• About UGM
  • Academic Portal
  • IT Center
  • Library
  • Research
  • Webmail
  • Informasi Publik
  • Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Manajemen
    • Tenaga Kependidikan
    • Tenaga Pendidik
  • Akademik
    • Kalender Akademik
    • Program Sarjana
      • Antropologi Budaya
      • Arkeologi
      • Sejarah
      • Pariwisata
      • Bahasa dan Kebudayaan Korea
      • Bahasa dan Sastra Indonesia
      • Sastra Inggris
      • Sastra Arab
      • Bahasa dan Kebudayaan Jepang
      • Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa
      • Bahasa dan Sastra Prancis
    • Program Master/S2
      • Magister Antropologi
      • Magister Arkeologi
      • Magister Sejarah
      • Magister Sastra
      • Magister Linguistik
      • Magister Pengkajian Amerika
      • Magister Kajian Budaya Timur Tengah
    • Program Doktor/S3
      • Antropologi
      • Ilmu-ilmu Humaniora
      • Pengkajian Amerika
    • Beasiswa
  • KPPM
    • Info Penelitian
    • Publikasi Ilmiah
    • Pengabdian Masyarakat
    • Kerjasama Luar Negeri
    • Kerjasama Dalam Negeri
  • Organisasi Mahasiswa
    • Lembaga Eksekutif Mahasiswa
    • Badan Semi Otonom
      • KAPALASASTRA
      • Persekutuan Mahasiswa Kristen
      • LINCAK
      • Saskine
      • Keluarga Mahasiswa Katolik
      • Dian Budaya
      • Sastra Kanuragan (Sasgan)
      • Keluarga Muslim Ilmu Budaya (KMIB)
      • Bejo Mulyo
    • Lembaga Otonom
      • Himpunan Mahasiswa Arkeologi
      • Ikatan Mahasiswa Jurusan Inggris
      • Himpunan Mahasiswa Pariwisata
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia
      • Ikatan Mahasiswa Sastra Asia Barat
      • Himpunan Mahasiswa Bahasa Korea
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara
      • Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah
      • Himpunan Mahasiswa Studi Prancis
      • Keluarga Mahasiswa Antropologi
      • Himpunan Mahasiswa Jepang
  • Pendaftaran
  • Beranda
  • SDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi
Arsip:

SDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi

Siapa Sangka Seorang Mahasiswa Sastra Arab Diterima Magang di Perusahaan BUMN? Inilah Kontribusi Faris Zakiy untuk Masyarakat

SDGs 11: Kota dan Pemukiman Yang BerkelanjutanSDGs 7: Energi bersih dan terjangkauSDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi Jumat, 18 Juli 2025

Siapa bilang mahasiswa Sastra Arab hanya berkutat dengan teks dan budaya Timur Tengah? Fariz Zakiy, mahasiswa aktif dari Sastra Arab Universitas Gadjah Mada (UGM), membuktikan sebaliknya. Ia berhasil menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan humaniora bukanlah penghalang untuk berkontribusi nyata dalam dunia profesional. 

Berawal dari keinginan mengisi liburan semester dengan kegiatan produktif, Faris menemukan informasi magang. Saat membaca salah satu posisi yang dibuka adalah di bidang Corporate Social Responsibility (CSR), ia langsung tertarik, meskipun sempat ragu karena merasa jurusannya tidak berkaitan langsung. Dengan keberanian untuk mencoba, dia memutuskan untuk mengambil peluang dan kesempatan itu. Keputusannya itu ternyata membuahkan hasil. Ia diterima dan mulai menjalani pengalaman magang yang mempertemukannya dengan banyak dinamika masyarakat. 

Ketertarikan Faris terhadap dunia sosial bukanlah hal baru. Sejak awal kuliah, ia aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan seperti Ikmasa Mengabdi, Gemilang Desa, Ramadhan di Kampus, hingga menjadi bagian dari tim acara PIONIR Gadjah Mada 2024. Dari sanalah tumbuh kepekaannya terhadap isu sosial serta kemampuan dalam perencanaan kegiatan yang kini menjadi aset penting dalam perannya di bidang CSR.

Kendati berasal dari jurusan Sastra Arab, Faris menemukan bahwa banyak keterampilan yang ia peroleh selama studi sangat berguna dalam dunia kerja. Kemampuan menulis dan berkomunikasi yang ia latih selama kuliah menjadi modal utama dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat dengan cara yang lebih jelas dan mudah dipahami. Ditambah lagi, pengalamannya dalam menangani program-program organisasi membekalinya dengan kemampuan menerima kritik, merespons permasalahan secara solutif, serta menyiapkan materi komunikasi publik dengan visual menarik–seperti desain grafis dan video editing–yang semuanya mendukung kerja-kerja CSR di lapangan.

Selama magang, Faris terlibat dalam berbagai program pengembangan masyarakat yang mencakup sektor pertanian, peternakan, kesehatan, pariwisata, dan ekonomi. Salah satu program yang paling membanggakan baginya adalah pengembangan Kelompok Tani Bina Mandiri di Desa Pulosari melalui inovasi teknologi biodigester yang menghasilkan bio slurry. Produk ini kemudian dikembangkan menjadi Bio Slurry Plus, inovasi orisinal dari PLTP Gunung Salak yang belum pernah diterapkan di tempat lain. Program ini terbukti meningkatkan produktivitas sektor pertanian dan peternakan, dan menjadi salah satu alasan mengapa CSR PLTP Gunung Salak mendapatkan penghargaan Gold–tingkat tertinggi dalam penilaian program CSR nasional.

Dalam menjalankan perannya, Faris juga dihadapkan pada tantangan, terutama dalam mengubah kebiasaan masyarakat yang belum sepenuhnya tepat, khususnya di bidang pertanian dan peternakan. Ia dan tim memilih untuk melakukan edukasi secara perlahan, konsisten, dan dengan pendekatan yang persuasif agar pesan-pesan perubahan bisa diterima tanpa menyinggung kebiasaan yang telah mengakar. Dalam proses itu, Faris sangat menjunjung tinggi nilai lokal dan budaya setempat. Ia percaya bahwa prinsip “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” menjadi kunci dalam membangun kepercayaan masyarakat, terutama ketika bekerja di lingkungan yang sarat dengan nilai-nilai kultural seperti kawasan sekitar Taman Nasional Halimun Gunung Salak, meskipun lokasi binaan program berada di luar area konservasi tersebut.

Pengalaman magang ini mengubah cara pandang Faris terhadap hubungan antara dunia sastra, sosial, dan dunia kerja. Ia menyadari bahwa ilmu yang ia pelajari, yang semula ia anggap hanya relevan di ruang akademik atau kajian budaya, ternyata memiliki koneksi erat dengan kebutuhan praktis di lapangan. Sastra tidak hanya soal teks, tetapi juga tentang memahami konteks sosial, membangun empati, dan menyampaikan gagasan secara efektif–hal-hal yang sangat krusial dalam bidang pengembangan masyarakat. Baginya, dunia sastra dan dunia kerja tidak berseberangan, justru saling mendukung dan menguatkan.

Setelah program magangnya selesai, Faris bertekad untuk terus terlibat dalam kegiatan sosial dan memperdalam pengetahuannya di bidang pengembangan masyarakat. Ia juga ingin mengeksplorasi keterampilan yang selama ini ia tekuni, seperti perencanaan acara, desain, video editing, dan penulisan, yang menurutnya sangat dibutuhkan dalam dunia kerja sosial. Kisah Faris Zakiy adalah bukti nyata bahwa keberanian untuk melangkah, minat yang konsisten, dan kemampuan beradaptasi bisa membawa mahasiswa dari disiplin apa pun untuk memberi dampak nyata bagi masyarakat–bahkan hingga ke perusahaan milik negara.

 

[Humas FIB UGM, Candra Solihin]

Dari Hikayat Ke Kandha: Interaksi Sastra Melayu-Jawa Dalam Pembentukan Pakem Lakon Wayang Purwa

Rilis BeritaSDGSSDGs 17: Kemitraan Untuk Mencapai TujuanSDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi Selasa, 15 Juli 2025

Yogyakarta, 2 Juli 2025 –  Dalam Seminar Antarabangsa Kajian Melayu-Jawa, Dr. Rudy Wiratama memperkenalkan Wayang Purwa sebagai bagian dari kebudayaan Nusantara yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-harian masyarakat Austronesia.

Dalam “Wayang Purwa”, kata “Purwa” berarti “awal dan asal”. Wayang Purwa yang pertama kali tercatat pada abad ke-10 Masehi, mengambil cerita dari dua epos yang besar India: Mahabharata dan Ramayana, dengan cara menyatukan unsur kesenian budaya Jawa melalui pertunjukan-pertunjukan siluet wayang tokoh dan hewan, serta menggabungkan musik dan nyanyian tradisional Jawa untuk menceritakan kisah-kisah mitos dan legenda. Dengan kata lain, Wayang Purwa dapat dianggap sebagai produk budaya yang lahir dari perpaduan erat antara peradaban budaya Indonesia dan budaya Hindu.

Dr. Rudy Wiratama kemudian mengemukakan serta mencoba untuk menjelaskan pokok dalam permasalahan berikutnya: Meskipun Wayang Purwa dikatakan menggunakan epos India Mahabharata dan Ramayana sebagai bahan ceritanya, namun dalam karya kesenian terkait yang diterbitkan di masa kini sering kali ditemukan penyimpangan dari versi Sanskritnya. Untuk memahami sejauh apa hal ini terjadi dan menganalisis faktor-faktor di baliknya, Dr. Rudy menyusun dua hipotesis dari studi terkait:

  1. JJ RAS (1988) menduga bahwa terdapat dua arus persebaran Mahabharata dan Ramayana di Kepulauan Nusantara: Arus pertama melalui kaum elite membawa tradisi tulisan, yang kemudian menjadi penopang sastra penting bagi kaum Kakawin; arus kedua melalui tim pedagang yang membawa versi rakyat dari kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana, yang dilestarikan oleh dalang-dalang. I Kuntara Wiryamartana dalam penelitiannya tentang karya sastra Jawa Kuno dan penerimaannya dalam karya sastra Jawa Baru menganggap bahwa perubahan cara membaca dan mencatat Mahabharata dan Ramayana dipengaruhi oleh kakografi ( kesalahan membaca ) dan hilangnya penguasaan para pujangga selanjutnya dalam bahasa kuno.    

 

  1. SUMARSIH (1985) menunjukkan bahwa terutama dalam Ramayana ditemukan petunjuk yang menunjukkan bahwa Ramayana Pesisiran memiliki kesamaan sumber dengan Hikayat Seri Rama Melayu. Annabel Teh-Gallop (2015) lebih lanjut meragukan: Pada masa kemunduran Majapahit pada abad ke-15 hingga ke-16, saat kerajaan Islam mendorong perluasan jaringan perdagangan global di Asia Tenggara, pertukaran budaya yang semakin sering antara Jawa dan Melayu memengaruhi penciptaan versi “epos lokal” dari Mahabharata dan Ramayana.

Terakhir tetapi tidak kalah penting, Dr. Rudy Wiratama secara singkat merangkum kebangkitan dan dampak-dampak interaksi sastra Melayu-Jawa dalam keterkaitan Wayang Purwa: Keterkaitan Jawa-Melayu dalam proses pembentukan Wayang Purwa di masing-masing daerah pasti mengalami pasang surut. Setelah berlalunya masa Kerajaan Majapahit, persebaran Wayang Purwa kembali menyebar luas di Kepulauan Nusantara, namun jalur-jalur penyebab yang berbeda seperti tren-trennya berbalik dengan pekerja migran ke wilayah Malaysia dan warga transmigrasidi di pulau-pulau luar Pulau Jawa.

Yang lebih menariknya, pada fase ini, pertautan Wayang Purwa Jawa serta Melayu tidak terjalin lagi, kecuali di beberapa kuliyah yang memiliki ciri khas lokal Wayang Purwa sebagaimana Banjarmasin dan Palembang. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga tidak ditulisnya sebagai Wayang Purwa, melainkan Wayang Banjar atau Wayang Palembang.

[National Chengchi University, Wu Yu Han]

Dari Taiwan ke Yogyakarta untuk Menjadi Bunga yang Mekar: Kehidupan Magang Pan Ke En di FIB UGM

Rilis BeritaSDGSSDGs 17: Kemitraan Untuk Mencapai TujuanSDGs 4: Pendidikan BerkualitasSDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi Selasa, 15 Juli 2025

Yogyakarta, 10 Juli 2025 – Pada bulan Juli, di meja kerja Ruang Humas Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM), tampak tiga wajah asing. Mereka adalah mahasiswa magang dari National Chengchi University (NCCU), Taiwan, nama mereka adalah Wu Yu Han (beritanya dapat diakses melalui tautan), Wang Hui Chen (beritanya dapat diakses melalui tautan), dan salah satunya yang akan diperkenalkan hari ini adalah Pan Ke En.

“Halo! Nama saya Pan Ke En. Saya mahasiswa Jurusan Bahasa dan Budaya Asia Tenggara (kelompok Indonesia) di NCCU. Saat ini saya berada di tingkat akhir dan diperkirakan akan lulus pada bulan Juni 2025. Hobbi saya adalah menonton film dan berjalan-jalan ke luar negeri untuk merasakan budaya yang berbeda,” ujarnya. Sebagai mahasiswa yang studi bahasa Indonesia, dia akrab dipanggil Bunga oleh dosen dan teman-temannya di NCCU. Panggilan ini juga selalu dipakai oleh rekan-rekan di ruang Humas.

“Bunga, artikelnya sudah selesai?” Setiap pagi begitu melangkah masuk kantor, teman-teman di ruang Humas selalu menanyakan perkembangan pekerjaannya. Selama magang di ruang Humas, Bunga bertanggung jawab menulis berita berbagai kegiatan dalam Bahasa Indonesia. “Seperti seminar, pertunjukan budaya, atau kuliah umum dan sebagainya,” jelasnya. Selain menulis, dia juga sering mondar-mandir di lokasi acara untuk mengambil foto dan mencatat hal-hal penting, mendokumentasikan setiap momen yang krusial.

 

Walaupun kehidupan magangnya terasa sibuk dan menarik, Bunga tak menampik bahwa menerapkan Bahasa Indonesia yang dipelajari di kelas ke pekerjaan sehari-hari tetap menjadi tantangan baru baginya. “Tantangan yang saya hadapi saat belajar bahasa Indonesia adalah memahami berbagai dialek dan ungkapan lokal. Menggunakan bahasa Indonesia langsung di lingkungan kerja terasa menantang tapi juga menyenangkan,” ungkapnya. Menurut Bunga, hal ini memang membantu dia untuk berkembang lebih cepat.

 

Selain harus berani berbicara langsung dalam Bahasa Indonesia, Bunga juga sering menemui kendala saat menulis. Dia mencontohkan, beberapa istilah khusus dalam Bahasa Mandarin memang tidak selalu punya padanan kata yang pas dalam Bahasa Indonesia, dan jika diterjemahkan secara kata per kata, maknanya bisa melenceng. “Seperti cerita tentang nasi goreng Taiwan dan nasi goreng Indonesia. Di dalamnya saya menyebut istilah ‘鑊氣 (wok hei)’, yang artinya aroma khas dari wajan panas. Tapi dalam Bahasa Indonesia tidak ada satu kata pun yang benar-benar mewakili maksud ini. Akhirnya saya tulis dulu dengan ejaannya, lalu saya tambahkan penjelasan dalam Bahasa Indonesia dan pembaca bisa memahami maksudnya,” jelasnya.

 

Menhadapi berbagai tantangan dalam tugas sehari-hari juga membuat Bunga lebih bersyukur. “Karena dulu sempat mengambil mata kuliah Menulis dalam Bahasa Indonesia di NCCU. Kuliah ini juga melatih saya untuk menyusun kalimat dengan struktur yang benar dan gaya bahasa yang efektif, sehingga saya dapat menulis laporan dan artikel dengan lebih percaya diri dan profesional,” dia menambahkan dengan nala lega.

Magang di luar negeri memang penuh tantangan, tetapi bagi Bunga justru di situlah letak daya tariknya.

“Di sini ada lingkungan yang mendukung pembelajaran bahasa, kedalaman pengalaman budaya yang bisa saya rasakan secara langsung, dan kekayaan sumber daya akademik yang dimiliki oleh fakultas ini,” dia menegaskan alasan mengapa magang di UGM. Bagi Bunga, pengalaman ini bukan kesempatan belajar Bahasa Indonesia, tetapi juga menjadi awal baginya untuk tumbuh dan mekar, membuka lebih banyak peluang karier setelah lulus nanti.

[National Chengchi University, Wang Hui Chen]

Perjalanan Lintas Budaya Wang Hui Chen: Semangat Untuk Terus Menantang Diri Dari Zona Nyaman

SDGs 17: Kemitraan Untuk Mencapai TujuanSDGs 4: Pendidikan BerkualitasSDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi Selasa, 8 Juli 2025

Yogyakarta, 1 Juli 2025 – Setelah lulus dari universitas di Taiwan, Wang Hui Chen berencana untuk berangkat ke Jerman mempelajari bidang tentang jurnalistik dan media komunikasi. Dia memilih jurusan Bahasa dan Sastra Eropa, dengan konsentrasi Bahasa Jerman, serta jurusan Jurnalistik untuk terus mengasah kemampuan bahasa dan karya-karya jurnalistiknya. 

Wang Hui Chen yang saat ini studi di jurusan Sastra Mandarin mulai belajar melatih kepekaan jurnalistik yang digunakan dalam menulis teks di media. Untuk mengasah kepekaan ini Wang Hui Chen ingin melanjutkan studi di Jerman dengan tujuan dapat belajar langsung pada masyarakat Jerman khususnya.

Hal ini menambah pengalaman untuk mendapatkan tema terkait adat istiadat, atau dinamika sosial politik dan ekonomi masyarakat Jerman. Wang Hui Chen merasa bahwa hal itu mendukungnya untuk menunjukkan kemampuan pada prinsip hidup “yang tidak puas dengan keadaan”.

Dia secara aktif mengumpulkan pengalaman untuk menjelajahi dunia, sehingga meskipun berada di tempat yang berbeda, dia dapat dengan bebas melakukan pekerjaan yang dinginkan. Dengan kata-kata unik yang hangat, dia merekam kehidupan orang lain dan menceritakan kisah dunia.

Sementara itu, darah kebanggaan bangsa Indonesia yang mengalir dalam dirinya juga menjadi dorongan kuat bagi Wang Hui Chen untuk mengeksplorasi latar belakang budayanya sendiri. Apakah kepribadian sosial yang terbentuk dari dalam tumbuh masyarakat Taiwan yang hangat dan penuh toleransi akan menjadi penolong atau penghalang dalam perjalanannya untuk memahami kembali budaya tanah airnya, Indonesia? Wang Hui Chen mengakui bahwa ini adalah tantangan yang selalu ada. Kebiasaan hidup di Taiwan yang sudah dikenalnya membuatnya mudah memiliki prasangka saat menghadapi pola sosial yang berbeda dari yang biasa. 

Seperti perbedaan budaya “jam karet”  khas masyarakat Indonesia dan masyarakat Taiwan merupakan contoh yang jelas.

Selain itu, dalam hal komunikasi bahasa juga terdapat beberapa tantangan: meskipun bahasa Mandarin sebagai bahasa utama dalam interaksi sehari-harinya, namun ibunya yang orang Indonesia dan kerabat dari pihak ibu lebih sering menggunakan bahasa Hakka (salah satu dialek dalam bahasa Mandarin).

 “Sebagaimana berinteraksi dengan keluarga Indonesia adalah salah satu tantangan bagi saya, karena belajar bahasa bukan hanya untuk komunikasi efektif, tetapi juga untuk mengurangi jarak antar individu dan mencapai resonansi emosional satu sama lain.” ujarnya.

Bahasa mungkin menghadapi hambatan, namun pada saat yang sama juga bisa menjadi kesempatan untuk memahami dunia yang beragam dan kaya ini. Mungkin karena tumbuh besar dalam lingkungan keluarga besar, di sekitar Wang Hui Chen selalu dipenuhi oleh perhatian dan kasih sayang dari teman-teman dan keluarga dari Taiwan dan Indonesia, serta teman pekerja migran Indonesia yang ditemuinya secara kebetulan. ” Saya berharap dapat merekam kehidupan mereka dan menuliskannya menjadi cerita yang menarik. Saya berharap dapat berpartisipasi dalam kehidupan orang-orang yang saya cintai dengan cara ini! “

Wang Hui Chen juga membagikan pengalaman yang diperolehnya dari tim magang kali ini berdasarkan proyek dari Kementerian Pendidikan Taiwan yang mendorong siswa-siswi untuk memanfaatkan jaringan kerjasama internasional guna magang di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Indonesia. Ini meliputi keikutsertaan dalam acara-acara akademik yang beragam dan menulis artikel harian diterbitkan di situs resmi. Ketika ditanya keterampilan diharapkan dapat dikuasai lebih baik dalam pekerjaan magang ini, Wang Hui Chen menjelaskan bahwa tantangan terbesar dalam studi mendatang selama setahun di Jerman di bidang jurnalistik dan media komunikasi, yaitu bagaimana berpikir jernih tentang posisinya sendiri: saat bersaing dengan penutur asli lainnya, dia harus memanfaatkan keunggulan uniknya dalam mengedit teks: yaitu pentingnya strategi ” memanfaatkan multibahasa “. Berkat tugas wawancara dengan ceramah dan penulisan dokumen dalam program magang di FIB, ini bisa menjadi pengalaman praktis yang bermanfaat untuk melatih pemikiran dan produksi konten bilingual.

Selain itu, dibandingkan dengan tugas-tugas magang sebelumnya yang lebih fokus pada penggunaan alat media sosial untuk promosi dan lebih sedikit terkait dengan pengeditan yang berorientasi akademis, hanya dengan dasar pengetahuan yang lebih beragam bisa tenang menghadapi dan menangani dampak-dampak informasi. Wang Hui Chen menyimpulkan bagaimana belajar berkreasi di magang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada dapat dihubungkan dengan tujuan studi jangka pendek ke depan: Jika saya bisa mendapatkan wawasan tentang perbedaan alat pembelajaran yang digunakan dalam bidang media komunikasi di Jerman, Taiwan, dan Indonesia kemudian membandingkan hubungan ketiga lingkungan itu setelah magang berakhir, ini pasti akan menjadi topik yang menarik. 

“Bagaimanapun, penelitian dan praktik saling melengkapi; keterampilan yang telah dipelajari sejauh ini pada akhirnya pasti akan berguna suatu hari nanti.”

[National Chengchi University, Wu Yu Han]

Nasi Goreng Beda Negara : Taiwan Kalem, Indonesia Meriah!

Rilis BeritaSDGSSDGs 11: Kota dan Pemukiman Yang BerkelanjutanSDGs 12: Konsumsi dan Produksi Yang Bertanggung JawabSDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi Jumat, 4 Juli 2025

Yogyakarta, 4 Juli 2025 — Kalau kita berbicara soal nasi goreng Taiwan, asal-usulnya sebenarnya cukup sederhana dan lekat dengan tradisi keluarga di Tiongkok bagian selatan, khususnya dari Fujian dan Guangdong. Bayangkan, banyak keluarga di sana yang biasa memanfaatkan nasi sisa semalam daripada dibuang, nasi itu digoreng cepat dengan telur, daun bawang, dan sedikit daging seperti udang atau char siu. Yang paling penting, mereka ingin nasi itu tetap terasa kering dan butiran-nya terpisah, bukan lengket seperti nasi yang baru matang. Rasanya sederhana, tapi penuh kehangatan rumah.

Salah satu contoh sukses nasi goreng Taiwan yang menembus pasar internasional adalah seri nasi goreng dari restoran terkenal Din Tai Fung. Nasi goreng udang Din Tai Fung terkenal dengan teksturnya yang kering, nasi yang tidak lengket dan tidak berminyak, serta teknik penggorengan yang sangat presisi. Selain nasi goreng udang, nasi goreng dengan iga babi goreng  juga menjadi menu klasik favorit. Potongan iga babi digoreng hingga renyah di luar namun tetap lembut di dalam, lalu disajikan bersama nasi goreng gurih, menciptakan perpaduan rasa dan tekstur yang seimbang. Hidangan ini memperlihatkan bagaimana Taiwan mampu mengangkat masakan sederhana seperti nasi goreng menjadi kuliner berkualitas tinggi.

Nasi Goreng Indonesia

Dibandingkan dengan nasi goreng Indonesia, nasi goreng Taiwan cenderung memiliki cita rasa yang gurih, ringan, dan sederhana. Umumnya dimasak dengan bahan-bahan dasar seperti daun bawang, bawang putih, telur, dan kecap asin, lalu digoreng cepat dengan api besar. Gaya memasaknya menekankan pada keterampilan teknik, khususnya dalam menciptakan “wok hei” (aroma khas dari wajan panas) dan tekstur nasi yang kering serta butiran yang terpisah. Komposisi bahan biasanya lebih minimalis, dengan fokus pada rasa asli dari bahan utama.

Sebaliknya, nasi goreng Indonesia menampilkan rasa yang lebih kuat, kompleks, dan berlapis-lapis. Selain penggunaan kecap manis dan terasi sebagai bumbu utama, nasi goreng Indonesia juga sering diperkaya dengan berbagai sumber protein dan pelengkap seperti ayam, daging sapi, udang, bahkan tempe goreng dan sosis. Orang Indonesia juga biasa menyajikan nasi goreng bersama tempe, telur ceplok, irisan mentimun, tomat, serta kerupuk, menciptakan hidangan yang mengenyangkan sekaligus menarik secara visual.

Perbedaan ini mencerminkan perbedaan budaya kuliner: di Taiwan, terdapat penekanan pada rasa murni dan keterampilan memasak yang halus, sedangkan di Indonesia, lebih menonjolkan keharuman bumbu dan kekayaan rasa yang kompleks. Nasi goreng Taiwan bisa dikatakan sebagai masakan rumahan yang sederhana dan tenang, sementara nasi goreng Indonesia lebih seperti sajian penuh warna yang mencerminkan identitas budaya. Meskipun keduanya sama-sama disebut “nasi goreng”, dalam konteks budaya yang berbeda, mereka menunjukkan estetika dan filosofi kuliner yang sangat kontras.

[National Chengchi University, Pan Ke En]

123…29

Rilis Berita

  • Dekolonisasi Arsip Fotografi: Membangkitkan Kembali Gambar-Gambar Kolonial untuk Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat
  • Siapa Sangka Seorang Mahasiswa Sastra Arab Diterima Magang di Perusahaan BUMN? Inilah Kontribusi Faris Zakiy untuk Masyarakat
  • Mahasiswa NCCU Ikuti Kamis Pon Berbudaya di FIB UGM
  • “Berdongeng Bisa Menyentuh Lebih Dalam dari Logika”: Kisah Pandhita, Mahasiswa Sastra Arab yang Menjadikan Storytelling Sebagai Jalan Hidup
  • Promosi Doktor Arina Isti’anah: Membongkar Wacana Ekologis dalam Promosi Pariwisata Indonesia

Arsip Berita

Video UGM

[shtmlslider name='shslider_options']
Universitas Gadjah Mada

Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Jl. Nusantara 1, Bulaksumur Yogyakarta 55281, Indonesia
   fib@ugm.ac.id
   +62 (274) 513096
   +62 (274) 550451

Unit Kerja

  • Pusat Bahasa
  • INCULS
  • Unit Jaminan Mutu
  • Unit Penelitian & Publikasi
  • Unit Humas & Kerjasama
  • Unit Pengabdian kepada Masyarakat & Alumni
  • Biro Jurnal & Penerbitan
  • Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
  • Pusaka Jawa

Fasilitas

  • Perpustakaan
  • Laboratorium Bahasa
  • Laboratorium Komputer
  • Laboratorium Fonetik
  • Student Internet Centre
  • Self Access Unit
  • Gamelan
  • Guest House

Informasi Publik

  • Daftar Informasi Publik
  • Prosedur Permohonan Informasi Publik
  • Daftar Informasi Tersedia Setiap Saat
  • Daftar Informasi Wajib Berkala

Kontak

  • Akademik
  • Dekanat
  • Humas
  • Jurusan / Program Studi

© 2024 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY