World Meteorological Organization, memperkirakan bahwa suhu rata-rata dunia diperkirakan akan naik sebesar 1,5°C pada tahun 2025 dibandingkan tahun 1900-an. Salah satu faktor penyebabnya adalah deforestasi. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa luas hutan Indonesia menurun sebesar 956.258 hektar (0,5% dari total daratan) antara tahun 2017 hingga 2021. Salah satu contoh keberhasilan konservasi adalah Hutan Wonosadi di Gunungkidul, yang kembali lestari berkat kesadaran masyarakat dan tradisi lisan Sadranan Wonosadi.
Hutan Wonosadi merupakan sebuah hutan di Dusun Duren, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul. Hutan ini berstatus SG (Sultan Ground) dan berfungsi sebagai hutan lindung yang melindungi sistem penyangga kehidupan. Pada tahun 1960, Hutan Wonosadi mengalami deforestasi besar-besaran akibat pergeseran ideologi PKI. Saat ini, berkat tradisi lisan Sadranan, masyarakat berhasil mengembalikan kelestarian hutan ini.
Tradisi lisan yang berperan penting dalam konservasi Hutan Wonosadi adalah wasiat Ki Onggoloco, yang menyatakan bahwa:
- Hutan Wonosadi harus dijaga demi kemakmuran anak-cucu.
- Hutan ini menyimpan banyak tanaman obat.
- Setiap tahun diadakan ritual Sadranan untuk mempererat silaturahmi.
Menurut keterangan dari Muhammad Lodhi Firmansyah (Antropologi Budaya, 2023), “Kami mengusung tema riset mengenai tradisi sadranan sebagai kesadaran kolektif untuk mempertahankan Hutan Wonosadi dari deforestasi, riset ini akan menggunakan ecocriticism sebagai pendekatan utamanya, sehingga tujuan utama kami ialah untuk menemukan formula baru dalam menginternalisasi nilai-nilai pada Tradisi Lisan Sadranan sebagai upaya pelestarian lingkungan demi menekan laju perubahan iklim.” Selain Lodhi, tim riset terdiri dari Ghina Danilah sebagai ketua (Bahasa dan Sastra Indonesia, 2022), Syifa Hasna Yunifa (Kehutanan, 2023), Afif Naufal Widiadi (Antropologi Budaya, 2021), dan Febriano Agung Nugroho (Hukum, 2023), dengan bimbingan Dr. Aprillia Firmonasari, S.S., M.Hum., DEA.
Penelitian ini melibatkan survei terhadap 78 masyarakat Dusun Duren dengan metode observasi dan wawancara kepada juru kunci, jagawana, jagabaya, carik, serta lurah Desa Beji. “Sebagai data pendukung, kami melakukan pembacaan arsip dan sensus penduduk,” ujar Lodhi.
Hasil survei menunjukkan mayoritas responden (43,9%) termasuk dalam kelompok yang aktif dan berkomitmen dalam melestarikan tradisi. Sebagian kecil (8,5%) berada dalam kelompok yang ikut dan percaya namun tidak memahami dan menyebarkan tradisi.
Analisis ecocriticism dalam Tradisi Lisan Sadranan menunjukkan bahwa kesadaran manusia terhadap alam dapat menjaga keseimbangan ekosistem dan menciptakan konservasi ekologi. Namun, faktor sosial dan ekonomi dapat mengancam kelestarian ini, terutama minimnya partisipan dalam kelompok usia muda (<25 tahun) yang berisiko mengikis budaya lokal.
Partisipasi aktif dan komitmen masyarakat dalam melestarikan tradisi lisan Sadranan menunjukkan bahwa sistem sosial di Dusun Duren telah mencapai keseimbangan dan keberlanjutan. Melalui tradisi ini, masyarakat berhasil membangun sistem dan struktur sosial yang mendukung pelestarian Hutan Wonosadi.
Dengan pendekatan ecocriticism, penelitian ini menegaskan pentingnya integrasi tradisi lokal dalam strategi konservasi ekologi untuk mitigasi perubahan iklim, dan membuka pandangan baru terhadap upaya konservasi di hutan-hutan lain di Indonesia.