budaya
      • Sastra Kanuragan (Sasgan)
      • Keluarga Muslim Ilmu Budaya (KMIB)
      • Bejo Mulyo
    • Lembaga Otonom
      • Himpunan Mahasiswa Arkeologi
      • Ikatan Mahasiswa Jurusan Inggris
      • Himpunan Mahasiswa Pariwisata
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia
      • Ikatan Mahasiswa Sastra Asia Barat
      • Himpunan Mahasiswa Bahasa Korea
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara
      • Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah
      • Himpunan Mahasiswa Studi Prancis
      • Keluarga Mahasiswa Antropologi
      • Himpunan Mahasiswa Jepang
  • Pendaftaran
  • Beranda
  • SDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang Tangguh
Arsip:

SDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang Tangguh

Pameran Keris “Pusaka Manjing Pawiyatan” di FIB UGM: Menghidupkan Warisan Budaya, Menguatkan Jati Diri Bangsa

Rilis BeritaSDGSSDGs 11: Kota dan Pemukiman Yang BerkelanjutanSDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang Tangguh Rabu, 27 Agustus 2025

Yogyakarta, 21 Agustus 2025 – Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada melalui Jurusan Bahasa, Sastra dan Budaya Jawa menyelenggarakan pameran keris bertajuk “Pusaka Manjing Pawiyatan”. Pameran ini menjadi ruang apresiasi sekaligus upaya menumbuhkan wacana mengenai keris sebagai karya adhiluhung bangsa Indonesia yang sarat nilai filosofi.

Keris, yang sejak 2005 telah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Takbenda, tidak hanya berfungsi sebagai benda pusaka, melainkan juga sebagai simbol identitas bangsa dan sumber inspirasi budaya. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya menjadikan keris tetap eksis di tengah masyarakat hingga saat ini.

Rangkaian acara diawali dengan sambutan dari Kepala Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) serta perwakilan FIB UGM, dilanjutkan penjelasan kuratorial mengenai filosofi keris, registrasi peserta workshop, penyampaian materi Grha Keris, hingga sesi diskusi interaktif sebelum acara resmi ditutup. Pameran ini tidak hanya menghadirkan keris sebagai artefak, melainkan juga sebagai media pembelajaran (pawiyatan) untuk menggali nilai sosial, spiritual, dan budaya yang melekat padanya.

Lebih dari sekadar pameran, kegiatan ini sekaligus mendukung tercapainya SDG 4 (Pendidikan Berkualitas) dengan memberikan ruang edukasi budaya kepada generasi muda. Kehadirannya juga sejalan dengan SDG 11 (Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan) karena turut memperkuat identitas Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan yang hidup dan berkelanjutan. Selain itu, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam keris menjadi relevan dengan SDG 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh) karena mengajarkan harmoni, kearifan lokal, serta etika sosial yang dapat memperkuat ketahanan budaya bangsa.

Dengan demikian, “Pusaka Manjing Pawiyatan” bukan hanya sekadar peristiwa kebudayaan, melainkan juga langkah strategis dalam menjaga warisan, menguatkan jati diri bangsa, serta menempatkan budaya sebagai bagian penting dari pembangunan berkelanjutan.

[Humas FIB UGM, Alma Syahwalani]

Kajian Linguistik Mahasiswa UGM Ungkap Kekerasan Verbal terhadap Politisi di Twitter

SDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang TangguhSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Jumat, 22 Agustus 2025

Yogyakarta, 21/8/2025 – Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM kembali melahirkan doktor baru dalam bidang linguistik. Novi Eka Susilowati resmi meraih gelar doktor melalui disertasi berjudul “Penggunaan Metafora Kekerasan Verbal terhadap Politisi Indonesia dalam Twitter”. Sidang promosi doktor ini digelar di Ruang Multimedia, Gedung Margono, FIB UGM dengan promotor Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, S.U., M.A. dan kopromotor Dr. Hayatul Cholsy, M.Hum.

Dalam penelitiannya, Novi menemukan bahwa wacana politik di media sosial sarat dengan metafora kekerasan verbal yang digunakan warganet untuk mendehumanisasi dan merendahkan politisi. Bentuknya beragam, mulai dari kata, frasa, hingga kalimat, dengan ranah sumber seperti binatang, sampah, makhluk metafisik, maupun objek fisik. Menariknya, metafora-metafora baru khas budaya digital Indonesia juga muncul, seperti Mak Lampir atau Kakek Sugiono.

Dalam disertasinya, terdapat enam faktor yang menyebabkan digunakannya metafora kekerasan verbal terhadap politisi, yaitu (1) kekecewaan terhadap politisi, (2) ideologi partai politik yang menaungi politisi, (3) adanya akses ke media sosial, (4) adanya fitur anonim pada Twitter, (5) jauhnya jarak sosial pengguna Twitter dan politisi, dan (6) konteks budaya.

Temuan ini menunjukkan bahwa media sosial tidak hanya ruang ekspresi, tetapi juga menjadi arena reproduksi kekerasan simbolik yang dapat merusak citra positif politisi dan mengurangi penghormatan terhadap hak-hak mereka sebagai manusia.

[Humas FIB UGM, Candra Solihin]

Relasi Sehat Jadi Topik Utama pada Kuliah Perdana Mahasiswa Baru S1 FIB UGM

Rilis BeritaSDGs 10: Mengurangi KetimpanganSDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang TangguhSDGs 3: Kehidupan Sehat dan SejahteraSDGs 4: Pendidikan BerkualitasSDGs 5: Kesetaraan Gender Selasa, 19 Agustus 2025

Yogyakarta, 19/8/2025, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan Kuliah Perdana Khusus bagi Mahasiswa Baru Program Sarjana 2025. Kegiatan ini menghadirkan narasumber utama Prof. Dr. Wening Udasmoro, S.S., M.Hum., DEA., dengan mengusung tema Relasi Sehat, Jiwa Kuat, Belajar Semangat.

Dalam pemaparannya, Prof. Wening memperkenalkan buku berjudul Relasi Sehat yang berlandaskan pada prinsip berpikir positif, kolaborasi, dan inklusivitas. Menurut beliau, kolaborasi menjadi kunci kemajuan bersama, sementara inklusivitas berarti melibatkan semua pihak tanpa terkecuali, termasuk mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi kurang beruntung, wilayah terpencil, maupun teman-teman difabel. Ia menegaskan bahwa relasi sehat tidak hanya diterapkan antar mahasiswa, melainkan juga antara dosen, serta dalam kerja sama eksternal seperti KKN dan magang.

Lebih lanjut, Prof. Wening menekankan bahwa latar belakang yang beragam berpotensi menimbulkan konflik maupun kekerasan, sehingga kesadaran akan keadilan, kesetaraan, dan demokrasi sangat penting untuk menciptakan lingkungan akademik yang aman dan nyaman. Beliau juga menjabarkan bentuk-bentuk kekerasan yang perlu diwaspadai, mulai dari kekerasan verbal, psikologis, seksual, simbolis, hingga intelektual.

Dalam kesempatan ini, Prof. Wening juga mengingatkan bahwa terpilihnya mahasiswa baru FIB dari sekian banyak pendaftar merupakan pencapaian besar, tetapi harus disertai dengan sikap rendah hati dan penghormatan terhadap sesama. Ia menegaskan bahwa di UGM tidak boleh lagi dikenal dengan istilah “dosen killer”, melainkan sebagai universitas yang menjunjung tinggi relasi sehat.

Kegiatan ini berlangsung interaktif dengan adanya sesi tanya jawab antara mahasiswa baru dan Prof. Wening. Diskusi berjalan aktif, dengan penanya yang berasal dari berbagai jurusan di lingkungan FIB. Pertanyaan-pertanyaan kritis mahasiswa semakin memperkaya pemahaman bersama mengenai pentingnya membangun relasi sehat dalam kehidupan akademik maupun sosial.

Kuliah perdana ini ditutup dengan ajakan bersama untuk membangun kesadaran kolektif dalam menciptakan keamanan, kenyamanan, serta semangat belajar yang positif. Dengan demikian, diharapkan seluruh mahasiswa baru FIB UGM mampu menapaki perjalanan akademik mereka dengan jiwa yang kuat, relasi yang sehat, serta semangat belajar yang berkelanjutan.

[Humas FIB UGM, Candra Solihin]

Korea Utara: Di Balik Mitos, Realitas, dan Imajinasi

Rilis BeritaSDGSSDGs 10: Berkurangnya kesenjanganSDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang Tangguh Jumat, 25 Juli 2025

Yogyakarta, 24 Juli 2025 – Dalam pandangan dunia luar, Korea Utara selalu diselimuti oleh tabir misteri. Banyak orang mengenal negara ini lewat laporan media, kesaksian para pembelot, atau bahkan lelucon yang beredar di internet. Namun, jika kita menelusuri lebih dalam mengenai teknologi, kebebasan rakyat, dan kondisi kehidupan di sana, kita akan menemukan kenyataan yang sangat berbeda dari dunia yang kita kenal. Korea Utara bukan negara yang sepenuhnya tertinggal, melainkan negara yang membangun sistem terpusat dengan fokus utama pada stabilitas rezim dan kekuatan militer . Korea Utara adalah masyarakat otoriter di mana kemajuan teknologi hidup berdampingan dengan penindasan terhadap rakyatnya.

Kemajuan teknologi Korea Utara sangat berorientasi pada militer. Sejak tahun 2006, negara ini aktif melakukan uji coba nuklir, mengembangkan peluru kendali balistik antarbenua (ICBM), satelit militer, dan teknologi bahan bakar padat. Kemampuan serangan sibernya juga menimbulkan kekhawatiran global, dengan kelompok peretas seperti Lazarus Group yang diduga berada di balik sejumlah serangan dunia maya besar.

Di bidang teknologi informasi, Korea Utara memiliki ponsel dan sistem operasi buatan sendiri seperti Arirang dan Red Star OS, yang hanya terhubung ke intranet nasional bernama “Kwangmyong” — jaringan lokal yang dikontrol ketat pemerintah. BBC bahkan mengungkap bahwa ponsel buatan Korea Utara dilengkapi sistem pemantauan internal yang dapat merekam layar dan melaporkan perilaku yang dianggap menyimpang, mencerminkan betapa ketatnya kontrol negara terhadap informasi.

Tak hanya dalam akses informasi, kebebasan bergerak pun dibatasi. Warga tidak dapat bepergian antardaerah tanpa izin resmi berupa “surat perjalanan”. Sistem sosial bernama songbun, yang mengklasifikasikan warga berdasarkan latar belakang keluarga, menentukan siapa yang boleh masuk ke kota-kota istimewa seperti Pyongyang. Tempat wisata alam seperti Gunung Myohyang dan Gunung Kumgang pun umumnya hanya terbuka bagi pejabat tinggi atau turis asing, bukan untuk rakyat biasa.

Pakaian warga Korea Utara juga sangat diatur. Seragam militer hanya boleh dikenakan oleh tentara, sementara masyarakat umum seperti pelajar dan pekerja diwajibkan memakai pakaian seragam yang sederhana. Pakaian mencolok atau bergaya individual dianggap sebagai simbol pengaruh budaya Barat. Celana jeans, misalnya, pernah dilarang sepenuhnya karena dianggap sebagai simbol kapitalisme. Meski kini mulai muncul kembali di pasar gelap, penggunaannya tetap terbatas, terutama di kota-kota besar seperti Pyongyang. Di sana, jeans bukan sekadar pakaian, melainkan simbol dari perlawanan ideologis.

Lalu, mengapa rakyat Korea Utara tidak memberontak? Jawabannya bukan karena mereka tidak mau, tetapi karena mereka tidak memiliki ruang untuk melakukannya. Pemerintah menutup akses informasi, sehingga rakyat sulit membandingkan kehidupan mereka dengan dunia luar. Kalaupun ada arus informasi yang masuk lewat pasar gelap, hanya segelintir orang yang bisa mengaksesnya. Mayoritas masih percaya bahwa Korea Utara adalah negara terbaik di dunia—atau setidaknya, mereka tidak bisa memastikan kebenarannya.

Indoktrinasi sejak kecil dan pemujaan terhadap pemimpin telah membentuk gambaran bahwa hidup tanpa pemimpin adalah mustahil. Rasa takut akan hukuman, bahkan yang bisa menyeret seluruh keluarga, membuat siapa pun enggan mengkritik, apalagi mengorganisir perlawanan. Ditambah lagi, sistem pengawasan sosial seperti “rapat evaluasi kehidupan” menciptakan lingkungan penuh kecurigaan, di mana teman bahkan keluarga bisa menjadi pelapor. Kepercayaan sosial pun runtuh, dan gerakan perlawanan sulit tumbuh.

Korea Utara bukan sekadar rezim jahat atau objek ejekan media, tetapi cermin ekstrem dari sebuah sistem otoriter yang menekan manusia hingga kehilangan hak memilih. Rakyat Korea Utara tidak diam karena tidak tahu, melainkan karena mereka tidak bisa berbicara atau bertindak tanpa risiko besar. Dari menonton drama Korea secara diam-diam, bertukar informasi di pasar gelap, hingga menyimpan pemikiran alternatif dalam hati—semua adalah bentuk kecil perlawanan dan kemanusiaan yang tetap menyala dalam tekanan. Memahami Korea Utara bukan sekadar mengenali sebuah negara, tetapi juga mengajak kita merenungi kembali makna kebebasan, kebenaran, dan kemanusiaan dalam kehidupan kita sendiri.

[National Chengchi University, Pan Ke En]

UGM Kembalikan Artefak dan Kerangka Leluhur kepada Masyarakat Warloka, Labuan Bajo

Rilis BeritaSDGs 11: Kota dan Pemukiman Yang BerkelanjutanSDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang TangguhSDGs 17: Kemitraan Untuk Mencapai TujuanSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Kamis, 24 Juli 2025

Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui Departemen Arkeologi dan Program Studi Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), menyerahkan kembali benda-benda warisan budaya kepada masyarakat Warloka, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pada Senin (14/7). Penyerahan ini mencakup sekitar 40 kilogram artefak hasil ekskavasi yang telah dilakukan 15 tahun lalu, dan selama ini disimpan di UGM untuk kepentingan penelitian. Artefak tersebut terbagi dalam 15 kategori, antara lain perhiasan, alat bantu, keramik, gerabah, koin, serta sisa-sisa kerangka dari tiga individu leluhur.

Langkah ini menjadi bagian dari proses repatriasi yang menegaskan pentingnya tanggung jawab etis dalam dunia akademik. Selain sebagai bentuk pengembalian benda fisik, repatriasi ini juga mencerminkan refleksi atas peran peneliti dan keharusan berbagi manfaat riset secara adil.

Ketua tim repatriasi, Dr. Tular Sudarmadi, menyoroti bahwa warisan budaya seharusnya tidak dikelola melalui pendekatan yang eksploitatif dan berakar pada praktik kolonial. Ia menilai bahwa akademisi perlu membangun hubungan yang setara dengan komunitas yang menjadi bagian dari objek penelitian. Ia pun mengungkapkan adanya dorongan moral yang ia rasakan untuk mengembalikan artefak tersebut kepada Komunitas Warloka. UGM, dalam hal ini, juga sedang menyusun pedoman institusional untuk tata kelola benda hasil ekskavasi arkeologis yang dirancang menjadi inisiatif pertama di Indonesia.

Sementara itu, Dr. Rucitarahma Ristiawan dari FIB menambahkan bahwa langkah pemulangan artefak ini merupakan bagian penting dari perjuangan mewujudkan keadilan epistemik. Menurutnya, tindakan tersebut tidak hanya bersifat simbolis, melainkan juga mencerminkan transformasi praktik akademik ke arah yang lebih etis. Ia menekankan pentingnya mengakui nilai sistem pengetahuan lokal serta memberi ruang kepada komunitas untuk menyampaikan sejarah mereka sendiri.

Proses repatriasi ini turut melibatkan mahasiswa pascasarjana Arkeologi UGM, Oto Alcianto, serta mendapat dukungan dari peneliti art crime dan kriminologi dari University of Glasgow, Dr. Emiline Smith. Dalam pandangannya, repatriasi ini merupakan simbol pergeseran penting yang mendorong akademisi untuk lebih sadar terhadap tanggung jawab etis mereka. Ia juga menilai bahwa kegiatan ini menggarisbawahi perlunya dukungan pemerintah dalam membantu institusi mengelola penyimpanan dan pengembalian warisan budaya secara hormat.

Sisa kerangka para leluhur rencananya akan dimakamkan kembali sesuai dengan adat dan kepercayaan masyarakat Warloka. Sementara itu, artefak budaya lainnya akan disimpan sementara di Dinas Pariwisata hingga ruang pamer khusus di Warloka selesai dibangun. Pihak dinas dan komunitas setempat berencana memanfaatkan momentum ini untuk meningkatkan edukasi wisatawan mengenai sejarah lokal serta pentingnya riset kolaboratif dalam pelestarian warisan budaya. Komunitas pun menyatakan komitmennya untuk menjaga dan melindungi temuan arkeologis di wilayah tersebut.

Sumber: ugm.ac.id
Foto: Dok. Tim Peneliti

[Humas FIB UGM, Candra Solihin]

123…32

Rilis Berita

  • Praktik Membuat Pelindung Naskah dan Mencipta Naskah
  • Mengabdi kepada Masyarakat Padukuhan Wotawati
  • Prodi Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa UGM Perkuat Kolaborasi Lewat Partisipasi dalam Seminar Incolwis dan RAKORNAS IV ADISABDA 2025
  • Memenangkan Lomba Literasi Aksara Jawa dalam Hadeging Kadipaten Pakualaman Ngayogyakarta
  • FIB UGM Wisuda 226 Sarjana

Arsip Berita

Video UGM

[shtmlslider name='shslider_options']
Universitas Gadjah Mada

Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Jl. Nusantara 1, Bulaksumur Yogyakarta 55281, Indonesia
   fib@ugm.ac.id
   +62 (274) 513096
   +62 (274) 550451

Unit Kerja

  • Pusat Bahasa
  • INCULS
  • Unit Jaminan Mutu
  • Unit Penelitian & Publikasi
  • Unit Humas & Kerjasama
  • Unit Pengabdian kepada Masyarakat & Alumni
  • Biro Jurnal & Penerbitan
  • Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
  • Pusaka Jawa

Fasilitas

  • Perpustakaan
  • Laboratorium Bahasa
  • Laboratorium Komputer
  • Laboratorium Fonetik
  • Student Internet Centre
  • Self Access Unit
  • Gamelan
  • Guest House

Informasi Publik

  • Daftar Informasi Publik
  • Prosedur Permohonan Informasi Publik
  • Daftar Informasi Tersedia Setiap Saat
  • Daftar Informasi Wajib Berkala

Kontak

  • Akademik
  • Dekanat
  • Humas
  • Jurusan / Program Studi

© 2024 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju