• About UGM
  • Academic Portal
  • IT Center
  • Library
  • Research
  • Webmail
  • Informasi Publik
  • Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Manajemen
    • Tenaga Kependidikan
    • Tenaga Pendidik
  • Akademik
    • Kalender Akademik
    • Program Sarjana
      • Antropologi Budaya
      • Arkeologi
      • Sejarah
      • Pariwisata
      • Bahasa dan Kebudayaan Korea
      • Bahasa dan Sastra Indonesia
      • Sastra Inggris
      • Sastra Arab
      • Bahasa dan Kebudayaan Jepang
      • Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa
      • Bahasa dan Sastra Prancis
    • Program Master/S2
      • Magister Antropologi
      • Magister Arkeologi
      • Magister Sejarah
      • Magister Sastra
      • Magister Linguistik
      • Magister Pengkajian Amerika
      • Magister Kajian Budaya Timur Tengah
    • Program Doktor/S3
      • Antropologi
      • Ilmu-ilmu Humaniora
      • Pengkajian Amerika
    • Beasiswa
  • KPPM
    • Info Penelitian
    • Publikasi Ilmiah
    • Pengabdian Masyarakat
    • Kerjasama Luar Negeri
    • Kerjasama Dalam Negeri
  • Organisasi Mahasiswa
    • Lembaga Eksekutif Mahasiswa
    • Badan Semi Otonom
      • KAPALASASTRA
      • Persekutuan Mahasiswa Kristen
      • LINCAK
      • Saskine
      • Keluarga Mahasiswa Katolik
      • Dian Budaya
      • Sastra Kanuragan (Sasgan)
      • Keluarga Muslim Ilmu Budaya (KMIB)
      • Bejo Mulyo
    • Lembaga Otonom
      • Himpunan Mahasiswa Arkeologi
      • Ikatan Mahasiswa Jurusan Inggris
      • Himpunan Mahasiswa Pariwisata
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia
      • Ikatan Mahasiswa Sastra Asia Barat
      • Himpunan Mahasiswa Bahasa Korea
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara
      • Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah
      • Himpunan Mahasiswa Studi Prancis
      • Keluarga Mahasiswa Antropologi
      • Himpunan Mahasiswa Jepang
  • Pendaftaran
  • Beranda
  • FIB UGM
  • FIB UGM
  • hal. 93
Arsip:

FIB UGM

Mutiara Pengatahuan Lokal Nusantara dalam Perpesktif Kajian Kritis

HEADLINENews ReleaseSTICKY NEWS Sabtu, 7 Juni 2014

Pada tataran awal, pola kerja ilmuan (peneliti) adalah menghadirkan sebanyak mungkin realitas dalam penelitiannya, khususnya penelitian yang berbasis field research. Tidak terkecuali para ilmuan social, di antaranya sastra, sejarah, linguistic, dan yang paling mutakhir adalah mereka yang mengambil minat pada tradisi lisan. Pentingnya pengetahuan local dalam riset social humaniora telah mewarnai perkembangan kajian ilmuan pada masa kini. Pendekatan penelitian yang berbasis pengetahuan local (Indonesia) ikut memperkaya khasanah ilmu pengetahuan masa kini dengan menghadirkan sejumlah pengetahuan local yang unik, baru, dan bermanfaat bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Hal tersebut terungkap dalam seminar sehari bertema “Tradisi Lisan, Sastra Lisan dan Sejarah Lisan dalam Perspektif Kajian Kritis” di Ruang Margono, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu 4 Juni 2014.

Dalam seminar tersebut tampil 7 orang pembicara yang berasal dari program pendidikan Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Fakultas Ilmu Budaya UGM. Pembicara tersebut adalah Sumiman Uddu dan Heru S.P. Saputra (Kajian Tradisi Lisan), Zaiyardam Zubir dan Ida Liana Tanjung (Sejarah), Irma Diani (Linguistik), Ratih Baiduri dan I Ngurah Suryawan (Antropologi).

Sumiman Uddu dalam makalah yang berjudul “Bhanti-Bhanti sebagai Memori Kolektif Masyarakat Wakatobi” mengatakan bahwa banthi-bhanti dalam tradisi lisan memiliki kandungan nilai dan makna penting dalam perjalanan kehidupan masyarakat. Bhanti-bhanti dalam berbagai situasi bisa berfungsi sebagai kritik social, peringatan, pujian, dan harmoni dalam masyarakat wakatobi. Di dalam bhanti-bhanti ada sejarah, nilai-nilai social yang kompleks, ada perjuangan hidup, ada nilai kejujuran, dan ada ajaran moral yang terkandung di dalamnya. Oleh Karena itu, pengetahuan bhanti-bhanti menjadi semacam “dictionary of live” masyarakat Wakatobi.
Sementara itu Heru S.P Saputra membawakan makalah berjudul “Ekspresi Formulaik: Karakteristik Kelisanan Mantra Using Banyuwangi” menjelaskan bahwa pengetahuan mantra bagi masyarakat Using telah menjadi identitas local. Formula mantra telah mengakar sedemikian lama dalam masyarakat melalui pola pewarisan. Dalam mantra terdapat sejumlah karakteristik yang unik seperti adanya pola perulangan, percampuran antara bahasa local (adat) dengan bahasa Arab yang identik dengan kepercayaan Islam, serta adanya proses transformatif. Mantra menurut Heru berfungsi untuk komunikasi ritual dengan dunia dan kekuatan gaib melalui upacara dan untuk kepentingan tertentu. Dukun dan roh halus menjadi media pengantar mantra yang memungkinkan terjadinya komuniasi ritual. Agar tidak hilang, menurut Heru mantra harus diwariskan dan dirawat. Mantra-mantra yang dikaji Heru S.P antara lain Sabuk Mangir (welas asih), Kejiman, nyapu mbengi, ngentut, dan mantra Jaran Goyang. Semua mantra harus dicapkan lisan oleh dukun, ulas Heru Saputra.

Pengetahuan local juga hadir dari Sumatra Utara, yakni Batak Toba. Ratih Baiduri yang memparkan presentasinya tentang Hak dan Kedudukan Perempuan Batak Toba ini diperoleh dari sebuah naskah lama yang berjudul Ende Siboru Tombaga (EST). Di dalam naskah yang terdiri dari 305 bait dan dalam tiap bait terdapat 4 larik ini terdapat pengetahuan (fakta-fakta) tentang kebudayaan, kedudukan Laki-Laki dan Perempuan dalam Kebudayaan Batak Toba. Temuan Ratih dalam naskah EST di ataranya adalah posisi dilematis perempuan yang ambigu (tidak jelas). System kekerabatan patrilineal dan dan prinsip Dalihan na Tolu ikut memberi warna pada tradisi Batak (laki dan perempuan) masa kini yang memberi peran minim perempuan dalam kehidupan social dan budaya, tafsir Ratih yang menjadi pembicara ketiga pada seminar ini.

Nilai budaya Serawai Bengkulu Selatan melalui sastra lisan juga dihadirkan dalam seminar ini sebagaimana yang disampaikan oleh Irma Diah. Menurutnya, Sastra Lisan yang dimaksud adalah sastra lisan rakyat Bengkulu dalam bentuk pepatah, perumpamaan, nandai, dan rimbaian. Peruntukan dari bentuk-bentuk sastra lisan itu berisi nilai budaya serawai beruapa aturan hidup masyarakat termasuk kaum perempuan dan muda-mudi. Isi lain dari sastra lisan Serawai adalah nilai etika, hiburan, estetis (keindahan), social kemasyarakatan, social, pergaulan, persahabatan, komunikasi, pendidikan, dan falsafah hidup. Kompleksnya nilai-nilai sastra Lisan Serawai Bengkulu menjadi penting dihadirkan untuk mengisi ruang-ruang kehidupan social yang makin jauh dari tradisi humanistic. Sebuah pelajaran yang selama ini dilupakan.

Agama asli (local) di nusantara ternyata masih ada di Papua. Itulah yang dihadirkan oleh I Ngurah Suryawan dengan memaparkan makalah Tradisi Lisan Koreri (Biak), Hai (Amungme), Wege Bage (Mee) dalam transformasi social budaya Rakayat Papua. Agama local ini masih bertahan dalam masyarakat Papua dan terus mengalami transformasi ketika bersentuhan dengan Agama Kristen. Unsur-unsur Agama Kristen diadopsi sebagaimana yang diungkap Ngurah. “Tuhan itu ada bagi rakyat Biak. Kitong suku yang terpilih untuk mengabarkan Injil. Tuhan kita adalah Mansren Manggundi (versi Biak). Kalau pada adat Biak ada adopsi, maka berbeda dengan Mee. Di Mee, agama Wege Bage masih demikian dominan dalam masyarakat, sehingga agama Kristen masih di tolak masyarakat local. Akibatnya, Agama Kristen yang harus mengadopsi tradisi local untuk secara evolusi mengenalkan Agama Kristen pada masyarakat Mee, Papua, papar dosen Universitas Papua Monokwari ini.

Kajian yang memanfaatkan tadisi local, disampaikan juga oleh Ida Liana Tanjung tentang Sejarah Kota Barus yang identitasnya tidak diketahui secara pasti. Kota Barus mengalami trasnsformasi berdasarkan pendekatan ranah budaya menjadi kota bertuah. Ida mengidentifikasi symbol-simbol kota, berupa makam dan jejak lain kehadiran Islam Nusantara di Barus. Temuan terpenting Ida Liana adalah tentang pengetahuan masuknya sejarah Islam di Nusantara. Islam pertama kali masuk ke Indonesia di barus pada abad ke-7, yang dibuktikan dengan adanya makam dan cerita rakyat turun temurun mengenai 44 Aulia di Barus. Fakta ini mereduksi pengetahuan sejarah selama ini yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara datang pada abad XI dan XIII. Komoditi kapur barus yang diperdagangankan sejalan dengan kebutuhan untuk kepentingan komersil dan agama menjadikan Barus menjadi tujuan para pedagang. Kondisi inilah titik awal hadirnya masyarakat Barus dalam arus sejarah Nusantara dan Dunia.

Lain di Barus, lain pula di Riau, memori kolektif yang perlu direkam dari orang Minangkabau yang ada di Riau, khususnya mereka yang separuh hidupnya bertarung melawan dominasi kapitalis perkebunan. Pertarungan rakyat atas nama hak atas tanah menjadi demikian penting di daerah itu karena serbuan pemilik modal dalam pembukaan perkebunan kelapa sawit. Dengan judul Beraja ke Indra Giri, Beradat ke Minangkabau, Zaiyardam Zubir menampilkan konflik berkepanjangan antara pemilik tanah dengan hak ulayat dengan pemilik tanah atas nama negara yang kehadirannya berdasarkan prinsip formalism. Pertarungan tanpa henti ini menempatkan negara selalu dalam posisi menang, meski pada saat yang sama undang-undang Agraria juga mengakui adanya hak ulayat warga negara atas tanah yang telah dijaga selama puluhan tahun atau sudah turun temurun.

Sejarah Lisan dalam memandang persoalan tersebut seringkali kehilangan konteks sehingga kajiannya lemah secara metodologi. Tanpa keberpihakan seharusnya sejarah harus menghadirkan konteks dan penjelasan yang lebih konprehensif. Sejarah lisan harus mengungkap informasi sebanyak mungkin informasi lisan, bukan hanya mengandalkan teks tertulis yang dihadirkan negara berdasarkan kepentingannya. Dalam konteks inilah kehadiran sejarah memberi kontribusi pada humanism. “Belum tentu yang tertulis itu lebih baik dari yang lisan sebagai sumber sejarah”, ujar Dosen Universitas Andalas Padang ini.

Disarikan dari
Seminar Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora bertema “Tradisi Lisan, Sastra Lisan dan Sejarah Lisan dalam Perspektif Kajian Kritis” di Ruang Margono, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu 4 Juli 2014.

kontributor: La Ode Rabani-S3 FIB UGM

Pengumuman PPKN Kelas A

PENGUMUMANSTICKY NEWS Jumat, 6 Juni 2014

PENGUMUMAN Mata Kuliah PPKN Kelas A (Sejarah & S. Indonesia)

Diberitahukan kepada mahasiswa yang mengambil
mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Kelas A (Sejarah & S. Indonesia)
Dosen : Drs. Ahmad Nugroho, S.U.

dimohon mengumpulkan tugas tentang pembuatan film dalam bentuk compact disc
ke Seksi Akademik FIB UGM
paling lambat hari Rabu tanggal 11 Juni 2014 pukul 13.00 WIB

Demikian, harap maklum.

Pentingnya Pengetahuan dan Peradaban (Lokal) Nusantara dalam Penelitian

HEADLINENews ReleaseSTICKY NEWS Rabu, 4 Juni 2014

Sadar atau tidak, kebanyakan dari hasil penelitian kita mengekor pada konsep-konsep yang dihadirkan oleh peneliti Asing, sehingga kita tidak pernah merdeka dari “penjajahan” ilmu pengetahuan Barat. Padahal, Nusantara memiliki tradisi dan sastra lisan yang penuh dengan konsep-konsep ilmu pengetahuan dan peradaban yang kaya dalam bentuk pewarisan sastra dan tradisi lisan.
“Dahsyatnya konsep pengetahuan lokal tidak kalah dengan pengetahuan luas yang selalu kita impor. Konsep “Tsunami” misalnya, yang menggambarkan gelombang tinggi yang terjadi di Pantai Barat Sumatra sampai Aceh. Pengetahuan local masyarakat Simeleu (Aceh) telah lama mengenal konsep pengetahuan tentang gelombang besar tersebut dengan “mong” atau “smong”. Gambaran konsep pengetahuan local lain tentang “Living Green” yang ada pada masyarakat Riau. Dan dalam konteks ini, masuknya perkebunan kelapa sawit telah menghilangkan living green yang mengakar pada masyarakat Riau. Karena konsep pengetahuan local itu tidak pernah dihadirkan, maka sumber pengetahuan local nusantara semakin tidak terdengar gaungnya.
Hal itu disampaikan Prof. Dr. Bambang Purwanto dalam Pengantar Seminar Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora bertema “Tradisi Lisan, Sastra Lisan dan Sejarah Lisan dalam Perspektif Kajian Kritis” di Ruang Margono, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu 4 Juli 2014.
Prof. Bambang menambahkan bahwa kebiasaan sebagian peneliti Indonesia tidak memanfaatkan dan menghadirkan konsep-konsep local dalam kajiannya sehingga konsep-konsep local yang demikian baik itu tidak mampu berdialog dengan konsep-konsep yang lebih dulu dihadirkan oleh peneliti lainnya.
Dalam konteks ini, peneliti yang ada pada level paling tinggi seharusnya menghadirkan konsep-konsep lokal Nusantara yang kaya itu ke dalam penelitian mereka sehingga dialog dengan konsep yang sudah ada bisa berdialog dengan baik dalam ranah ilmu pengetahuan dengan memanfaatkan Sastra Lisan, Tradisi Lisan dan Sejarah Lisan.
Diakhir pengantarnya, Prof. Bambang mengajak para peneliti (mahasiswa S3 yang sedang menyusung Disertasi) agar memanfaatkan potensi pengetahuan dan peradaban local yang kaya itu dalam penelitian mereka. “Belum tentu yang tertulis dalam teks itu lebih hebat daripada yang lisan. Pengabaian tradisi lisan sebagai sumber sejarah (sebagai sumber pengetahuan) selama ini telah mengabaikan banyak peradaban yang ada di Nusantara”, ulasnya.

Contributor:
La Ode Rabani, FIB-UGM

Call For Papers “Museum of our Own: In search of a local museology for Asia”

HEADLINENews Release Senin, 2 Juni 2014

Background

Over the last three decades there has been a rise in museum criticism. What were common practices in museology are now being challenged; especially the ways museums curate their collections, or work with their different stakeholders. Under the pressure of such critique, museum practices have changed significantly worldwide. Museums in the so-called West, for example, have been attempting to ‘decolonize’ their practices, if only partial and incomplete, confronting their colonial roots, while trying to develop new methodologies deemed more suitable for collections and display in the post colonial present. Similarly methodological shifts have been happening in areas of museum conservation and education.

Co-terminus with this rethinking of museums in the West has been similar developments in museology in so-called non-traditional museum spaces, including, and perhaps, especially in Asia, with significant rise in the number of museums as well as an increase in museum training programmes. Despite these sea changes, and the long history of established museum tradition in many non-western societies – in many instances since the 19th century – these local museums remain marginal institutions. In fact, the word ‘museum’ still remains uncommon within the cultural vocabulary of many such societies. Recently academics have tried to identify non-western museological models, where, for example, preservation practices that parallel those in conventional museums can be found. Still these models have not developed sufficiently. Nor are they sufficiently valorized and embedded within museum practice to have the desired effect of improving the status of museums in and the value of museums to these societies.

In response to the need to strengthen museum practice in several of these countries, numerous museum professionals travel to Europe and North America to study museology. This is complemented by a growing number of locally based museology training programmes in Asia. In Indonesia, for example, formal training programs in the field of museology were recently developed in a number of Universities. The archaeology departments of the Universitas Gadjah Mada and Universitas Indonesia have museology training programs at both the Bachelors and the Masters levels. These programmes were developed with the assistance of institutions in the West. But have these local based programs worked? Or, do those who return with ‘western’ museology training really impact the local situation enough?

Five years into the museology education programs Universitas Gadjah Mada, it is now timely to reflect on the state of museums and museum education in Indonesia and Asia in general. More than a critical assessment of the programs themselves, we want to ask questions about how to rethink museological practices that have been already defined in the West for our own museums. We now have museology training programs but do they sufficiently serve our needs? Is the limited valorization of local museums based solely in the fact that they are ‘innately’ western institutions or are there other, more practical reasons for their shortcomings? How do we further develop a training program that responds to local needs? What histories of museums should be mobilized to inform a local museum practice? What, we want to ask, is a museum of our own? The conference will be divided in a number of interrelated sessions addressing different topics in in museology, both at concept and practical levels.

http://arkeologi.fib.ugm.ac.id/main/2014/05/call-for-papers/

Membaca Perubahan Sejarah Kota Jambi, Batik Pekalongan, dan Surat Ijo di Surabaya

HEADLINENews Release Kamis, 22 Mei 2014

Perubahan adalah sebuah konsep yang tidak pernah ketinggalan dalam mengkaji ilmu-ilmu sosial. Sejarah sosial kota Jambi, Industri batik Pekalongan, dan dinamika sejarah Surat Ijo di Surabaya adalah sebuah peristiwa sejarah yang unik karena kesinambungan peristiwa itu yang masih terasa hingga masa kini. Demikian salah satu point penting dalam Kegiatan Seminar Bulanan, Mahasiswa S-3 Program Pascasarjana FIB UGM ini Rabu, 21 Mei 2014. Hadir sebagai pembicara adalah Chusnul Hayati (UNDIP-Semarang), Sukaryanto (Unair-Surabaya), dan Zulqoiyyim (UNAND-Padang).

Menurut Zulqoiyyim, yang unik dari perkembangan kota Jambi adalah terjadinya pertarungan kota baru colonial dengan kota lama yang ada pada kedua sisi sungai Batanghari di utara dan selatan. Masyarakatnya pun ikut larut dalam proses persaingan itu, yakni menjadi masyarakat terbuka pada satu era dan pada era berikutnya menjadi masyarakat tertutup. Persaingan kedua kota yang dibatasi sungai itu juga terlihat dari infrastrukur, simbol-simbol kota modern, dan sejumlah kebijakan untuk kemajuan kota secara social ekonomi yang diterapkan di Kota kolonial Jambi. Pada akhirnya, trend perubahan kota baru Jambi yang ditata colonial ikut mempegaruhi image masyarakat kota Jambi yang terus dibangun hingga tahun 2000, papar Zulqoiyyim, Dosen Universitas Andalas Padang ini.

Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa pola umum kota-kota di Indonesia dalam sejarah, paling tidak bisa dibaca dalam dua hal, yakni kota awal (lama) yang dibangun berdasarkan konsep local penguasa kerajaan di kota itu dan konsep modern menurut ukuran orang orang Eropa yang didirikan di Indonesia. Kota-kota Kolonial ini dibangun berdasarkan pertimbangan lokasi yang memadai dan memenuhi sejumlah persyaratan tertentu seperti keamanan dari factor alam (bebas banjir) dan terhubung baik dengan jaringan transportasi.

Sementara itu, Chusnul Hayati yang membahas tentang Industri Bantik Pekalongan menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan mendasar tantangan Industri batik pekalongan dalam perkembangannya, khususnya pada era Orde Baru. Kebijakan otoritas Orde Baru terhadap industry batik memberi dampak berbeda di Pekalongan, Jogja, dan Surakarta. Kemunduran industry batik di kota Pekalongan lebih disebabkan oleh factor ekternal yakni masuknya batik tekstil dari luar pekalongan yang harganya lebih murah seperti Bandung dan Jakarta. Terbukanya kran impor di tekstil di era Orde Baru yang berasal dari Singapore, Malaysia, dan Hongkong ikut mendorong laju kemerosotan industry batik Pekalongan. Di Jogja dan Surakarta lebih karena masuknya batik printing. Oleh karena itu, lanjut Chusnul, hal-hal seperti ini perlu diteliti agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar pas untuk mengontrol dan bagaimana menjaga industry batik ini bisa bertahan hingga masa mendatang.

Masalah yang dihadapi oleh industry batik hampir sama peliknya dengan keberadaan kehadiran surat Ijo yang diperuntukan bagi warga kota yang menyewa lahan dengan status HPL (hak Pengelolaan Tanah) di Kota Surabaya. Menurut Sukaryanto, permasalahan Surat Ijo sudah lama berlangsung dan telah menjadi masalah unik yang hingga kini belum bisa diselesaikan. Di satu sisi warga kota Surabaya ingin mengubah HPL menjadi Hak Guna pakai atau hak milik, tetapi di sisi yang lain, Pemkot Surabaya tidak merestui perubahan itu. Bahkan menurut Undang-undang Agrariapun tidak mengenal istilah HPL atau Surat Ijo. Pada titik ini seakan memberi kesan bahwa konflik pertanahan di kota Surabaya semakin pelik dan dalam beberapa hal “ada negara di dalam negara”. Kondisi inilah yang ikut mewarnai dinamika perubahan yang terjadi pada masyarakat kota Surabaya selama ini.

Asal muasal surat ijo ini ada sejak masa Belanda. Pada saat itu, Belanda mendirikan rumah-rumah untuk para karyawan. Tanah-tanah itu tersebar di berbagai kelurahan di Surabaya dan kini berada di tengah kota. Tanah-tanah itu memiliki peta yang jelas dan sering berganti penyewa. Apabila ditemukan penyewa tanah itu tidak jelas, maka Pemkot Surabaya segera mengalihkan status tanah menjadi HPL, konflik antara penghuni tanah dengan pemkot pun berlanjut, papar, dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga ini.

Sebagai sebuah riset dengan level tinggi, eksplanasi sejarah katiga topic seminar harus diperkaya dengan pendekatan budaya. Bisa saja kemunduran Industri batik pekalongan tidak hanya dipengaruhi oleh factor kebijakan, tetapi karena adanya perubahan budaya dalam masyarakat yang tidak mengembangkan batik lagi. Demikian halnya yang terjadi dalam masyarakat Surabaya. Keengganan menyelesaikan masalah surat ijo bisa jadi ada pengaruh budaya juga, kata Dr. Nuraini Setiyawati dari Jurusan Sejarah UGM yang hadir pada seminar tersebut. (Ode-s3-UGM)

Disarikan dari Hasil Seminar Mahasiswa S3 Program Studi Sejarah, Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Contributor:
La Ode Rabani

1…9192939495

Rilis Berita

  • Kunjungan Fakultas Ushuludin Adab dan Humaniora UIN Salatiga ke FIB UGM
  • Pengukuhan Prof. Dr. Hendrokumoro, M.Hum. sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Linguistik Fakultas Ilmu Budaya UGM
  • Makna Tanggung Jawab Ditekankan dalam Ikmasa Mentoring #1
  • Sharing Study Humas dan Kerja Sama FIB UGM ke Media FISIPOL UGM
  • SANJUNG: Kolaborasi Kerja Sama antara HMPS BSA UAD dengan IKMASA UGM

Arsip Berita

Video UGM

[shtmlslider name='shslider_options']
Universitas Gadjah Mada

Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Jl. Nusantara 1, Bulaksumur Yogyakarta 55281, Indonesia
   fib@ugm.ac.id
   +62 (274) 513096
   +62 (274) 550451

Unit Kerja

  • Pusat Bahasa
  • INCULS
  • Unit Jaminan Mutu
  • Unit Penelitian & Publikasi
  • Unit Humas & Kerjasama
  • Unit Pengabdian kepada Masyarakat & Alumni
  • Biro Jurnal & Penerbitan
  • Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
  • Pusaka Jawa

Fasilitas

  • Perpustakaan
  • Laboratorium Bahasa
  • Laboratorium Komputer
  • Laboratorium Fonetik
  • Student Internet Centre
  • Self Access Unit
  • Gamelan
  • Guest House

Informasi Publik

  • Daftar Informasi Publik
  • Prosedur Permohonan Informasi Publik
  • Daftar Informasi Tersedia Setiap Saat
  • Daftar Informasi Wajib Berkala

Kontak

  • Akademik
  • Dekanat
  • Humas
  • Jurusan / Program Studi

© 2024 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY