• About UGM
  • Academic Portal
  • IT Center
  • Library
  • Research
  • Webmail
  • Informasi Publik
  • Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Manajemen
    • Tenaga Kependidikan
    • Tenaga Pendidik
  • Akademik
    • Kalender Akademik
    • Program Sarjana
      • Antropologi Budaya
      • Arkeologi
      • Sejarah
      • Pariwisata
      • Bahasa dan Kebudayaan Korea
      • Bahasa dan Sastra Indonesia
      • Sastra Inggris
      • Sastra Arab
      • Bahasa dan Kebudayaan Jepang
      • Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa
      • Bahasa dan Sastra Prancis
    • Program Master/S2
      • Magister Antropologi
      • Magister Arkeologi
      • Magister Sejarah
      • Magister Sastra
      • Magister Linguistik
      • Magister Pengkajian Amerika
      • Magister Kajian Budaya Timur Tengah
    • Program Doktor/S3
      • Antropologi
      • Ilmu-ilmu Humaniora
      • Pengkajian Amerika
    • Beasiswa
  • KPPM
    • Info Penelitian
    • Publikasi Ilmiah
    • Pengabdian Masyarakat
    • Kerjasama Luar Negeri
    • Kerjasama Dalam Negeri
  • Organisasi Mahasiswa
    • Lembaga Eksekutif Mahasiswa
    • Badan Semi Otonom
      • KAPALASASTRA
      • Persekutuan Mahasiswa Kristen
      • LINCAK
      • Saskine
      • Keluarga Mahasiswa Katolik
      • Dian Budaya
      • Sastra Kanuragan (Sasgan)
      • Keluarga Muslim Ilmu Budaya (KMIB)
      • Bejo Mulyo
    • Lembaga Otonom
      • Himpunan Mahasiswa Arkeologi
      • Ikatan Mahasiswa Jurusan Inggris
      • Himpunan Mahasiswa Pariwisata
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia
      • Ikatan Mahasiswa Sastra Asia Barat
      • Himpunan Mahasiswa Bahasa Korea
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara
      • Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah
      • Himpunan Mahasiswa Studi Prancis
      • Keluarga Mahasiswa Antropologi
      • Himpunan Mahasiswa Jepang
  • Pendaftaran
  • Beranda
  • SDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi
  • hal. 2
Arsip:

SDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi

Pekerja Migran Indonesia Hidup di Taiwan

Rilis BeritaSDGSSDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang TangguhSDGs 4: Pendidikan BerkualitasSDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi Kamis, 24 Juli 2025

Yogyakarta, 16 Juli 2025 – Kata-kata ”pekerja migran”, atau “buruh luar negeri“ yang dipanggil oleh orangnya, mungkin hanya sekelompok rakyatnya yang akrab tapi tak biasa diketahui oleh orang lainnya, tampak mereka sebagaimana tidak pernah muncul dalam kehidupan kita, tetapi fakta benar-benar merupakan sosok mereka telah menghabiskan banyak musim semi, panas, gugur dan dingin dengan kita di kota tempat tinggalnya.

Banyak dari kehidupan sehari-hari yang sudah biasa bagi kita, di mana juga bisa melihat sosok yang pekerja migran partisipasi, dan mungkin oleh sebabnya, kelompok pekerja migran terlibat dalam hidup masyarakat namun tidak terlalu aktif.

Untungnya, dalam kelas Indonesia advanced semester ini, Bu Silvia merencanakan satu wawancara mengenai memahami teman- teman Indonesia lebih dekat. Jadi kami memiliki kesempatan untuk duduk di samping dan bicarakan dengan mereka.

Karena hari itu hari Natal, semuanya memberi bagasi-bagasinya dan pindah dengan cepat di dalam TMS. Baik orang Taiwan maupun orang Indonesia mengambil foto bersama-sama di depan pohon Natal, dan membuat video kecil kehidupan harian.

Dalam pembantuan Bu Silvia, kelompok saya akhirnya mencari sekelompok wanita untuk mewawancarai, sesudah semuanya memperkenalkan dengan singkat, kami tahu yang pekerjaan semuanya sebagai pengurus. Mereka membantu orang yang tua dan mungkin ada kesulitan untuk hidup diri sendiri dan mengurus kesehatannya.

Mereka sering mengobrol bersama-sama dan “tiduran“ di TMS pada waktu luang. Ketika ditanya pertanyaan seperti mengapa orang Indonesia sering muncul dan “tiduran“ di sini, mereka jawab dengan senyum dan berbincang kepada kami bahwa karena kejadiannya adalah salah satu kebiasaan Indonesia. Baik muda maupun tua, semuanya terbiasa berkumpul dan berkata-kata pada waktu luang.

Salah satu teman Indonesia, namanya Yaya, berbincang alasan dengan jelas : Sesudah pindah ke Taiwan, karena banyak penyebab yang mungkin bingung pekerja migran sebagaimana masalah kehidupan atau masalah bahasa, banyak orang akan memilih untuk berhubungan satu sama lain sebisa-bisanya dan kalau ada peristiwa terjadi semuanya bisa bantu bersama. ( Ngomong- ngomong, Yaya bisa bicara bahasa Mandarin dengan lancar! )

Terus-terusan, kelompok kami mau tanya apa kesulitan terjadi sesudah mereka pindah ke Taiwan dan tinggal di sini selama waktu. Mereka bicarakan bahwa suasana kerja di Taiwan baik cukup dan lingkungan kehidupan juga ramah sekali.

Pada awalnya, banyak pekerja migran seperti mereka datang ke Taiwan atau luar negeri untuk gaji enak, fakta bahwa masyarakat Indonesia benar-benar adalah fenomena kemiskinan selalu bisa dilihat di dalam desa-desa kecil yang jauh dari kota besar, banyak keluarga terus kekurangan dan memutuskan untuk mengubah lingkungan anak-anaknya, jadi bekerja di Taiwan. Tetapi kami mendapatkan yang mereka hanya menjelaskan alasan kenapa datang ke Taiwan dengan singkat dan hampir tidak mengeluh tentang kelemahan Taiwan, mungkin mereka kurang mau berbagi pendapat terlalu sensitif seperti pertanyaannya, tetapi secara keseluruhan,kami merasa mereka masih puas dengan lingkungan kerja dan pilihannya di Taiwan.

Setelah selesai percakapan yang menyenangkan dengan kelompok wanita, kami memutuskan untuk mencari kelompok lainnya, kelompok kedua kami wawancarai juga ramah, dan yang paling mengesankan saya adalah sepasang saudara.

Bu bekerja di rumah lainnya sebagai pengurus dan mas bekerja di pabrik makanan.

Pada ditanya. bahwa apa perbedaan besar di antara Taiwan dan Indonesia, mas mengatakan pasti perbedaan bahasa. Meskipun mereka sudah tinggal di Taiwan selama beberapa tahun, masih kurang punya kesempatan untuk berkomunikasi dengan orang Taiwan lainnya sebanyak bisa. Menurut saya, itulah mungkin juga salah satu alasan tentang fenomena perkumpulannya.

Selain itu, mas juga berbagi sedikit ceritanya kepada kami, sebab ingin membuka restoran di Indonesia di masa depan, dia memilih untuk datang ke Taiwan dan kerja keras, walaupun hanya dapat kembali ke kampung halamannya sekali selama tujuh tahun. ( karena harga tiket pesawat yang mahal…… )

Jujurnya, kami terkejut dan sedih pada mendengarnya, semuanya berusaha untuk memainkan perannya sendiri untuk berbaikan hidup keluarganya. Kami juga yakin mereka dapat mengatasi kesulitan dan mewujudkan mimpinya!

Sesudah berkomunikasi dengan orang Indonesia, saya memikirkan kesulitan yang mungkin mereka akan dihadapi, juga menggabungkan pengetahuan sudah saya belajar di universitas, saya telah mengumpulkan tiga masalah utama yang mungkin dihadapi oleh pekerja migran Indonesia:

Masalah pertama:Adaptasi bahasa dan budaya

Para pekerja migran yang datang dan berangkat dari kampung halamannya, terbang sejauh tiga ribu kilometer ke Taiwan, yang mungkin merupakan perjalanan pertama dalam hidupnya, atau stasiun kedua atau ketiga tempat mereka bekerja di luar negeri, bahkan mereka mendengar tentang “ Taiwan “ untuk pertama kalinya.

Keluar dari bandara, dan mendekati negara dengan bahasa, budaya dan kepercayaan yang sangat berbeda, ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Seperti tantangan “bahasa”, walaupun sudah mengikuti kursus bahasa Mandarin di negara asal, tidak cukup untuk melakukan percakapan sehari-hari, selain itu jika merawat kakek dan bibi yang sudah terbiasa menggunakan bahasa Mandarin, mungkin akan terjadi kesalahpahaman karena perbedaan bahasa.

Selain perbatasan bahasa, ada juga perbedaan budaya. Untuk alasan agama, orang Islam tidak bisa makan dan minum pada siang hari di bulan Ramadan, dan beberapa pimpinan berpikir bahwa tidak makan tidak akan memberikan kekuatan untuk merawat orang tua di rumah. Keduanya membutuhkan waktu yang lama untuk berkomunikasi dan memahami satu sama lain.

Masalah kedua:Kebijakan dan undang-undang pekerja migran

Sebagai tambahan dari iklan masyarakat,pekerja migran juga harus menghadapi masalah hukum. Bahkan sekarang ketika masyarakat berubah dengan cepat dan hak pekerja mulai dihargai, pekerja migran masih memiliki masalah yang sulit untuk diatasi.

Masalah ketiga:Bagaimana caranya agar pekerja migran tidak terjebak dalam lingkaran kemiskinan

Para pekerja migran datang ke Taiwan bekerja keras setiap hari dan malam, dan banyak yang mengirimkan gaji bulanannya ke kampung halaman untuk mewujudkan mimpi mereka. Mereka tinggal di Taiwan selama tiga sampai empat belas tahun, tetapi mereka tidak memiliki pengetahuan manajemen keuangan karena mereka tumbuh dewasa, dan mereka tidak memiliki pengetahuan untuk menabung.

Taiwan, sebagai impian bagi banyak orang yang dipindahkan ke Asia Tenggara. Mereka tinggal jauh dari kampung halaman mereka dan datang ke Taiwan, tidak hanya sebagai sumber keuangan keluarga mereka, tetapi juga sebagai sumber pendukung bagi orang-orang tua di rumah. Namun, karena mereka tidak dapat berkomunikasi dengan baik, banyak orang dipindahkan untuk menjaga kakek dan nenek untuk waktu yang lama, tetapi mereka tidak dapat memahami apa yang dikatakan orang tua mereka, dan bahkan mengalami banyak kesulitan dalam bekerja. Bahasa yang tidak biasa dan kepercayaan yang tidak biasa membuat mereka dianggap sebagai orang asing di Taiwan untuk waktu yang lama, dan dilaporkan secara sepihak media, yang memperdalam diskriminasi di seluruh dunia. Celah membuat kita saling berhubungan dan sulit untuk mendekatinya.

Masih ada banyak hak asasi sedang ditunggu untuk berubah, hanya kita memutuskan untuk menciptakan dunia yang semua bisa hidup-hidup bersama dengan bahagia, lingkungan pekerja migran dan orang Taiwan baru bisa memahami satu sama lain sebisa- bisanya!

[National Chengchi University, Wu Yu Han]

 

Ayo ke Kotagede, Belajar Jadi Pandai Perak!

Rilis BeritaSDGSSDGs 4: Pendidikan BerkualitasSDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi Rabu, 23 Juli 2025

Yogyakarta, 10 Juli 2025 – Datang ke Yogyakarta, para pelancong pasti tidak akan melewatkan Jalan Malioboro, Candi Prambanan, atau Candi Borobudur. Tapi tahukah? Beberapa kilometer ke arah tenggara dari Malioboro, tersembunyi sebuah kawasan tua di balik gang-gang kecil, di mana siang hari selalu ramai orang berlalu-lalang, dan di balik rumah-rumah lama terdengar suara denting palu. Tempat itu bernama Kotagede, sentra kerajinan perak paling terkenal di Yogyakarta.

Di sini bukan hanya terkenal sebagai kampung perak, tetapi juga banyak bengkel kerja yang terbuka untuk umum, sehingga siapa pun bisa merasakan pengalaman membuat perhiasan perak yang unik dengan tangan sendiri. Suatu hari, tiga mahasiswa magang dari Humas FIB melangkah masuk ke salah satu bengkel di Kotagede, mencoba menjadi pandai perak sehari.

Begitu pintu bengkel dibuka, seorang pengrajin menyambut kami dengan senyum ramah. Sambil mengajak kami melihat-lihat peralatan, beliau mulai menjelaskan tahapan proses pembuatan perhiasan perak. Membuat perhiasan perak dimulai dari tahap peleburan logam. Beliau mengambil sebatang perak dan menjelaskan bahwa agar perak murni menjadi lebih keras dan mudah ditarik menjadi kawat halus, para pengrajin biasanya mencampurkan sedikit tembaga, kemudian melelehkannya bersama perak pada suhu tinggi. Setelah itu, logam cair dicetak menjadi batangan perak, lalu digiling berulang kali dengan mesin rol atau ditarik menjadi kawat sesuai kebutuhan.

Secara umum, kerajinan perak dibagi menjadi dua teknik: filigree dan solid silver. Kali ini, kami mencoba membuat perak filigree yang terkenal halus dan detail. Sang pengrajin membagikan kepada kami masing-masing sebungkus kawat perak tipis dan rangka cincin. Beliau pun menunjukkan cara membentuk kawat perak mengikuti pola desain, satu per satu dililit, ditekuk, dan perlahan diisi ke dalam bingkai cincin sampai pola terbentuk sempurna.

Saat giliran kami mencoba sendiri, barulah kami sadar ternyata tidak semudah kelihatannya. Setelah rangka dasar terbentuk, kawat perak yang harus diisi ke dalam bingkai tidak boleh meleset sedikit pun, kalau tidak, hasilnya tidak akan rapat. Kami bertiga memegang pinset kecil, berusaha menjepit kawat halus dengan hati-hati, takut kalau tangan sedikit terpeleset, kawatnya bisa putus. Sang pengrajin berdiri di samping, memperhatikan kami yang mulai kewalahan, lalu tersenyum sambil berkata, “Pelan-pelan saja, harus sabar.”

Saat percikan api muncul, kawat perak di bawah las mulai melunak dan menempel dengan rangka. Garis-garis halus pun akhirnya menyatu menjadi pola utuh. Membayangkan sang pengrajin harus mengulang proses ini ratusan kali, kami pun diam-diam merasa kagum. Saat itulah kami benar-benar paham, di balik satu perhiasan perak yang kecil, tersimpan ketekunan dan keahlian luar biasa dari para pandai perak.

Sebelum perhiasan perak benar-benar berpindah ke tangan kami, masih ada tahap terakhir yaitu proses penghalusan dan pemolesan. Para pengrajin memolesnya perlahan dengan tangan, sedikit demi sedikit, hingga permukaan perak menjadi halus dan berkilau. Akhirnya, perhiasan yang kawatnya kami bentuk sendiri dan disempurnakan dengan sabar oleh sang pengrajin, pun terbaring cantik di dalam kotak perhiasan mungil, memantulkan kilau peraknya yang cemerlang.

Kalau suatu hari berkesempatan mengunjungi Yogyakarta, cobalah luangkan waktu untuk berkunjung ke Kotagede. Susuri gang-gang kecilnya dan mampir ke bengkel peraknya, rasakan sendiri kesabaran dan keahlian para pandai perak. Siapa tahu, sebuah perhiasan perak buatan sendiri akan menjadi kenang-kenangan paling istimewa dari perjalanan ini, sekaligus menghadirkan hangatnya cerita tentang kerajinan tangan dan pikiran.

[National Chengchi University, Wang Hui Chen]

Siapa Sangka Seorang Mahasiswa Sastra Arab Diterima Magang di Perusahaan BUMN? Inilah Kontribusi Faris Zakiy untuk Masyarakat

SDGs 11: Kota dan Pemukiman Yang BerkelanjutanSDGs 7: Energi bersih dan terjangkauSDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi Jumat, 18 Juli 2025

Siapa bilang mahasiswa Sastra Arab hanya berkutat dengan teks dan budaya Timur Tengah? Fariz Zakiy, mahasiswa aktif dari Sastra Arab Universitas Gadjah Mada (UGM), membuktikan sebaliknya. Ia berhasil menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan humaniora bukanlah penghalang untuk berkontribusi nyata dalam dunia profesional. 

Berawal dari keinginan mengisi liburan semester dengan kegiatan produktif, Faris menemukan informasi magang. Saat membaca salah satu posisi yang dibuka adalah di bidang Corporate Social Responsibility (CSR), ia langsung tertarik, meskipun sempat ragu karena merasa jurusannya tidak berkaitan langsung. Dengan keberanian untuk mencoba, dia memutuskan untuk mengambil peluang dan kesempatan itu. Keputusannya itu ternyata membuahkan hasil. Ia diterima dan mulai menjalani pengalaman magang yang mempertemukannya dengan banyak dinamika masyarakat. 

Ketertarikan Faris terhadap dunia sosial bukanlah hal baru. Sejak awal kuliah, ia aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan seperti Ikmasa Mengabdi, Gemilang Desa, Ramadhan di Kampus, hingga menjadi bagian dari tim acara PIONIR Gadjah Mada 2024. Dari sanalah tumbuh kepekaannya terhadap isu sosial serta kemampuan dalam perencanaan kegiatan yang kini menjadi aset penting dalam perannya di bidang CSR.

Kendati berasal dari jurusan Sastra Arab, Faris menemukan bahwa banyak keterampilan yang ia peroleh selama studi sangat berguna dalam dunia kerja. Kemampuan menulis dan berkomunikasi yang ia latih selama kuliah menjadi modal utama dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat dengan cara yang lebih jelas dan mudah dipahami. Ditambah lagi, pengalamannya dalam menangani program-program organisasi membekalinya dengan kemampuan menerima kritik, merespons permasalahan secara solutif, serta menyiapkan materi komunikasi publik dengan visual menarik–seperti desain grafis dan video editing–yang semuanya mendukung kerja-kerja CSR di lapangan.

Selama magang, Faris terlibat dalam berbagai program pengembangan masyarakat yang mencakup sektor pertanian, peternakan, kesehatan, pariwisata, dan ekonomi. Salah satu program yang paling membanggakan baginya adalah pengembangan Kelompok Tani Bina Mandiri di Desa Pulosari melalui inovasi teknologi biodigester yang menghasilkan bio slurry. Produk ini kemudian dikembangkan menjadi Bio Slurry Plus, inovasi orisinal dari PLTP Gunung Salak yang belum pernah diterapkan di tempat lain. Program ini terbukti meningkatkan produktivitas sektor pertanian dan peternakan, dan menjadi salah satu alasan mengapa CSR PLTP Gunung Salak mendapatkan penghargaan Gold–tingkat tertinggi dalam penilaian program CSR nasional.

Dalam menjalankan perannya, Faris juga dihadapkan pada tantangan, terutama dalam mengubah kebiasaan masyarakat yang belum sepenuhnya tepat, khususnya di bidang pertanian dan peternakan. Ia dan tim memilih untuk melakukan edukasi secara perlahan, konsisten, dan dengan pendekatan yang persuasif agar pesan-pesan perubahan bisa diterima tanpa menyinggung kebiasaan yang telah mengakar. Dalam proses itu, Faris sangat menjunjung tinggi nilai lokal dan budaya setempat. Ia percaya bahwa prinsip “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” menjadi kunci dalam membangun kepercayaan masyarakat, terutama ketika bekerja di lingkungan yang sarat dengan nilai-nilai kultural seperti kawasan sekitar Taman Nasional Halimun Gunung Salak, meskipun lokasi binaan program berada di luar area konservasi tersebut.

Pengalaman magang ini mengubah cara pandang Faris terhadap hubungan antara dunia sastra, sosial, dan dunia kerja. Ia menyadari bahwa ilmu yang ia pelajari, yang semula ia anggap hanya relevan di ruang akademik atau kajian budaya, ternyata memiliki koneksi erat dengan kebutuhan praktis di lapangan. Sastra tidak hanya soal teks, tetapi juga tentang memahami konteks sosial, membangun empati, dan menyampaikan gagasan secara efektif–hal-hal yang sangat krusial dalam bidang pengembangan masyarakat. Baginya, dunia sastra dan dunia kerja tidak berseberangan, justru saling mendukung dan menguatkan.

Setelah program magangnya selesai, Faris bertekad untuk terus terlibat dalam kegiatan sosial dan memperdalam pengetahuannya di bidang pengembangan masyarakat. Ia juga ingin mengeksplorasi keterampilan yang selama ini ia tekuni, seperti perencanaan acara, desain, video editing, dan penulisan, yang menurutnya sangat dibutuhkan dalam dunia kerja sosial. Kisah Faris Zakiy adalah bukti nyata bahwa keberanian untuk melangkah, minat yang konsisten, dan kemampuan beradaptasi bisa membawa mahasiswa dari disiplin apa pun untuk memberi dampak nyata bagi masyarakat–bahkan hingga ke perusahaan milik negara.

 

[Humas FIB UGM, Candra Solihin]

Dari Hikayat Ke Kandha: Interaksi Sastra Melayu-Jawa Dalam Pembentukan Pakem Lakon Wayang Purwa

Rilis BeritaSDGSSDGs 17: Kemitraan Untuk Mencapai TujuanSDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi Selasa, 15 Juli 2025

Yogyakarta, 2 Juli 2025 –  Dalam Seminar Antarabangsa Kajian Melayu-Jawa, Dr. Rudy Wiratama memperkenalkan Wayang Purwa sebagai bagian dari kebudayaan Nusantara yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-harian masyarakat Austronesia.

Dalam “Wayang Purwa”, kata “Purwa” berarti “awal dan asal”. Wayang Purwa yang pertama kali tercatat pada abad ke-10 Masehi, mengambil cerita dari dua epos yang besar India: Mahabharata dan Ramayana, dengan cara menyatukan unsur kesenian budaya Jawa melalui pertunjukan-pertunjukan siluet wayang tokoh dan hewan, serta menggabungkan musik dan nyanyian tradisional Jawa untuk menceritakan kisah-kisah mitos dan legenda. Dengan kata lain, Wayang Purwa dapat dianggap sebagai produk budaya yang lahir dari perpaduan erat antara peradaban budaya Indonesia dan budaya Hindu.

Dr. Rudy Wiratama kemudian mengemukakan serta mencoba untuk menjelaskan pokok dalam permasalahan berikutnya: Meskipun Wayang Purwa dikatakan menggunakan epos India Mahabharata dan Ramayana sebagai bahan ceritanya, namun dalam karya kesenian terkait yang diterbitkan di masa kini sering kali ditemukan penyimpangan dari versi Sanskritnya. Untuk memahami sejauh apa hal ini terjadi dan menganalisis faktor-faktor di baliknya, Dr. Rudy menyusun dua hipotesis dari studi terkait:

  1. JJ RAS (1988) menduga bahwa terdapat dua arus persebaran Mahabharata dan Ramayana di Kepulauan Nusantara: Arus pertama melalui kaum elite membawa tradisi tulisan, yang kemudian menjadi penopang sastra penting bagi kaum Kakawin; arus kedua melalui tim pedagang yang membawa versi rakyat dari kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana, yang dilestarikan oleh dalang-dalang. I Kuntara Wiryamartana dalam penelitiannya tentang karya sastra Jawa Kuno dan penerimaannya dalam karya sastra Jawa Baru menganggap bahwa perubahan cara membaca dan mencatat Mahabharata dan Ramayana dipengaruhi oleh kakografi ( kesalahan membaca ) dan hilangnya penguasaan para pujangga selanjutnya dalam bahasa kuno.    

 

  1. SUMARSIH (1985) menunjukkan bahwa terutama dalam Ramayana ditemukan petunjuk yang menunjukkan bahwa Ramayana Pesisiran memiliki kesamaan sumber dengan Hikayat Seri Rama Melayu. Annabel Teh-Gallop (2015) lebih lanjut meragukan: Pada masa kemunduran Majapahit pada abad ke-15 hingga ke-16, saat kerajaan Islam mendorong perluasan jaringan perdagangan global di Asia Tenggara, pertukaran budaya yang semakin sering antara Jawa dan Melayu memengaruhi penciptaan versi “epos lokal” dari Mahabharata dan Ramayana.

Terakhir tetapi tidak kalah penting, Dr. Rudy Wiratama secara singkat merangkum kebangkitan dan dampak-dampak interaksi sastra Melayu-Jawa dalam keterkaitan Wayang Purwa: Keterkaitan Jawa-Melayu dalam proses pembentukan Wayang Purwa di masing-masing daerah pasti mengalami pasang surut. Setelah berlalunya masa Kerajaan Majapahit, persebaran Wayang Purwa kembali menyebar luas di Kepulauan Nusantara, namun jalur-jalur penyebab yang berbeda seperti tren-trennya berbalik dengan pekerja migran ke wilayah Malaysia dan warga transmigrasidi di pulau-pulau luar Pulau Jawa.

Yang lebih menariknya, pada fase ini, pertautan Wayang Purwa Jawa serta Melayu tidak terjalin lagi, kecuali di beberapa kuliyah yang memiliki ciri khas lokal Wayang Purwa sebagaimana Banjarmasin dan Palembang. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga tidak ditulisnya sebagai Wayang Purwa, melainkan Wayang Banjar atau Wayang Palembang.

[National Chengchi University, Wu Yu Han]

Dari Taiwan ke Yogyakarta untuk Menjadi Bunga yang Mekar: Kehidupan Magang Pan Ke En di FIB UGM

Rilis BeritaSDGSSDGs 17: Kemitraan Untuk Mencapai TujuanSDGs 4: Pendidikan BerkualitasSDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi Selasa, 15 Juli 2025

Yogyakarta, 10 Juli 2025 – Pada bulan Juli, di meja kerja Ruang Humas Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM), tampak tiga wajah asing. Mereka adalah mahasiswa magang dari National Chengchi University (NCCU), Taiwan, nama mereka adalah Wu Yu Han (beritanya dapat diakses melalui tautan), Wang Hui Chen (beritanya dapat diakses melalui tautan), dan salah satunya yang akan diperkenalkan hari ini adalah Pan Ke En.

“Halo! Nama saya Pan Ke En. Saya mahasiswa Jurusan Bahasa dan Budaya Asia Tenggara (kelompok Indonesia) di NCCU. Saat ini saya berada di tingkat akhir dan diperkirakan akan lulus pada bulan Juni 2025. Hobbi saya adalah menonton film dan berjalan-jalan ke luar negeri untuk merasakan budaya yang berbeda,” ujarnya. Sebagai mahasiswa yang studi bahasa Indonesia, dia akrab dipanggil Bunga oleh dosen dan teman-temannya di NCCU. Panggilan ini juga selalu dipakai oleh rekan-rekan di ruang Humas.

“Bunga, artikelnya sudah selesai?” Setiap pagi begitu melangkah masuk kantor, teman-teman di ruang Humas selalu menanyakan perkembangan pekerjaannya. Selama magang di ruang Humas, Bunga bertanggung jawab menulis berita berbagai kegiatan dalam Bahasa Indonesia. “Seperti seminar, pertunjukan budaya, atau kuliah umum dan sebagainya,” jelasnya. Selain menulis, dia juga sering mondar-mandir di lokasi acara untuk mengambil foto dan mencatat hal-hal penting, mendokumentasikan setiap momen yang krusial.

 

Walaupun kehidupan magangnya terasa sibuk dan menarik, Bunga tak menampik bahwa menerapkan Bahasa Indonesia yang dipelajari di kelas ke pekerjaan sehari-hari tetap menjadi tantangan baru baginya. “Tantangan yang saya hadapi saat belajar bahasa Indonesia adalah memahami berbagai dialek dan ungkapan lokal. Menggunakan bahasa Indonesia langsung di lingkungan kerja terasa menantang tapi juga menyenangkan,” ungkapnya. Menurut Bunga, hal ini memang membantu dia untuk berkembang lebih cepat.

 

Selain harus berani berbicara langsung dalam Bahasa Indonesia, Bunga juga sering menemui kendala saat menulis. Dia mencontohkan, beberapa istilah khusus dalam Bahasa Mandarin memang tidak selalu punya padanan kata yang pas dalam Bahasa Indonesia, dan jika diterjemahkan secara kata per kata, maknanya bisa melenceng. “Seperti cerita tentang nasi goreng Taiwan dan nasi goreng Indonesia. Di dalamnya saya menyebut istilah ‘鑊氣 (wok hei)’, yang artinya aroma khas dari wajan panas. Tapi dalam Bahasa Indonesia tidak ada satu kata pun yang benar-benar mewakili maksud ini. Akhirnya saya tulis dulu dengan ejaannya, lalu saya tambahkan penjelasan dalam Bahasa Indonesia dan pembaca bisa memahami maksudnya,” jelasnya.

 

Menhadapi berbagai tantangan dalam tugas sehari-hari juga membuat Bunga lebih bersyukur. “Karena dulu sempat mengambil mata kuliah Menulis dalam Bahasa Indonesia di NCCU. Kuliah ini juga melatih saya untuk menyusun kalimat dengan struktur yang benar dan gaya bahasa yang efektif, sehingga saya dapat menulis laporan dan artikel dengan lebih percaya diri dan profesional,” dia menambahkan dengan nala lega.

Magang di luar negeri memang penuh tantangan, tetapi bagi Bunga justru di situlah letak daya tariknya.

“Di sini ada lingkungan yang mendukung pembelajaran bahasa, kedalaman pengalaman budaya yang bisa saya rasakan secara langsung, dan kekayaan sumber daya akademik yang dimiliki oleh fakultas ini,” dia menegaskan alasan mengapa magang di UGM. Bagi Bunga, pengalaman ini bukan kesempatan belajar Bahasa Indonesia, tetapi juga menjadi awal baginya untuk tumbuh dan mekar, membuka lebih banyak peluang karier setelah lulus nanti.

[National Chengchi University, Wang Hui Chen]

1234…31

Rilis Berita

  • Praktik Membuat Pelindung Naskah dan Mencipta Naskah
  • Mengabdi kepada Masyarakat Padukuhan Wotawati
  • Prodi Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa UGM Perkuat Kolaborasi Lewat Partisipasi dalam Seminar Incolwis dan RAKORNAS IV ADISABDA 2025
  • Memenangkan Lomba Literasi Aksara Jawa dalam Hadeging Kadipaten Pakualaman Ngayogyakarta
  • FIB UGM Wisuda 226 Sarjana

Arsip Berita

Video UGM

[shtmlslider name='shslider_options']
Universitas Gadjah Mada

Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Jl. Nusantara 1, Bulaksumur Yogyakarta 55281, Indonesia
   fib@ugm.ac.id
   +62 (274) 513096
   +62 (274) 550451

Unit Kerja

  • Pusat Bahasa
  • INCULS
  • Unit Jaminan Mutu
  • Unit Penelitian & Publikasi
  • Unit Humas & Kerjasama
  • Unit Pengabdian kepada Masyarakat & Alumni
  • Biro Jurnal & Penerbitan
  • Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
  • Pusaka Jawa

Fasilitas

  • Perpustakaan
  • Laboratorium Bahasa
  • Laboratorium Komputer
  • Laboratorium Fonetik
  • Student Internet Centre
  • Self Access Unit
  • Gamelan
  • Guest House

Informasi Publik

  • Daftar Informasi Publik
  • Prosedur Permohonan Informasi Publik
  • Daftar Informasi Tersedia Setiap Saat
  • Daftar Informasi Wajib Berkala

Kontak

  • Akademik
  • Dekanat
  • Humas
  • Jurusan / Program Studi

© 2024 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju