• About UGM
  • Academic Portal
  • IT Center
  • Library
  • Research
  • Webmail
  • Informasi Publik
  • Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Manajemen
    • Tenaga Kependidikan
    • Tenaga Pendidik
  • Akademik
    • Kalender Akademik
    • Program Sarjana
      • Antropologi Budaya
      • Arkeologi
      • Sejarah
      • Pariwisata
      • Bahasa dan Kebudayaan Korea
      • Bahasa dan Sastra Indonesia
      • Sastra Inggris
      • Sastra Arab
      • Bahasa dan Kebudayaan Jepang
      • Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa
      • Bahasa dan Sastra Prancis
    • Program Master/S2
      • Magister Antropologi
      • Magister Arkeologi
      • Magister Sejarah
      • Magister Sastra
      • Magister Linguistik
      • Magister Pengkajian Amerika
      • Magister Kajian Budaya Timur Tengah
    • Program Doktor/S3
      • Antropologi
      • Ilmu-ilmu Humaniora
      • Pengkajian Amerika
    • Beasiswa
  • KPPM
    • Info Penelitian
    • Publikasi Ilmiah
    • Pengabdian Masyarakat
    • Kerjasama Luar Negeri
    • Kerjasama Dalam Negeri
  • Organisasi Mahasiswa
    • Lembaga Eksekutif Mahasiswa
    • Badan Semi Otonom
      • KAPALASASTRA
      • Persekutuan Mahasiswa Kristen
      • LINCAK
      • Saskine
      • Keluarga Mahasiswa Katolik
      • Dian Budaya
      • Sastra Kanuragan (Sasgan)
      • Keluarga Muslim Ilmu Budaya (KMIB)
      • Bejo Mulyo
    • Lembaga Otonom
      • Himpunan Mahasiswa Arkeologi
      • Ikatan Mahasiswa Jurusan Inggris
      • Himpunan Mahasiswa Pariwisata
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia
      • Ikatan Mahasiswa Sastra Asia Barat
      • Himpunan Mahasiswa Bahasa Korea
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara
      • Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah
      • Himpunan Mahasiswa Studi Prancis
      • Keluarga Mahasiswa Antropologi
      • Himpunan Mahasiswa Jepang
  • Pendaftaran
  • Beranda
  • INCULS
  • INCULS
Arsip:

INCULS

Mengenal Tutor: Khoirunisa Diah Pranata

INCULSSDGs 10: Berkurangnya kesenjanganSDGs 17: Kemitraan Untuk Mencapai TujuanSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Jumat, 13 Juni 2025

Yogyakarta, 12/06/2025- Bahasa adalah jendela dunia. Kalimat ini mungkin terdengar sederhana, tetapi bagi Khoirunisa Diah Pranata, mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada angkatan 2022, maknanya sangat dalam. Ia membuktikan sendiri bagaimana bahasa tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga menjadi jembatan yang mempertemukan manusia dari latar belakang budaya, kebiasaan, bahkan cara berpikir yang berbeda. Melalui pengalamannya sebagai tutor di program Indonesian Culture and Language Service (INCULS), Sasa menjalani perjalanan pembelajaran yang bukan hanya tentang mengajar, tetapi juga tumbuh dan belajar bersama.

Sasa bergabung sebagai tutor INCULS pada tahun 2024. Ketertarikannya bermula dari kecintaannya berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Bagi Sasa, dunia perkuliahan tidak hanya soal membaca buku dan menyelesaikan tugas akademik, tetapi juga tentang pengalaman langsung yang membuka wawasan. “Saya merasa, ketika bertemu mahasiswa asing dan berbicara dengan mereka, ada proses belajar dua arah yang terjadi. Saya belajar tentang mereka, dan mereka belajar tentang Indonesia,” ujarnya. Maka, menjadi tutor bukan hanya menjadi pengajar informal, tetapi juga peran yang mempertemukan manusia dan budaya.

Selama menjadi tutor, Sasa mendampingi beberapa program seperti Kokushikan University (Jepang), program beasiswa Kemitraan Negara Berkembang (KNB) 2025, dan program dari Monash University (Australia). Di antara semua pengalaman itu, Sasa mengaku paling terkesan dengan Shotaro, mahasiswa dari program Kokushikan. Shotaro bukan hanya aktif dan terbuka, tetapi juga memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tentang budaya dan kehidupan sosial di Indonesia. “Kami sering berdiskusi, tidak hanya soal kosakata atau tata bahasa, tapi juga soal makanan, musik, bahkan kebiasaan sehari-hari,” kenang Sasa. Baginya, Shotaro adalah gambaran bagaimana pembelajaran bahasa bisa menjadi alat untuk membangun hubungan yang tulus.

Metode yang digunakan Sasa dalam membimbing mahasiswa cukup unik. Ia tidak terpaku pada metode formal atau pendekatan konvensional. Sebaliknya, ia mengutamakan pendekatan personal. Di awal sesi, Sasa biasa mengajukan pertanyaan-pertanyaan ringan seperti warna favorit, makanan kesukaan, atau olahraga yang disukai mahasiswa. Tujuannya bukan hanya mencairkan suasana, tetapi juga menciptakan koneksi dari hal-hal yang bersifat pribadi. Ketika hobi atau minat mahasiswa berbeda dengan dirinya, ia mencoba mencari jembatan lain dengan cara mengenalkan mereka pada mahasiswa lain yang memiliki kesamaan minat. “Saya percaya, belajar bahasa itu dapat berlangsung efektif jika dimulai dari hal yang dekat dengan keseharian,” kata Sasa.

Salah satu teknik yang sering digunakan Sasa adalah bermain flash card, terutama untuk memperkenalkan kosakata benda, buah-buahan, atau warna. Visualisasi lewat kartu gambar terbukti efektif, terutama bagi mahasiswa yang belum lancar berbahasa Inggris. “Saya pernah mengajar mahasiswa yang tidak hanya baru belajar bahasa Indonesia, tetapi juga tidak begitu mahir berbahasa Inggris. Maka, bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan gambar menjadi alat bantu utama dalam proses komunikasi,” jelasnya. Dalam situasi seperti itu, Sasa menyadari bahwa kreativitas menjadi kunci dalam mengajar. Ia juga sengaja menghindari penggunaan bahasa Indonesia yang terlalu formal agar suasana pembelajaran tidak terasa kaku.

Meski tampak menyenangkan, proses pendampingan ini tentu tidak lepas dari tantangan. Salah satu tantangan utama yang dihadapi Sasa adalah kendala bahasa. Tidak sedikit mahasiswa yang datang ke INCULS dengan kemampuan bahasa Indonesia yang sangat dasar. Bahkan, kemampuan bahasa Inggris mereka pun terbatas. Situasi ini menuntut Sasa untuk mencari cara agar komunikasi tetap berjalan. “Saya harus sabar dan pintar membaca ekspresi mereka. Terkadang mereka malu atau tidak percaya diri, itu juga bisa menghambat proses belajar,” ungkapnya. Untuk mengatasi hal tersebut, Sasa mencoba pendekatan yang lebih personal. Ia tidak hanya menjadi tutor di kelas, tetapi juga menjadi teman di luar kelas. Ia menyapa mahasiswa ketika berpapasan, mengajak mereka mengobrol santai, bahkan pernah menemani mahasiswa berobat ke dokter ketika mereka sakit.

Pengalaman ini tidak hanya memberi pelajaran bagi mahasiswa, tetapi juga berdampak besar pada perkembangan diri Sasa sendiri. Ia merasa menjadi lebih terbuka, lebih komunikatif, dan lebih berani mencoba hal-hal baru. “Menjadi tutor membuat saya sering merefleksikan kembali pengetahuan saya sendiri tentang Indonesia. Kadang, ketika mereka bertanya tentang hal-hal yang saya anggap biasa, saya justru jadi tertantang untuk menjelaskannya dengan cara yang mudah dipahami,” tuturnya. Dari pengalaman itu, Sasa menyadari bahwa memahami budaya sendiri adalah bagian penting dari menjadi pengajar bahasa.

Meski telah berusaha semaksimal mungkin, Sasa juga menyadari bahwa menjadi tutor bukanlah pekerjaan yang bisa dijalani tanpa dukungan. Ia menyampaikan bahwa penting bagi pihak pengajar di INCULS untuk memberikan pelatihan bagi para tutor, terutama dalam hal strategi pengajaran dan etika komunikasi antarbudaya. “Kami butuh lebih banyak referensi dan bimbingan, terutama dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis dari mahasiswa asing. Jangan sampai terjadi kesalahpahaman, terutama saat menjelaskan tentang kebiasaan atau sistem sosial di Indonesia,” harapnya. Ia juga mengusulkan agar INCULS memiliki lebih banyak ruang khusus yang mendukung proses pengajaran bahasa Indonesia secara lebih intensif sehingga lingkungan belajar menjadi lebih kondusif.

Terlepas dari semua tantangan yang ada, Sasa menyampaikan rasa terima kasihnya kepada INCULS karena telah memberikan ruang untuk berkembang. “Terima kasih karena telah menjadi tempat belajar yang nyata, tempat praktik tentang keindonesiaan, dan tempat bertumbuh. Saya berharap INCULS bisa semakin baik, memiliki jangkauan lebih luas, dan tetap menjadi wadah pembelajaran lintas budaya yang sehat dan inklusif. Semoga para dosen dan staf operasional selalu diberi kesehatan dan kelancaran dalam menjalankan tugasnya,” ujarnya tulus.

Pengalaman Sasa sebagai tutor di INCULS adalah gambaran kecil dari proses besar yang sedang berlangsung: bagaimana bahasa bisa menjadi alat pemersatu, bagaimana pembelajaran bisa berjalan dua arah, dan bagaimana keberagaman tidak hanya menjadi tantangan, tetapi juga sumber kekayaan. Pengalaman seperti ini menjadi bekal penting untuk membangun masyarakat global yang saling memahami, saling menghargai, dan saling belajar.

[INCULS UGM]

Menggali Budaya, Mendaki Bahasa: Petualangan Mahasiswa KNB

INCULSSDGs 10: Berkurangnya kesenjanganSDGs 17: Kemitraan Untuk Mencapai TujuanSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Kamis, 12 Juni 2025

Yogyakarta, 31/05/2025 – Pembelajaran secara kontekstual menjadi salah satu pendekatan yang diterapkan oleh Indonesian Language and Culture Learning Service (INCULS) dalam mengajar mahasiswa BIPA. Hal ini diwujudkan dalam kegiatan field trip ke Candi Borobudur dan Prambanan bersama para mahasiswa penerima beasiswa Kemitraan Negara Berkembang (KNB) angkatan 2024/2025 pada 31 Mei 2025 lalu. Candi Borobudur dan Prambanan dipilih karena keduanya adalah warisan dunia yang menyimpan banyak sejarah serta budaya Indonesia yang menjadi topik penting dalam proses belajar bahasa. Kegiatan ini bertujuan agar mereka dapat memahaminya secara langsung di lapangan.

Perjalanan dimulai dari Fakultas Ilmu Budaya pada pagi hari dengan menggunakan bus. Setelah menempuh sekitar dua jam perjalanan, rombongan tiba di kompleks Candi Borobudur di Magelang. Di sana, mahasiswa diajak mendaki candi sambil mendengarkan penjelasan dari pemandu wisata mengenai sejarah, struktur arsitektur, serta makna filosofis dari relief-relief yang dipahat mengelilingi candi. Interaksi antara mahasiswa dan pemandu berlangsung aktif. Banyak di antara mahasiswa yang mengajukan pertanyaan, merekam penjelasan, maupun mendokumentasikan kegiatan melalui foto.

Setelah sesi kunjungan di Borobudur usai, rombongan menuju Rumah Makan Kampung Ulam untuk menikmati makan siang. Menu yang disajikan merupakan hidangan tradisional Jawa seperti ayam goreng, empal bacem, tumis sayur, tempe, sambal, dan kerupuk. Makan siang ini tidak hanya menjadi waktu istirahat, tetapi juga momen eksplorasi budaya secara lebih santai dan akrab.

Perjalanan dilanjutkan ke Candi Prambanan di Sleman, Yogyakarta. Rombongan tiba sekitar pukul empat sore. Meskipun cuaca mulai mendung, kegiatan tetap berjalan lancar. Di kawasan candi, mahasiswa kembali mendengarkan penjelasan pemandu mengenai sejarah Candi Prambanan, nilai-nilai yang terkandung dalam relief, serta legenda Roro Jonggrang yang berkaitan erat dengan candi ini. 

Kegiatan field trip ini merupakan bagian penting dari proses pembelajaran kontekstual yang diterapkan INCULS. Bahasa Indonesia bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai cermin identitas dan budaya bangsa. Melalui kunjungan secara langsung ke situs-situs bersejarah, mahasiswa mendapatkan pembelajaran yang lebih mendalam. Hal ini sejalan dengan komitmen INCULS untuk menyediakan ruang-ruang pembelajaran bahasa yang berkualitas bagi para mahasiswa internasional.

Mengenal Tutor: Yohan Akbariantoro

INCULSRilis BeritaSDGs 10: Mengurangi KetimpanganSDGs 17: Kemitraan Untuk Mencapai TujuanSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Kamis, 12 Juni 2025

Yogyakarta, 10/06/2025 – Di tengah meningkatnya arus mobilitas global dan pertukaran budaya, peran seorang tutor tidak lagi sekadar mengajarkan bahasa, melainkan juga menjadi penghubung antarbudaya yang membantu memperkuat pemahaman lintas bangsa. Yohandra Akbariantoro adalah salah satu tutor yang menjalani peran ini dengan penuh dedikasi. Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Prancis Angkatan 2022 di Universitas Gadjah Mada ini bergabung dengan Indonesian Culture and Language Learning Service (INCULS) sejak tahun 2023, dan sejak itu aktif terlibat dalam berbagai program pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA), di antaranya program Kokushikan University (2023 dan 2024), Monash Global Immersion 2024, Development Studies Immersion Program (DSIP) 2024, serta Kemitraan Negara Berkembang (KNB) 2023–2024.

Di antara seluruh program yang diikuti, KNB memberikan kesan yang paling mendalam bagi Yohan. Hubungan yang terjalin dengan mahasiswa, seperti dengan Mohammed Albohisi yang merupakan mahasiswa KNB 2023–2024 ternyata tidak hanya berhenti di dalam kelas. Hingga saat ini komunikasi masih terjalin, mencerminkan bagaimana proses pembelajaran bahasa dapat membentuk jejaring antarpribadi yang berkelanjutan dan bermakna. Pengalaman ini sekaligus menunjukkan bahwa pendidikan bahasa memiliki peran penting dalam memperkuat rasa saling pengertian di tingkat global.

Adalyna, Yohan merasa kurang percaya diri karena belum memiliki pengalaman sebelumnya dalam pengajaran BIPA. Oleh karena itu, ia memilih pendekatan yang berpusat pada kebutuhan mahasiswa. Ia lebih banyak berbagi trivia tentang Indonesia, seperti tempat-tempat menarik, budaya, dan kuliner lokal. Selain itu, Yohan sering memulai percakapan seputar kehidupan sehari-hari, permasalahan yang dihadapi mahasiswa di kelas, maupun rencana mereka selama tinggal di Indonesia. Pendekatan ini membuka ruang diskusi yang lebih cair dan personal, membantu mahasiswa merasa lebih nyaman. Bila mahasiswa menghadapi kendala, misalnya belum memahami kosakata tertentu, Yohan tidak segan mengajak mereka mencari solusi bersama, seperti menggunakan kamus secara kolaboratif.

Dalam proses pengajaran, Yohan juga belajar mengatasi stereotipe. Ketika pertama kali berinteraksi dengan mahasiswa, ia mengakui adanya rasa ketidaktahuan terhadap latar belakang budaya mereka. Namun, seiring terjalinnya hubungan, persepsi tersebut perlahan memudar. Ia berupaya menjaga interaksi yang terbuka dan saling menghormati. Misalnya, dalam menghadapi perbedaan norma sosial sehingga Yohan selalu menekankan pentingnya kesesuaian dengan konteks lokal dan waktu. Selain itu, ia berusaha menghindari bias  dengan memperlakukan setiap mahasiswa dengan rasa hormat, terlepas dari asal usul mereka.

Pengalaman mengajar mahasiswa dari berbagai program memperkaya pemahaman Yohan. Mahasiswa laki-laki dari Kokushikan University tahun 2023 cenderung sangat akademis, sementara mahasiswa pada program tahun berikutnya lebih bebas dan gemar mengeksplorasi. Mahasiswa KNB umumnya sangat ambisius karena mengejar gelar akademik. Sementara itu, mahasiswa perempuan dari DSIP lebih berfokus pada konteks kelas, sehingga interaksi di luar topik akademik menjadi lebih terbatas. Setiap program membawa dinamika tersendiri, dan Yohan berusaha menyesuaikan pendekatan agar sejalan dengan tujuan program tersebut. Ia juga menerapkan bahasa nonformal dalam pengajaran, agar suasana belajar tidak terasa kaku.

Di luar kelas, Yohan kerap mengajak mahasiswa mengunjungi berbagai tempat, seperti Museum Sonobudoyo, Malioboro, Wisdom Park, dan Mirota Kampus. Kegiatan ini bertujuan memperkaya pemahaman mereka tentang budaya Indonesia secara langsung. Selain itu, Yohan juga sering berdiskusi dengan dosen pengajar untuk mendapatkan perspektif tambahan dalam membimbing mahasiswa.

Namun, perjalanan sebagai tutor bukan tanpa tantangan. Menjaga dinamika interaksi yang seimbang menjadi tantangan tersendiri, terutama ketika mahasiswa memandang sesi tutor sebagai formalitas belaka. Mengajarkan tata bahasa juga membutuhkan ketelitian; Yohan mengakui bahwa ia sempat mengalami kesulitan dalam menyampaikan materi imbuhan, sehingga memilih untuk memfokuskan pengajaran pada satu variabel terlebih dahulu agar lebih mudah dipahami. Masalah bahasa pun kerap muncul, contoh ketika mahasiswa bukanlah penutur asli atau mahir dengan bahasa Inggris dan juga karena beberapa mahasiswa sedang dalam proses bahasa Indonesia. Selain itu, Yohan juga belajar untuk tetap profesional meskipun menghadapi kendala pribadi. Menariknya, peran tutor kadang meluas menjadi teman curhat bagi mahasiswa, yang merasa lebih nyaman berbagi cerita dengan rekan sebaya.

Bagi Yohan, peran tutor sejatinya bukan sebagai pengajar utama, melainkan sebagai pendamping proses belajar. Tidak ada kewajiban untuk “menyelesaikan” pembelajaran, melainkan membantu mahasiswa menghadapi kendala dan mengomunikasikan hal tersebut kepada pengajar di kelas agar menjadi bahan evaluasi. Interaksi yang erat antara tutor dan pengajar dinilai penting, karena mahasiswa cenderung lebih nyaman membicarakan permasalahan dengan tutor. Selain itu, menurutnya dibutuhkan pelatihan tambahan bagi tutor dan pengajar, agar keduanya memahami bahwa mereka merupakan bagian integral dari program pembelajaran secara keseluruhan.

Menjadi tutor membawa dampak positif bagi Yohan. Ia semakin memahami lingkungan yang kosmopolitan, dengan beragam pemikiran dan latar belakang. Pengalaman ini membantunya mengembangkan sikap yang lebih terbuka dan mengurangi kecenderungan dalam pemikiran stereotip. Selain itu, perannya sebagai tutor meningkatkan kemampuan komunikasi antarbudaya dan memperluas wawasan tentang negara-negara lain. Kesempatan ini juga menjadi ajang untuk melatih keterampilan berbahasa secara aktif.

Ke depan, Yohan berharap INCULS dapat menyediakan lingkungan pengajaran yang lebih mendukung, baik dari segi infrastruktur maupun tenaga operasional. Ia juga menyarankan agar INCULS membangun ikatan yang lebih kuat antara pengajar dan tutor, demi menciptakan kerja sama yang lebih harmonis. Selain itu, menurutnya, fakultas sebaiknya tidak lagi terlalu mengandalkan tenaga part-time untuk tugas-tugas administrasi yang berat, karena hal tersebut di luar lingkup kerja tutor.

Menutup refleksinya, Yohan menyampaikan bahwa di balik segala tantangan yang ada, INCULS tetap menjadi lembaga yang ramah, asyik, dan inklusif bagi siapa pun yang terlibat di dalamnya. Ia menganalogikan bahwa pengajar dan tutor adalah wajah INCULS, koordinator adalah kepala, sementara staf administrasi adalah tangan, kaki, serta darah yang membuat INCULS terus berjalan. Melalui peran dan dedikasi para tutor seperti Yohan, INCULS terus berkontribusi dalam membangun jembatan antarbudaya yang memperkaya pemahaman global.

[INCULS, Thareeq Arkan Falakh]

Kunjungan Universitas Duta Bangsa Surakarta ke INCULS UGM

Kunjungan Studi Senin, 2 Juni 2025

Yogyakarta, 2/6/2025 – International and Indonesian Language Learning Center (INCULS) FIB UGM menerima kunjungan akademik dari Mahasiswa dan Dosen Program Studi Sastra Inggris, Universitas Duta Bangsa Surakarta. Kegiatan berlangsung pada Senin, 2 Juni 2025 pukul 09.00 hingga 11.00 WIB yang bertempat di Auditorium Gedung Prof. Dr. R.M.Ng. Poerbatjaraka FIB UGM.

Kunjungan ini diawali dengan sambutan dari Wakil Koordinator INCULS, Wiastiningsih, S.S., M.A., Ph.D., yang menyampaikan apresiasi atas antusiasme peserta kunjungan serta pentingnya kolaborasi dan pertukaran pengetahuan antarinstitusi pendidikan tinggi dalam membangun wawasan mahasiswa. Dalam sambutannya, Ibu Wiastiningsih juga memperkenalkan INCULS kepada mahasiswa. Acara dilanjutkan dengan sesi pemaparan materi oleh tiga pengajar INCULS, yakni Fitthrotul Izzah, S.S., M.A., Novi Wulandari, M.A., dan Alvanita, S.S., M.Ed. yang ketiganya merupakan alumni dari Program Studi Sastra Inggris FIB UGM.

Ketiga pemateri membagikan pengalaman pribadi mereka mulai dari menjadi pengajar di INCULS hingga menempuh studi lanjutan di luar negeri, mulai dari proses adaptasi budaya, tantangan akademik, hingga motivasi dan strategi pengembangan diri dalam lingkungan internasional. Paparan tersebut memberikan inspirasi sekaligus gambaran nyata bagi para mahasiswa mengenai peluang studi lanjut dan mobilitas akademik global.

Sesi tanya jawab menjadi salah satu bagian yang paling menarik dalam kegiatan ini. Salah satu mahasiswa, Hans, mengajukan pertanyaan tentang motivasi yang mendorong para pemateri untuk memilih berkuliah di luar negeri. Pertanyaan tersebut dijawab secara reflektif oleh para pemateri yang menekankan pentingnya keingintahuan, keberanian keluar dari zona nyaman, serta komitmen untuk mengembangkan kapasitas akademik dan profesional melalui pengalaman di dunia internasional.

Kegiatan ini tidak hanya menjadi wadah pertukaran wawasan akademik, tetapi juga mempererat jejaring antara Universitas Duta Bangsa Surakarta dan Universitas Gadjah Mada. Diharapkan, kunjungan ini dapat menjadi pemantik semangat mahasiswa untuk mengeksplorasi lebih jauh dunia akademik global dan mempersiapkan diri sebagai insan yang kompetitif di tingkat nasional maupun internasional.

Penulis : Humas FIB UGM, Muhammad Ebid El Hakim

Mengenal Tutor: Nabila Intan

HEADLINERilis BeritaSDGs 17: Kemitraan Untuk Mencapai TujuanSDGs 4: Pendidikan BerkualitasSDGs 5: Kesetaraan Gender Senin, 2 Juni 2025

Yogyakarta, 27/05/2025- Di balik pintu-pintu kelas Program Indonesian for Foreign Speakers (INCULS), terdapat ruang diskusi yang lebih dari sekadar proses pembelajaran bahasa. Di sana terjalin pertemuan lintas bangsa, percakapan lintas nilai, dan yang paling penting adalah, terciptanya ruang tumbuh bagi toleransi dan pemahaman. Salah satu sosok yang menjadi bagian dari proses ini adalah Nabila Intan Sari, atau yang akrab disapa Natan. Mahasiswi Sastra Inggris angkatan 2021 ini telah aktif menjadi tutor di INCULS sejak tahun 2023, dan pengalamannya telah mengubah cara pandangnya terhadap dunia, Indonesia, dan dirinya sendiri.

Bersama INCULS, Natan terlibat dalam berbagai program pengajaran Bahasa Indonesia kepada penutur asing, seperti Darmasiswa, Kemitraan Negara Berkembang (KNB), Gadjah Mada International Fellowship (GMIF), hingga kerja sama dengan Monash University dan University of New South Wales. Baginya, setiap program membawa cerita dan tantangan yang berbeda,  tetapi satu benang merah yang tak terelakkan adalah betapa pentingnya bahasa sebagai alat pemersatu dan pengungkap makna budaya.

Dari seluruh pengalamannya, Natan menyebut program KNB sebagai pengalaman yang paling berkesan. Berbeda dengan program lainnya, KNB memiliki durasi pengajaran yang panjang, yang membuka ruang hubungan pertemanan yang lebih dalam antara tutor dan mahasiswa asing. Tak hanya menjadi pengajar, Natan juga menjadi pendengar, teman diskusi, bahkan sahabat. Hubungan yang ia jalin pun tidak berakhir saat program selesai karena komunikasi tetap berlanjut hingga hari ini. Inilah wujud nyata dari pendidikan yang berakar pada kemanusiaan.

“Bagi saya, jadi tutor itu bukan hanya soal menyampaikan teori. Ini soal bagaimana kita hadir sebagai manusia yang bisa membuat orang merasa dilihat dan dihargai,” ungkapnya.

Metode pengajaran yang digunakan Natan mencerminkan pendekatan humanis dan dialogis. Ia tidak langsung membawa mahasiswa masuk ke ranah teori tata bahasa atau struktur kalimat. Sebaliknya, dua pertemuan awal dimanfaatkan untuk membicarakan hal-hal yang dekat dengan kehidupan seperti keseharian, kehidupan di kampus, perbedaan budaya, hingga kebiasaan unik dari negara masing-masing. Percakapan-percakapan ini membangun kedekatan emosional dan menciptakan rasa aman sehingga suasana belajar menjadi lebih cair dan menyenangkan. Bahasa gaul, humor ringan, bahkan topik-topik kekinian kerap muncul dalam sesi tutorial, membuat pengajaran terasa seperti ngobrol santai namun penuh makna.

Hal menarik lainnya yang Natan temukan adalah semangat belajar dari mahasiswa program jangka panjang seperti KNB dan Darmasiswa. Mereka datang dengan motivasi tinggi, rasa ingin tahu yang besar, dan sikap saling menghargai. Namun, proses pengajaran tentu tidak selalu mulus. Natan menghadapi tantangan dalam hal perbedaan aksen dan pengucapan, terutama dari mahasiswa asal India dan Pakistan. Kendala bahasa memang tak terhindarkan, tetapi ia tidak menyerah. Ia justru menjadikan kendala ini sebagai pintu masuk untuk menjalin pendekatan yang lebih kreatif dan interaktif.

Salah satu strategi yang ia terapkan adalah membawa pembelajaran keluar dari kelas. Mahasiswa diajak ke Museum Sonobudoyo, menyusuri sejarah budaya Jawa, atau mendaki kawasan Kali Talang untuk melihat langsung wajah alam Indonesia. Di tengah kegiatan tersebut, percakapan mengalir tentang berbagai hal termasuk persoalan sosial seperti patriarki dan relasi kuasa dalam budaya. Dari sinilah nilai-nilai sosial dan kemanusiaan terselip dalam pengajaran bahasa.

“Dengan cara itu, saya merasa bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, tapi jendela untuk memahami cara hidup dan cara berpikir masyarakat kita,” katanya.

Bagi Natan, menjadi tutor telah mengubah banyak hal dalam hidupnya. Ia menjadi lebih sadar akan keragaman dan belajar untuk tidak menilai orang hanya dari satu sudut pandang. Ia belajar menghormati orang lain dan lebih mencintai budayanya sendiri. Bahkan, rasa nasionalismenya tumbuh lebih kuat karena ia melihat bagaimana orang asing begitu antusias mempelajari bahasa dan budaya Indonesia. Rasa bangga itu tumbuh bukan karena diminta, tapi karena ia menyaksikan Indonesia lewat mata orang lain.

“Kadang kita baru benar-benar mengenal negara sendiri saat menjelaskannya pada orang lain. Dan di sana, kita menemukan kembali makna Indonesia,” tuturnya.

Bagi Natan, INCULS bukan sekadar ruang belajar bahasa. Ia adalah panggung kecil diplomasi budaya, tempat Indonesia dikenalkan dengan cara yang paling manusiawi melalui pertemuan antar manusia. Ia menyebut bahwa setiap tutor adalah mata bagi orang lain untuk melihat Indonesia. Karena itu, ia menekankan pentingnya menjaga etika, sikap, dan kualitas pembelajaran. Ia juga menyampaikan harapannya agar fasilitas pembelajaran semakin baik, termasuk perlunya gedung baru untuk mendukung proses belajar-mengajar.

Selain itu, ia berharap program-program internasional seperti Monash bisa diperluas dan diperpanjang durasinya. Sebab, satu jam saja tidak cukup untuk benar-benar menyentuh lapisan dalam dari budaya Indonesia. Diperlukan waktu dan interaksi yang konsisten agar hubungan antarbudaya bisa tumbuh dengan utuh.

Kepada sesama tutor, Natan menyampaikan pesan sederhana namun kuat: tetaplah semangat. Ia mendorong agar tutor tidak hanya mengajarkan bahasa, tetapi juga mengajak mahasiswa merasakan kehidupan di Indonesia secara langsung. Karena hanya dengan mengalaminya sendiri, para mahasiswa akan memahami makna Indonesia, bukan hanya dari kata-kata, tapi dari kebaikan, keramahan, dan keberagaman yang mereka jumpai.

Lewat pengalamannya, Natan membuktikan bahwa mengajar bahasa bisa menjadi jalan untuk menumbuhkan toleransi, rasa hormat, dan rasa cinta pada tanah air. Di tangan para tutor seperti Natan, bahasa menjadi jembatan bukan hanya antara bangsa, tetapi juga antara hati yang menghubungkan masa kini dengan masa depan yang lebih inklusif dan penuh pengertian.

[Humas INCULS FIB UGM, Thareeq Arkan Falakh]

123…6

Rilis Berita

  • Muhammad Ghazi Al Ghifari Raih Predikat Wisudawan Tercepat FIB di Wisuda UGM Periode III 2025
  • Kegiatan Studi Tiru Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Padjadjaran ke Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
  • Pengantar Tubuh-Tubuh yang Menghantui: Meninjau Ulang Ekonomi Politik di Balik Kematian Bernuansa Rasial
  • Menyalakan Cahaya Pendidikan Melalui Aksi Nyata
  • Mahasiswa Prodi Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa FIB UGM Sutradarai Teater Sat-Set dalam Prabusena 2025, Terinspirasi dari Karya Sastra Jawa

Arsip Berita

Video UGM

[shtmlslider name='shslider_options']
Universitas Gadjah Mada

Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Jl. Nusantara 1, Bulaksumur Yogyakarta 55281, Indonesia
   fib@ugm.ac.id
   +62 (274) 513096
   +62 (274) 550451

Unit Kerja

  • Pusat Bahasa
  • INCULS
  • Unit Jaminan Mutu
  • Unit Penelitian & Publikasi
  • Unit Humas & Kerjasama
  • Unit Pengabdian kepada Masyarakat & Alumni
  • Biro Jurnal & Penerbitan
  • Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
  • Pusaka Jawa

Fasilitas

  • Perpustakaan
  • Laboratorium Bahasa
  • Laboratorium Komputer
  • Laboratorium Fonetik
  • Student Internet Centre
  • Self Access Unit
  • Gamelan
  • Guest House

Informasi Publik

  • Daftar Informasi Publik
  • Prosedur Permohonan Informasi Publik
  • Daftar Informasi Tersedia Setiap Saat
  • Daftar Informasi Wajib Berkala

Kontak

  • Akademik
  • Dekanat
  • Humas
  • Jurusan / Program Studi

© 2024 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY