Mengenal Tutor: Rifan Shinji

Yogyakarta, 15/05/2025 – INCULS (Indonesia Culture and Language Services) tidak hanya berperan sebagai lembaga pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing, tetapi juga menjadi wadah strategis dalam mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Pengalaman Rifan Shinji, seorang mahasiswa Bahasa dan Kebudayaan Jepang angkatan 2020 sebagai tutor di INCULS menunjukkan bagaimana pendekatan pendidikan yang inklusif dan adaptif mampu mewujudkan pendidikan berkualitas. Dengan memprioritaskan kebutuhan mahasiswa asing dari berbagai latar belakang seperti mahasiswa Monash University yang lebih menyukai percakapan santai atau mahasiswa Ritsumeikan yang tertarik pada musik tradisional, maka bisa menerapkan metode pembelajaran kontekstual. Misalnya, mahasiswa UNSW (University New South Wales) diajak mengunjungi museum untuk memahami politik Indonesia, sementara mahasiswa Kokushikan terjun langsung ke masyarakat guna mempelajari adat istiadat. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat pemahaman linguistik tetapi juga membangun keterampilan lintas budaya, yang sejalan dengan prinsip kebangsaan tentang pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan dan multikulturalisme.  

Selain itu, INCULS berkontribusi pada pengurangan ketimpangan dengan menerapkan prinsip kesetaraan dalam pembelajaran. Rifan menekankan bahwa semua mahasiswa diperlakukan setara tanpa favoritisme, meskipun tantangan seperti perbedaan mood atau kendala bahasa kerap muncul. Untuk mengatasinya, tutor menggunakan pendekatan personal seperti mengajak mahasiswa makan bersama, atau memanfaatkan teknologi penerjemah untuk memastikan materi tersampaikan dengan baik. Namun, fakta bahwa semua tutor INCULS saat ini adalah laki-laki juga menyoroti potensi peningkatan dalam hal kesetaraan gender yang bisa menjadi fokus pengembangan ke depan.  

Di sisi lain, INCULS berperan penting dalam pelestarian dan promosi budaya Indonesia . Melalui pengajaran bahasa, para tutor sekaligus memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia, mulai dari musik tradisional hingga adat istiadat lokal. Rifan mencontohkan bagaimana mahasiswa Ritsumeikan tertarik mempelajari gamelan, sementara mahasiswa HUFS lebih antusias membahas musik populer Indonesia. Penyebaran pengetahuan budaya ini tidak hanya memperkaya wawasan mahasiswa asing tetapi juga memperkuat diplomasi soft power Indonesia di kancah global. Dampaknya bersifat multiplikatif, karena mahasiswa asing tersebut akan membawa pemahaman mereka tentang Indonesia kembali ke negara masing-masing, menciptakan jaringan budaya yang lebih luas.  

Untuk mendukung peran strategis ini, Rifan menyarankan perlunya pengembangan infrastruktur INCULS, seperti pembangunan gedung khusus pengajaran Bahasa Indonesia. Fasilitas yang memadai akan memungkinkan lembaga ini meningkatkan kapasitas pengajaran dan menjangkau lebih banyak pelajar asing. Dengan mempertahankan kualitas pengajaran dan memperluas jaringan kolaborasi, INCULS dapat terus menjadi pionir dalam pengajaran bahasa Indonesia sekaligus berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Melalui pendekatan holistik yang menggabungkan pendidikan, budaya, dan inklusivitas, INCULS membuktikan bahwa pengajaran bahasa bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga investasi bagi perdamaian dan kemajuan global.

[INCULS, Thareeq Arkan Falakh]