• About UGM
  • Academic Portal
  • IT Center
  • Library
  • Research
  • Webmail
  • Informasi Publik
  • Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Manajemen
    • Tenaga Kependidikan
    • Tenaga Pendidik
  • Akademik
    • Kalender Akademik
    • Program Sarjana
      • Antropologi Budaya
      • Arkeologi
      • Sejarah
      • Pariwisata
      • Bahasa dan Kebudayaan Korea
      • Bahasa dan Sastra Indonesia
      • Sastra Inggris
      • Sastra Arab
      • Bahasa dan Kebudayaan Jepang
      • Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa
      • Bahasa dan Sastra Prancis
    • Program Master/S2
      • Magister Antropologi
      • Magister Arkeologi
      • Magister Sejarah
      • Magister Sastra
      • Magister Linguistik
      • Magister Pengkajian Amerika
      • Magister Kajian Budaya Timur Tengah
    • Program Doktor/S3
      • Antropologi
      • Ilmu-ilmu Humaniora
      • Pengkajian Amerika
    • Beasiswa
  • KPPM
    • Info Penelitian
    • Publikasi Ilmiah
    • Pengabdian Masyarakat
    • Kerjasama Luar Negeri
    • Kerjasama Dalam Negeri
  • Organisasi Mahasiswa
    • Lembaga Eksekutif Mahasiswa
    • Badan Semi Otonom
      • KAPALASASTRA
      • Persekutuan Mahasiswa Kristen
      • LINCAK
      • Saskine
      • Keluarga Mahasiswa Katolik
      • Dian Budaya
      • Sastra Kanuragan (Sasgan)
      • Keluarga Muslim Ilmu Budaya (KMIB)
      • Bejo Mulyo
    • Lembaga Otonom
      • Himpunan Mahasiswa Arkeologi
      • Ikatan Mahasiswa Jurusan Inggris
      • Himpunan Mahasiswa Pariwisata
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia
      • Ikatan Mahasiswa Sastra Asia Barat
      • Himpunan Mahasiswa Bahasa Korea
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara
      • Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah
      • Himpunan Mahasiswa Studi Prancis
      • Keluarga Mahasiswa Antropologi
      • Himpunan Mahasiswa Jepang
  • Pendaftaran
  • Beranda
  • SDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang Tangguh
Arsip:

SDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang Tangguh

UGM Kembalikan Artefak dan Kerangka Leluhur kepada Masyarakat Warloka, Labuan Bajo

Rilis BeritaSDGs 11: Kota dan Pemukiman Yang BerkelanjutanSDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang TangguhSDGs 17: Kemitraan Untuk Mencapai TujuanSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Kamis, 24 Juli 2025

Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui Departemen Arkeologi dan Program Studi Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), menyerahkan kembali benda-benda warisan budaya kepada masyarakat Warloka, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pada Senin (14/7). Penyerahan ini mencakup sekitar 40 kilogram artefak hasil ekskavasi yang telah dilakukan 15 tahun lalu, dan selama ini disimpan di UGM untuk kepentingan penelitian. Artefak tersebut terbagi dalam 15 kategori, antara lain perhiasan, alat bantu, keramik, gerabah, koin, serta sisa-sisa kerangka dari tiga individu leluhur.

Langkah ini menjadi bagian dari proses repatriasi yang menegaskan pentingnya tanggung jawab etis dalam dunia akademik. Selain sebagai bentuk pengembalian benda fisik, repatriasi ini juga mencerminkan refleksi atas peran peneliti dan keharusan berbagi manfaat riset secara adil.

Ketua tim repatriasi, Dr. Tular Sudarmadi, menyoroti bahwa warisan budaya seharusnya tidak dikelola melalui pendekatan yang eksploitatif dan berakar pada praktik kolonial. Ia menilai bahwa akademisi perlu membangun hubungan yang setara dengan komunitas yang menjadi bagian dari objek penelitian. Ia pun mengungkapkan adanya dorongan moral yang ia rasakan untuk mengembalikan artefak tersebut kepada Komunitas Warloka. UGM, dalam hal ini, juga sedang menyusun pedoman institusional untuk tata kelola benda hasil ekskavasi arkeologis yang dirancang menjadi inisiatif pertama di Indonesia.

Sementara itu, Dr. Rucitarahma Ristiawan dari FIB menambahkan bahwa langkah pemulangan artefak ini merupakan bagian penting dari perjuangan mewujudkan keadilan epistemik. Menurutnya, tindakan tersebut tidak hanya bersifat simbolis, melainkan juga mencerminkan transformasi praktik akademik ke arah yang lebih etis. Ia menekankan pentingnya mengakui nilai sistem pengetahuan lokal serta memberi ruang kepada komunitas untuk menyampaikan sejarah mereka sendiri.

Proses repatriasi ini turut melibatkan mahasiswa pascasarjana Arkeologi UGM, Oto Alcianto, serta mendapat dukungan dari peneliti art crime dan kriminologi dari University of Glasgow, Dr. Emiline Smith. Dalam pandangannya, repatriasi ini merupakan simbol pergeseran penting yang mendorong akademisi untuk lebih sadar terhadap tanggung jawab etis mereka. Ia juga menilai bahwa kegiatan ini menggarisbawahi perlunya dukungan pemerintah dalam membantu institusi mengelola penyimpanan dan pengembalian warisan budaya secara hormat.

Sisa kerangka para leluhur rencananya akan dimakamkan kembali sesuai dengan adat dan kepercayaan masyarakat Warloka. Sementara itu, artefak budaya lainnya akan disimpan sementara di Dinas Pariwisata hingga ruang pamer khusus di Warloka selesai dibangun. Pihak dinas dan komunitas setempat berencana memanfaatkan momentum ini untuk meningkatkan edukasi wisatawan mengenai sejarah lokal serta pentingnya riset kolaboratif dalam pelestarian warisan budaya. Komunitas pun menyatakan komitmennya untuk menjaga dan melindungi temuan arkeologis di wilayah tersebut.

Sumber: ugm.ac.id
Foto: Dok. Tim Peneliti

[Humas FIB UGM, Candra Solihin]

Pekerja Migran Indonesia Hidup di Taiwan

Rilis BeritaSDGSSDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang TangguhSDGs 4: Pendidikan BerkualitasSDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi Kamis, 24 Juli 2025

Yogyakarta, 16 Juli 2025 – Kata-kata ”pekerja migran”, atau “buruh luar negeri“ yang dipanggil oleh orangnya, mungkin hanya sekelompok rakyatnya yang akrab tapi tak biasa diketahui oleh orang lainnya, tampak mereka sebagaimana tidak pernah muncul dalam kehidupan kita, tetapi fakta benar-benar merupakan sosok mereka telah menghabiskan banyak musim semi, panas, gugur dan dingin dengan kita di kota tempat tinggalnya.

Banyak dari kehidupan sehari-hari yang sudah biasa bagi kita, di mana juga bisa melihat sosok yang pekerja migran partisipasi, dan mungkin oleh sebabnya, kelompok pekerja migran terlibat dalam hidup masyarakat namun tidak terlalu aktif.

Untungnya, dalam kelas Indonesia advanced semester ini, Bu Silvia merencanakan satu wawancara mengenai memahami teman- teman Indonesia lebih dekat. Jadi kami memiliki kesempatan untuk duduk di samping dan bicarakan dengan mereka.

Karena hari itu hari Natal, semuanya memberi bagasi-bagasinya dan pindah dengan cepat di dalam TMS. Baik orang Taiwan maupun orang Indonesia mengambil foto bersama-sama di depan pohon Natal, dan membuat video kecil kehidupan harian.

Dalam pembantuan Bu Silvia, kelompok saya akhirnya mencari sekelompok wanita untuk mewawancarai, sesudah semuanya memperkenalkan dengan singkat, kami tahu yang pekerjaan semuanya sebagai pengurus. Mereka membantu orang yang tua dan mungkin ada kesulitan untuk hidup diri sendiri dan mengurus kesehatannya.

Mereka sering mengobrol bersama-sama dan “tiduran“ di TMS pada waktu luang. Ketika ditanya pertanyaan seperti mengapa orang Indonesia sering muncul dan “tiduran“ di sini, mereka jawab dengan senyum dan berbincang kepada kami bahwa karena kejadiannya adalah salah satu kebiasaan Indonesia. Baik muda maupun tua, semuanya terbiasa berkumpul dan berkata-kata pada waktu luang.

Salah satu teman Indonesia, namanya Yaya, berbincang alasan dengan jelas : Sesudah pindah ke Taiwan, karena banyak penyebab yang mungkin bingung pekerja migran sebagaimana masalah kehidupan atau masalah bahasa, banyak orang akan memilih untuk berhubungan satu sama lain sebisa-bisanya dan kalau ada peristiwa terjadi semuanya bisa bantu bersama. ( Ngomong- ngomong, Yaya bisa bicara bahasa Mandarin dengan lancar! )

Terus-terusan, kelompok kami mau tanya apa kesulitan terjadi sesudah mereka pindah ke Taiwan dan tinggal di sini selama waktu. Mereka bicarakan bahwa suasana kerja di Taiwan baik cukup dan lingkungan kehidupan juga ramah sekali.

Pada awalnya, banyak pekerja migran seperti mereka datang ke Taiwan atau luar negeri untuk gaji enak, fakta bahwa masyarakat Indonesia benar-benar adalah fenomena kemiskinan selalu bisa dilihat di dalam desa-desa kecil yang jauh dari kota besar, banyak keluarga terus kekurangan dan memutuskan untuk mengubah lingkungan anak-anaknya, jadi bekerja di Taiwan. Tetapi kami mendapatkan yang mereka hanya menjelaskan alasan kenapa datang ke Taiwan dengan singkat dan hampir tidak mengeluh tentang kelemahan Taiwan, mungkin mereka kurang mau berbagi pendapat terlalu sensitif seperti pertanyaannya, tetapi secara keseluruhan,kami merasa mereka masih puas dengan lingkungan kerja dan pilihannya di Taiwan.

Setelah selesai percakapan yang menyenangkan dengan kelompok wanita, kami memutuskan untuk mencari kelompok lainnya, kelompok kedua kami wawancarai juga ramah, dan yang paling mengesankan saya adalah sepasang saudara.

Bu bekerja di rumah lainnya sebagai pengurus dan mas bekerja di pabrik makanan.

Pada ditanya. bahwa apa perbedaan besar di antara Taiwan dan Indonesia, mas mengatakan pasti perbedaan bahasa. Meskipun mereka sudah tinggal di Taiwan selama beberapa tahun, masih kurang punya kesempatan untuk berkomunikasi dengan orang Taiwan lainnya sebanyak bisa. Menurut saya, itulah mungkin juga salah satu alasan tentang fenomena perkumpulannya.

Selain itu, mas juga berbagi sedikit ceritanya kepada kami, sebab ingin membuka restoran di Indonesia di masa depan, dia memilih untuk datang ke Taiwan dan kerja keras, walaupun hanya dapat kembali ke kampung halamannya sekali selama tujuh tahun. ( karena harga tiket pesawat yang mahal…… )

Jujurnya, kami terkejut dan sedih pada mendengarnya, semuanya berusaha untuk memainkan perannya sendiri untuk berbaikan hidup keluarganya. Kami juga yakin mereka dapat mengatasi kesulitan dan mewujudkan mimpinya!

Sesudah berkomunikasi dengan orang Indonesia, saya memikirkan kesulitan yang mungkin mereka akan dihadapi, juga menggabungkan pengetahuan sudah saya belajar di universitas, saya telah mengumpulkan tiga masalah utama yang mungkin dihadapi oleh pekerja migran Indonesia:

Masalah pertama:Adaptasi bahasa dan budaya

Para pekerja migran yang datang dan berangkat dari kampung halamannya, terbang sejauh tiga ribu kilometer ke Taiwan, yang mungkin merupakan perjalanan pertama dalam hidupnya, atau stasiun kedua atau ketiga tempat mereka bekerja di luar negeri, bahkan mereka mendengar tentang “ Taiwan “ untuk pertama kalinya.

Keluar dari bandara, dan mendekati negara dengan bahasa, budaya dan kepercayaan yang sangat berbeda, ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Seperti tantangan “bahasa”, walaupun sudah mengikuti kursus bahasa Mandarin di negara asal, tidak cukup untuk melakukan percakapan sehari-hari, selain itu jika merawat kakek dan bibi yang sudah terbiasa menggunakan bahasa Mandarin, mungkin akan terjadi kesalahpahaman karena perbedaan bahasa.

Selain perbatasan bahasa, ada juga perbedaan budaya. Untuk alasan agama, orang Islam tidak bisa makan dan minum pada siang hari di bulan Ramadan, dan beberapa pimpinan berpikir bahwa tidak makan tidak akan memberikan kekuatan untuk merawat orang tua di rumah. Keduanya membutuhkan waktu yang lama untuk berkomunikasi dan memahami satu sama lain.

Masalah kedua:Kebijakan dan undang-undang pekerja migran

Sebagai tambahan dari iklan masyarakat,pekerja migran juga harus menghadapi masalah hukum. Bahkan sekarang ketika masyarakat berubah dengan cepat dan hak pekerja mulai dihargai, pekerja migran masih memiliki masalah yang sulit untuk diatasi.

Masalah ketiga:Bagaimana caranya agar pekerja migran tidak terjebak dalam lingkaran kemiskinan

Para pekerja migran datang ke Taiwan bekerja keras setiap hari dan malam, dan banyak yang mengirimkan gaji bulanannya ke kampung halaman untuk mewujudkan mimpi mereka. Mereka tinggal di Taiwan selama tiga sampai empat belas tahun, tetapi mereka tidak memiliki pengetahuan manajemen keuangan karena mereka tumbuh dewasa, dan mereka tidak memiliki pengetahuan untuk menabung.

Taiwan, sebagai impian bagi banyak orang yang dipindahkan ke Asia Tenggara. Mereka tinggal jauh dari kampung halaman mereka dan datang ke Taiwan, tidak hanya sebagai sumber keuangan keluarga mereka, tetapi juga sebagai sumber pendukung bagi orang-orang tua di rumah. Namun, karena mereka tidak dapat berkomunikasi dengan baik, banyak orang dipindahkan untuk menjaga kakek dan nenek untuk waktu yang lama, tetapi mereka tidak dapat memahami apa yang dikatakan orang tua mereka, dan bahkan mengalami banyak kesulitan dalam bekerja. Bahasa yang tidak biasa dan kepercayaan yang tidak biasa membuat mereka dianggap sebagai orang asing di Taiwan untuk waktu yang lama, dan dilaporkan secara sepihak media, yang memperdalam diskriminasi di seluruh dunia. Celah membuat kita saling berhubungan dan sulit untuk mendekatinya.

Masih ada banyak hak asasi sedang ditunggu untuk berubah, hanya kita memutuskan untuk menciptakan dunia yang semua bisa hidup-hidup bersama dengan bahagia, lingkungan pekerja migran dan orang Taiwan baru bisa memahami satu sama lain sebisa- bisanya!

[National Chengchi University, Wu Yu Han]

 

Gaya Hidup Modern Diikuti oleh Pemuda di Indonesia dan Taiwan

Rilis BeritaSDGSSDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang TangguhSDGs 3: Kehidupan Sehat dan SejahteraSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Rabu, 23 Juli 2025

Yogyakarta, 16 Juli 2025 – Seiring dengan kemajuan teknologi, kehidupan orang-orang menjadi nyaman sebisa-bisanya, namun, pada saat yang sama, fenomena sebagaimananya juga mengubah secara signifikan gaya hidup masyarakat. Dalam diskusi kali ini, saya akan jelaskan fakta-fakta tentang bagaimana gaya hidup zaman sekarang pemuda di Taiwan dan bagaimana gaya hidup zaman sekarang pemuda di Indonesia, dengan memperkenalkan kedua-duanya dan berbagi pendapatnya mengenai kejadian ini, kami bisa lihat bersama-sama.

Pertama-tama, gimana gaya hidup zaman sekarang pemuda di Taiwan, dengan perkembangan media sosial, sebagaimana instagram, TikTok, buku merah dan lain-lain, anak muda lebih memilih untuk mencari kehidupan nyata di platformnya, dengan berbagi cerita hariannya di media sosial, mendapatkan perhatian tema-temanya dan semakin terbiasa hidup di zaman “Facebook“, mereka merasa lebih mudah dan cepat untuk saling berkomunikasi di Internet daripada mencari kafe untuk berbincang-bincang secara langsung.

Selain itu, karena semakin banyak orang-orang yang membuat video kehidupan di media sosial, ada juga pekerjaan khusus muncul di masyarakat modern, namanya “pemberi pengaruh“.

Di sini lain, kejadiannya juga terjadi di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan besar Jepang, namanya Cover, sudah memutuskan untuk membentuk kelompok “Vtubers“ di Indonesia, pemberi pengaruh bisa mengobrol dengan orang-orang di Internet melalui suaranya, anak muda juga sering mengumpulkan pengetahuan lewat net, dan semakin banyak kaum muda meningkatkan interaksi dengan siaran langsung atau mengambil video beragam seperti perjalanan, menari, bernyanyi dan lain-lainnya.

Ada contoh lainnya tentang gaya hidup modern diikuti oleh pemuda, semester lalu saya dan kelompok saya ke Taipei berkunjung ke stasiun untuk mewawancarai orang Indonesia. Karena hari itu Natal, banyak orang memberi bagasinya dan mengambil foto-foto bersama-sama di depan pohon Natal, baik orang Taiwan maupun orang Indonesia. Semuanya bisa melalui HP untuk berhubungan satu sama lain langsung.

Pada zaman dulu, orang-orang hanya bisa menelepon keluarganya untuk mengetahui kabarnya, tapi kini semuanya bisa melalui mengambil fotonya, membuat reels atau videonya untuk berbagi lingkungan mereka. Semua adalah fakta tentang gaya hidup modern pemuda di Taiwan dan Indonesia.

Terakhir yang tidak kalah penting, sebagai anggota generasi muda, saya mau bagikan pendapat saya: Perkembangan internet yang lancar membuat kita lebih mudah untuk berkomunikasi secepat-cepatnya, berhubungan dengan satu sama lain seboleh-bolehnya, dan bagikan pendapat dan cerita sendiri sebaik-baiknya.

Namun, jika kita terlalu bergantung pada teknologi, kita tidak dapat berhadapan dengan diri sendiri. Semuanya bisa memiliki berbagai macam gaya hidup, tapi jangan biarkan gaya hidup menduduki semuanya.

[National Chengchi University, Wu Yu Han]

 

Ada Musuh dalam Selimut: Bagaimana Internet Bebas Mengubah Gaya Hidup dan Mentalitas Generasi Z dengan Tidak Disadari

Rilis BeritaSDGSSDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang TangguhSDGs 3: Kehidupan Sehat dan SejahteraSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Rabu, 23 Juli 2025

Yogyakarta, 14 Juli 2025 – Generasi Internet yang disebut juga sebagai Generasi Z mengacu secara spesifik bawah orang-orang yang lahir pada akhir tahun 1990 hingga awal tahun 2010.

Generasi Z sangat dipengaruhi oleh produk-produk teknologi, yaitu generasi asli yang telah hidup di dunia maya dan dunia nyata elektronik sejak masa kanak-kanak. Oleh karena itu, dianggap juga “penduduk digital”. Perkembangan teknologi sekali mempengaruhi generasi ini. Identifikasi diri, mereka tidak hanya menaruh harapan pada Internet, tetapi juga merasa bingung karena Internet. Keinginan akan kebebasan dan ketidakberdayaan hidup berdampingan dalam hati generasi Internet.

Internet bebas telah menjadi nilai-nilai yang sangat diperlukan dalam masyarakat demokratis. Melalui Internet, orang dapat dengan gratis berbagi suasana hati dan memanfaatkan sumber daya. Ponsel pintar juga sudah menjadi alat Internet yang penting bagi remaja zaman sekarang. Tapi pada saat yang sama, media sosial dan video instan yang berwarna-warni juga telah mengubah gaya hidup pemuda-mudi dan menciptakan generasi yang rentan kurang PD dan terhadap depresi.

Ada banyak alasan mengapa remaja bisa mengalami depresi, namun perasaan “tidak kompeten” atau “gagal” disebutkan salah satu alasan yang paling umum. Terutama media sosial dapat menyebabkan atau memperburuk perasaan tidak mampu tersebut. Kekuatan teknologi sebagaimananya benar “berpartisipasi“ dalam kehidupan dan selangkah demi selangkah cetakan gaya hidup semuanya.

Selain itu, Postingan di Internet sering kali melaporkan kabar baik tetapi bukan kabar buruk. Ketika pemuda menghabiskan banyak waktu menggunakan media sosial, mereka sering kali mengembangkan mentalitas komparatif seperti “dibayangi oleh orang lain”. atau “merasa bahwa saya tidak sebaik orang lain” adalah fenomena yang umum terjadi.

Paradoksnya, remaja yang depresi suka menunjukkan optimisme, PD atau kehidupan yang indah secara online. Terlihat bahwa Internet telah menjadi surga bagi remaja untuk menghindari depresi dan khawatir dalam kenyataan. Mereka membenci rasa sakit yang mereka derita dalam kehidupan nyata, sehingga mereka beralih ke Internet untuk mengejar kebahagiaan virtual. Ciri-ciri ledakan informasi di era Internet telah membuat kebebasan semakin meluas. Platform Internet dapat memberikan pemuda-pemudi beragam pilihan yang terang.

Meskipun konsep kebebasan telah berkembang ke tingkat yang lebih tinggi, hal ini juga meningkatkan rasa tidak aman di generasi Internet. Keberagaman internet juga mendukung setiap orang untuk berkembang ke arah yang berbeda. Diskusi seperti mendorong kelemahan, mendorong pembicaraan, dan mendorong perbedaan pun bermunculan. Fakta-fakta berikutnya menjadi bukti bahwa gaya hidup generasi muda lambat laun mulai terdampak.

Sebaliknya, fenomenanya juga membawa efek samping tentang kebingungan diri sendiri dan ketidakberdayaan. Semakin banyak anak muda sekarang yang kebanjiran “samudra ledakan informasi” yang luas serta bahaya dan mausuk ke arah gaya hidup yang buruk seperti menghasilkan uang cepat dengan penipuan atau memamerkan kekayaan keluarganya. Kejadian berikutnya tampaknya berbeda dengan niat awalnya.

Di era Internet, diskusi tentang selfie yang sempurna dan pekerjaan yang sukses sering bisa dilihat di mana-mana di media sosial. Ketika foto-foto yang menunjukkan tubuh atau penampilan yang sempurna terlihat di wawasan para remaja; ketika lulusan perguruan tinggi melihat bahwa teman-teman kelas mereka sudah memiliki pekerjaan yang patut ditiru, mereka mulai memikirkan gaya hidup yang diikuti sekarang dan mencoba mencari tempat yang berbeda: gaya hidup yang sukses dari orang lainnya membuat mereka untuk bekerja lebih keras dan mencoba untuk menjadikan diri sendiri lebih baik, semuanya memiliki kesempatan untuk memperbaiki kehidupannya melalui nilai-nilai cocok dari informasi Internet dan media sosial.

Namun kenyataannya tidak sempurna yang dibayangkan. Misalnya, dalam ingatan saya ada banyak “pemberi pengaruh“ yang sukses mendapat banyak perhatian dari Instagram tapi akhirnya menolak arti media sosial dan menutup akunnya. Semakin banyak pemuda-pemudi mengkritik budaya palsu generasi internet. Meski internet penuh dengan berbagai nilai dan opini, media sosial membatasi imajinasi masyarakat akan kesuksesan dan kecantikan. Sulit membayangkan kesuksesan di platform Internet adalah apa yang banyak pemuda-pemudi kejar ketika mereka masih di sekolah menengah.

Internet hanyalah sebuah hadiah gaib yang berorientasi pasar, dan semuanya di Internet menjadi komoditas yang dinilai dari jumlah “suka” atau tanggapan orang lain. Hal ini pada akhirnya menjadi pengejaran biasa-biasa saja dan tidak bisa membawa kebahagiaan yang nyata.

Terakhir tetapi tidak kalah penting, meskipun Internet gratis mungkin tidak memberikan kebahagiaan sejati bagi masyarakat, teknologi ini masih telah menciptakan kemungkinan tak terbatas untuk pengembangan diri dan imajinasi berbeda tentang masa depan. ( Konsep Internet bagai musuh dalam selimutnya. ) Saat ini, mustahil bagi kita untuk kembali ke era tanpa Internet. Namun, jika kita dapat mendeteksi dan lebih memahami terhadap tantangan psikologis generasi Internet, kita dapat menciptakan peluang Internet yang lebih baik!

[National Chengchi University, Wu Yu Han]

 

source photo : Media.id

Dekolonisasi Arsip Fotografi: Membangkitkan Kembali Gambar-Gambar Kolonial untuk Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat

SDGs 10: Mengurangi KetimpanganSDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang TangguhSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Jumat, 18 Juli 2025

Yogyakarta, 10/7/2025 – Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menyelenggarakan kuliah umum yang membangkitkan gairah intelektual dan diskusi kritis lintas disiplin. Bertempat di Ruang 709 Gedung Soegondo, kuliah umum bertajuk “Dekolonisasi Arsip Fotografi: Masalah Penelitian di Zaman Kolonial dan Dokumentasi Visualnya” ini menghadirkan Dr. Martin Slama, peneliti senior dari Akademi Ilmu Pengetahuan Austria, sebagai narasumber utama.

Dalam pemaparannya, Dr. Slama menyingkap hasil ekspedisi ilmuwan Austria dan Jerman ke Hindia Belanda pada tahun 1928-1929. Ekspedisi limnologi ini tak hanya menghasilkan sekitar 3.000 foto yang menyorot ekologi perairan sungai dan danau, tetapi juga merekam kehidupan masyarakat lokal secara detail, mulai dari upacara adat, kegiatan keagamaan, hingga rutinitas sehari-hari. Uniknya, sebagian besar gambar diambil dengan teknologi fotografi stereo yang menghadirkan efek tiga dimensi.

Namun, di balik nilai ilmiahnya yang besar, arsip foto-foto tersebut selama ini tersimpan eksklusif di Wina, Austria. Akses yang terbatas menjadi kritik utama yang diangkat dalam diskusi: bagaimana foto-foto ini bisa dikembalikan maknanya ke masyarakat tempat ia diambil? Bagaimana menjadikannya bukan sekadar warisan kolonial, tetapi jendela refleksi sosial, budaya, dan sejarah?

Dr. Slama menekankan bahwa digitalisasi semata tidak cukup. Menurutnya, perlu ada pendekatan dekolonisasi dalam penyajian arsip digital tersebut, agar komunitas lokal di Indonesia dapat mengakses, memahami, bahkan memaknai ulang gambar-gambar tersebut sesuai konteks hari ini. “Foto-foto kolonial ini harus diberi kehidupan baru yang tidak hanya sebagai objek visual, tetapi sebagai bagian dari narasi yang melibatkan masyarakat yang dulu menjadi subjeknya,” ujarnya.

Diskusi berlangsung dinamis dan penuh antusiasme. Dosen, mahasiswa, serta akademisi dari berbagai bidang turut aktif bertanya dan berdialog, menunjukkan betapa pentingnya interseksi antara sejarah, visualitas, dan etika arsip dalam kajian post-kolonial.

Melalui kuliah umum ini, Departemen Sejarah UGM tidak hanya membuka ruang akademik untuk belajar sejarah masa lalu, tetapi juga menantang peserta untuk berpikir kritis tentang masa kini serta bagaimana warisan kolonial bisa direkonstruksi untuk masa depan yang lebih adil dan inklusif.

[Humas FIB UGM, Candra Solihin]

123…31

Rilis Berita

  • Mahasiswa Prodi Bahasa dan Kebudayaan Korea Lolos Program Fast Track S1–S2 FIB UGM
  • UGM Kembalikan Artefak dan Kerangka Leluhur kepada Masyarakat Warloka, Labuan Bajo
  • Pekerja Migran Indonesia Hidup di Taiwan
  • Ihsania Salma Raih Beasiswa Unggulan 2024, Ini Tips and Tricks nya!
  • Kisah Kopi Es Tak Kie dan Ingatan Kampung Rawa: Perjuangan dan Warisan Tionghoa di Tengah Kota

Arsip Berita

Video UGM

[shtmlslider name='shslider_options']
Universitas Gadjah Mada

Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Jl. Nusantara 1, Bulaksumur Yogyakarta 55281, Indonesia
   fib@ugm.ac.id
   +62 (274) 513096
   +62 (274) 550451

Unit Kerja

  • Pusat Bahasa
  • INCULS
  • Unit Jaminan Mutu
  • Unit Penelitian & Publikasi
  • Unit Humas & Kerjasama
  • Unit Pengabdian kepada Masyarakat & Alumni
  • Biro Jurnal & Penerbitan
  • Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
  • Pusaka Jawa

Fasilitas

  • Perpustakaan
  • Laboratorium Bahasa
  • Laboratorium Komputer
  • Laboratorium Fonetik
  • Student Internet Centre
  • Self Access Unit
  • Gamelan
  • Guest House

Informasi Publik

  • Daftar Informasi Publik
  • Prosedur Permohonan Informasi Publik
  • Daftar Informasi Tersedia Setiap Saat
  • Daftar Informasi Wajib Berkala

Kontak

  • Akademik
  • Dekanat
  • Humas
  • Jurusan / Program Studi

© 2024 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY