
“Saat aku berperan sebagai seorang ibu yang dikhianati putranya, aku melihat audiensku menangis.” Kalimat itu keluar dari mulut Pandhita dengan penuh keyakinan dan mata yang menerawang. Bukan karena ia pernah benar-benar mengalami kisah itu, melainkan karena ia tahu betul bagaimana menyampaikan cerita dengan rasa. Bagi Pandhita, storytelling bukan sekadar pertunjukan kata atau hiburan panggung. Itu adalah cara paling halus namun dalam untuk menyampaikan pesan, menggerakkan emosi, dan menyentuh sisi manusia yang sering kali tak dijangkau oleh logika. Dan perjalanan cinta pada storytelling itu dimulai sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar.
Waktu itu, Pandhita mengikuti lomba storytelling tingkat kabupaten dan berhasil meraih juara. Bukan kemenangannya yang paling membekas, melainkan saat ia menyadari kekuatan sebuah dongeng yang mampu membuat audiens tertawa, termenung, bahkan menitikkan air mata. Sejak momen itulah, storytelling bukan lagi sekadar hobi baginya, melainkan jalan hidup yang ia yakini bisa membawa manfaat untuk orang lain. Ia percaya bahwa menyampaikan nilai-nilai kehidupan tidak selalu harus dengan nasihat atau petuah, cerita yang ringan namun mengandung makna justru lebih bisa diterima dan diresapi. “Khairunnās anfa‘uhum linnās, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia yang lain” begitu ia menegaskan, sembari mengutip mahfuzhat Arab yang menjadi prinsip utamanya dalam berkarya.
Semakin ia menyelami dunia storytelling, semakin banyak pula pintu yang terbuka. Kemampuan bercerita menjadikannya dipercaya sebagai mentor dalam berbagai bidang, mulai dari bahasa Arab, Inggris, hingga pelajaran umum. Salah satu pengalaman paling unik yang ia alami adalah saat mengikuti lomba storytelling berbahasa Korea–padahal ia belum pernah belajar bahasa itu secara formal. Hanya berbekal dari lagu-lagu dan drama yang ia dengar, ia mencoba menirukan pelafalan dan ekspresi, semata-mata demi memperluas wawasan dan mengenal bahasa baru. Dari situ, ia semakin yakin bahwa cerita bisa menjadi medium pembelajaran lintas bahasa.
Kemampuannya dalam menyusun narasi dan menyampaikan pesan juga membuatnya kerap dilibatkan dalam proyek video edukatif. Orang-orang mempercayakan padanya tugas penting: menyampaikan pesan dengan runtut, hidup, dan penuh makna. Namun dari sekian banyak pengalaman, satu momen yang paling tak terlupakan adalah saat ia menjadi pendongeng dalam acara sosial anak-anak di daerah marginal. Jumlah audiensnya mungkin tak seberapa, tapi ketika ia memainkan peran dalam kisah “Batu Menangis”, ruangan itu berubah hening dan emosional. “Ketika aku berakting sebagai seorang ibu yang dicela oleh anaknya, aku melihat anak-anak itu ikut menangis. Mereka tidak hanya mendengar, mereka merasakan.” Dari situlah Pandhita tahu: ia tidak hanya menyampaikan cerita, tapi menghidupkan makna.
Keterampilan itu pula yang menuntunnya ke dunia profesional sebagai moderator dan pembawa acara. Menjadi MC, menurutnya, bukan sekadar membaca susunan acara, tapi juga bagaimana membangun suasana, menjaga semangat dan antusias pendengar, serta menjaga energi diri untuk terus stabil dari awal hingga akhir. Ia memadukan teknik naratif dengan permainan nada suara, metafora ringan, dan transisi yang baik agar setiap segmen acara terasa hidup. Bahkan, storytelling pernah menyelamatkannya dalam situasi wawancara yang penuh tekanan. Ketika pikirannya buntu karena sebuah pertanyaan, ia memilih menjawab dengan pendekatan naratif. “Aku hanya menceritakan sebuah analogi sederhana, mengemas bahasa yang rumit menjadi sederhana dan mudah dipahami, dan pewawancaranya pun tersenyum,” kenangnya.
Bagi Pandhita, storytelling adalah jembatan antara pikiran dan hati. Ia menolak anggapan bahwa bercerita hanya untuk anak-anak. Justru, dari cerita, kita bisa belajar empati, kepekaan, dan kepedulian sosial. Dunia ini dipenuhi hal-hal kecil yang bermakna, hanya saja kita sering tak sempat melihatnya. Maka dari itu, ia menjadikan storytelling sebagai cara untuk membuat orang lain melihat ulang hidupnya dengan sudut pandang yang lebih hangat. Di berbagai forum edukasi dan motivasi yang ia hadiri, Pandhita selalu membawa satu pesan penting: literasi dan bahasa adalah kunci masa depan. “Sayangnya, masih banyak yang mengabaikannya,” ujarnya dengan lirih.
Saat ditanya tentang impiannya, Pandhita menjawab dengan mantap: ia ingin membuat workshop storytelling yang terbuka bagi siapa saja. Sebuah ruang aman tempat orang bisa berbagi cerita tanpa takut dihakimi. Baginya, storytelling bukan soal tampil sempurna atau mengesankan, tapi tentang kejujuran, keberanian, dan penerimaan diri. “Setiap orang punya cerita. Dan setiap cerita punya kekuatan,” katanya. Ia percaya, menjadi manusia yang menginspirasi tidak selalu soal pencapaian besar, kadang cukup dengan menjadi pendengar yang baik, atau pencerita yang tulus.
[Humas FIB UGM, Candra Solihin]