
Yogyakarta, 10 Juli 2025 – Datang ke Yogyakarta, para pelancong pasti tidak akan melewatkan Jalan Malioboro, Candi Prambanan, atau Candi Borobudur. Tapi tahukah? Beberapa kilometer ke arah tenggara dari Malioboro, tersembunyi sebuah kawasan tua di balik gang-gang kecil, di mana siang hari selalu ramai orang berlalu-lalang, dan di balik rumah-rumah lama terdengar suara denting palu. Tempat itu bernama Kotagede, sentra kerajinan perak paling terkenal di Yogyakarta.
Di sini bukan hanya terkenal sebagai kampung perak, tetapi juga banyak bengkel kerja yang terbuka untuk umum, sehingga siapa pun bisa merasakan pengalaman membuat perhiasan perak yang unik dengan tangan sendiri. Suatu hari, tiga mahasiswa magang dari Humas FIB melangkah masuk ke salah satu bengkel di Kotagede, mencoba menjadi pandai perak sehari.
Begitu pintu bengkel dibuka, seorang pengrajin menyambut kami dengan senyum ramah. Sambil mengajak kami melihat-lihat peralatan, beliau mulai menjelaskan tahapan proses pembuatan perhiasan perak. Membuat perhiasan perak dimulai dari tahap peleburan logam. Beliau mengambil sebatang perak dan menjelaskan bahwa agar perak murni menjadi lebih keras dan mudah ditarik menjadi kawat halus, para pengrajin biasanya mencampurkan sedikit tembaga, kemudian melelehkannya bersama perak pada suhu tinggi. Setelah itu, logam cair dicetak menjadi batangan perak, lalu digiling berulang kali dengan mesin rol atau ditarik menjadi kawat sesuai kebutuhan.
Secara umum, kerajinan perak dibagi menjadi dua teknik: filigree dan solid silver. Kali ini, kami mencoba membuat perak filigree yang terkenal halus dan detail. Sang pengrajin membagikan kepada kami masing-masing sebungkus kawat perak tipis dan rangka cincin. Beliau pun menunjukkan cara membentuk kawat perak mengikuti pola desain, satu per satu dililit, ditekuk, dan perlahan diisi ke dalam bingkai cincin sampai pola terbentuk sempurna.
Saat giliran kami mencoba sendiri, barulah kami sadar ternyata tidak semudah kelihatannya. Setelah rangka dasar terbentuk, kawat perak yang harus diisi ke dalam bingkai tidak boleh meleset sedikit pun, kalau tidak, hasilnya tidak akan rapat. Kami bertiga memegang pinset kecil, berusaha menjepit kawat halus dengan hati-hati, takut kalau tangan sedikit terpeleset, kawatnya bisa putus. Sang pengrajin berdiri di samping, memperhatikan kami yang mulai kewalahan, lalu tersenyum sambil berkata, “Pelan-pelan saja, harus sabar.”
Saat percikan api muncul, kawat perak di bawah las mulai melunak dan menempel dengan rangka. Garis-garis halus pun akhirnya menyatu menjadi pola utuh. Membayangkan sang pengrajin harus mengulang proses ini ratusan kali, kami pun diam-diam merasa kagum. Saat itulah kami benar-benar paham, di balik satu perhiasan perak yang kecil, tersimpan ketekunan dan keahlian luar biasa dari para pandai perak.
Sebelum perhiasan perak benar-benar berpindah ke tangan kami, masih ada tahap terakhir yaitu proses penghalusan dan pemolesan. Para pengrajin memolesnya perlahan dengan tangan, sedikit demi sedikit, hingga permukaan perak menjadi halus dan berkilau. Akhirnya, perhiasan yang kawatnya kami bentuk sendiri dan disempurnakan dengan sabar oleh sang pengrajin, pun terbaring cantik di dalam kotak perhiasan mungil, memantulkan kilau peraknya yang cemerlang.
Kalau suatu hari berkesempatan mengunjungi Yogyakarta, cobalah luangkan waktu untuk berkunjung ke Kotagede. Susuri gang-gang kecilnya dan mampir ke bengkel peraknya, rasakan sendiri kesabaran dan keahlian para pandai perak. Siapa tahu, sebuah perhiasan perak buatan sendiri akan menjadi kenang-kenangan paling istimewa dari perjalanan ini, sekaligus menghadirkan hangatnya cerita tentang kerajinan tangan dan pikiran.
[National Chengchi University, Wang Hui Chen]