Yogyakarta, 25 Maret 2025 – Teori-teori Globalisasi merupakan mata kuliah wajib di Departemen Antarbudaya yang membahas dampak globalisasi dari berbagai perspektif. Globalisasi dipahami sebagai fenomena yang memiliki pengaruh beragam—tidak selalu positif—terhadap budaya, ekologi, dan cara hidup masyarakat lokal. Dengan pendekatan interdisipliner, mahasiswa diajak untuk memahami bagaimana globalisasi memengaruhi struktur sosial dan identitas budaya di berbagai belahan dunia. Di akhir perkuliahan, mahasiswa diharapkan memiliki persepsi yang lebih proporsional terhadap globalisasi dan mampu menganalisis dampaknya terhadap budaya lokal. Perkuliahan diselenggarakan melalui kombinasi ceramah, diskusi, dan presentasi, dengan evaluasi berbasis penugasan terstruktur serta penulisan esai.
Pada pertemuan keenam, mata kuliah ini diampu oleh Ibu Dr. Sri Pangastoeti, M. Hum.yang membahas berbagai perspektif keilmuan mengenai globalisasi, termasuk kajian dari sastra Jepang. Salah satu topik yang menjadi perhatian adalah fenomena karayuki-san, peran geisha, kebijakan isolasi Jepang, serta dinamika hubungan Jepang-Amerika yang mempengaruhi identitas dan budaya kedua negara hingga saat ini.
Salah satu dampak globalisasi yang sering luput dari perhatian adalah bagaimana sistem ekonomi dunia membentuk dinamika migrasi dan peran perempuan dalam sejarah. Mobilitas tenaga kerja, baik secara sukarela maupun karena keterpaksaan, sering kali dipengaruhi oleh kondisi sosial dan ekonomi yang lebih luas. Jepang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjadi salah satu negara yang mengalami fenomena ini, terutama dalam kasus perempuan yang dikenal sebagai karayuki-san.
Fenomena karayuki-san merujuk pada perempuan Jepang dari daerah miskin, terutama dari Nagasaki, yang pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 merantau ke berbagai negara di Asia Tenggara, Asia Timur, Siberia, hingga Australia. Mereka bekerja sebagai tenaga kerja perempuan, termasuk dalam industri hiburan dan prostitusi. Kondisi ekonomi yang sulit serta tekanan sosial membuat banyak perempuan muda dikirim keluar negeri sebagai cara untuk bertahan hidup. Keberadaan karayuki-san mencerminkan kompleksitas migrasi dalam konteks globalisasi awal, di mana faktor ekonomi dan sosial mendorong mobilitas tenaga kerja yang melintasi batas negara.
Diskusi ini juga sempat menyinggung perbedaan antara geisha dan oiran. Geisha merupakan seniman profesional yang terlatih dalam seni tradisional seperti musik, tari, dan percakapan. Berbeda dengan anggapan umum di luar Jepang, geisha bukanlah pekerja seks, melainkan penghibur yang mempertahankan nilai-nilai budaya dan seni Jepang. Sayangnya, geisha sering kali mendapat mispersepsi, salah satunya disebabkan oleh representasi yang keliru dalam media populer Amerika. Film dan literatur Barat sering kali menggambarkan geisha sebagai pekerja seks atau oiran, yang merupakan wanita penghibur kelas atas yang tidak hanya menguasai seni pertunjukan tetapi juga menawarkan layanan seksual. Stereotip ini berkembang melalui framing dalam budaya pop, yang menyederhanakan dan mengaburkan perbedaan antara peran-peran perempuan di Jepang pada masa lalu.
Salah satu bagian penting dalam sejarah Jepang adalah kebijakan isolasi atau sakoku, yang diterapkan selama periode Edo di bawah kepemimpinan Keshogunan Tokugawa (1603–1868). Jepang menutup diri dari dunia luar selama lebih dari dua abad, membatasi interaksi dengan negara lain demi menjaga stabilitas politik dan sosial dari pengaruh eksternal. Kebijakan ini baru berakhir ketika Amerika Serikat mendesak Jepang untuk membuka pelabuhan mereka bagi perdagangan internasional. Peristiwa ini menandai babak baru dalam sejarah Jepang, memicu modernisasi yang membawa negara tersebut ke dalam arus globalisasi.
Hubungan Jepang dan Amerika Serikat terus berkembang, tetapi tidak selalu harmonis. Pada awal abad ke-20, Amerika memberlakukan kebijakan imigrasi yang diskriminatif terhadap orang Asia, termasuk Jepang. Salah satu yang paling signifikan adalah Undang-Undang Imigrasi 1924 yang secara tegas melarang masuknya imigran Jepang ke Amerika Serikat. Kebijakan ini didorong oleh sentimen anti-Asia, kekhawatiran terhadap persaingan tenaga kerja, serta tekanan politik dari kelompok pekerja kulit putih. Diskriminasi terhadap imigran Jepang menjadi cerminan dari ketegangan global yang mewarnai interaksi antarnegara pada masa itu.
Meskipun hubungan Jepang dan Amerika sempat diwarnai oleh ketegangan, terutama dalam Perang Dunia II, dinamika hubungan kedua negara terus berkembang. Setelah perang, Jepang mengalami rekonstruksi yang didukung oleh Amerika, hingga akhirnya menjadi salah satu sekutu terdekat AS di kawasan Asia-Pasifik. Selain kerja sama ekonomi dan politik, budaya kedua negara juga saling memengaruhi. Seni tradisional Jepang mendapatkan apresiasi luas di Amerika, sementara budaya pop Amerika, seperti film dan musik, memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat Jepang.
Mata kuliah ini diampu oleh tim pengajar dari berbagai program studi, yang menghadirkan perspektif multidisipliner dalam memahami globalisasi. Ibu Sri Pangastoeti memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana globalisasi mempengaruhi budaya Jepang. Pembahasan dalam kuliah ini menunjukkan bahwa globalisasi bukan hanya tentang pertukaran ekonomi dan teknologi, tetapi juga berkaitan dengan sejarah, identitas, dan dinamika budaya yang kompleks. Interaksi antara Jepang dan Amerika menjadi contoh nyata bagaimana globalisasi membentuk hubungan antarbangsa dan menciptakan lanskap budaya yang terus berkembang.
[Humas Magister Pengkajian Amerika, Nariza Ayu Pasha]