• About UGM
  • Academic Portal
  • IT Center
  • Library
  • Research
  • Webmail
  • Informasi Publik
  • Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Manajemen
    • Tenaga Kependidikan
    • Tenaga Pendidik
  • Akademik
    • Kalender Akademik
    • Program Sarjana
      • Antropologi Budaya
      • Arkeologi
      • Sejarah
      • Pariwisata
      • Bahasa dan Kebudayaan Korea
      • Bahasa dan Sastra Indonesia
      • Sastra Inggris
      • Sastra Arab
      • Bahasa dan Kebudayaan Jepang
      • Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa
      • Bahasa dan Sastra Prancis
    • Program Master/S2
      • Magister Antropologi
      • Magister Arkeologi
      • Magister Sejarah
      • Magister Sastra
      • Magister Linguistik
      • Magister Pengkajian Amerika
      • Magister Kajian Budaya Timur Tengah
    • Program Doktor/S3
      • Antropologi
      • Ilmu-ilmu Humaniora
      • Pengkajian Amerika
    • Beasiswa
  • KPPM
    • Info Penelitian
    • Publikasi Ilmiah
    • Pengabdian Masyarakat
    • Kerjasama Luar Negeri
    • Kerjasama Dalam Negeri
  • Organisasi Mahasiswa
    • Lembaga Eksekutif Mahasiswa
    • Badan Semi Otonom
      • KAPALASASTRA
      • Persekutuan Mahasiswa Kristen
      • LINCAK
      • Saskine
      • Keluarga Mahasiswa Katolik
      • Dian Budaya
      • Sastra Kanuragan (Sasgan)
      • Keluarga Muslim Ilmu Budaya (KMIB)
      • Bejo Mulyo
    • Lembaga Otonom
      • Himpunan Mahasiswa Arkeologi
      • Ikatan Mahasiswa Jurusan Inggris
      • Himpunan Mahasiswa Pariwisata
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia
      • Ikatan Mahasiswa Sastra Asia Barat
      • Himpunan Mahasiswa Bahasa Korea
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara
      • Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah
      • Himpunan Mahasiswa Studi Prancis
      • Keluarga Mahasiswa Antropologi
      • Himpunan Mahasiswa Jepang
  • Pendaftaran
  • Beranda
  • SDGs 11: Kota dan Pemukiman Yang Berkelanjutan
  • hal. 2
Arsip:

SDGs 11: Kota dan Pemukiman Yang Berkelanjutan

Hanuman dan Sun Gokong: Dua Pahlawan Kera dalam Lintas Budaya India–Tionghoa

SDGs 11: Kota dan Pemukiman Yang BerkelanjutanSDGs 17: Kemitraan Untuk Mencapai TujuanSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Kamis, 10 Juli 2025

Yogyakarta, 8 Juli 2025 – Pertunjukan Ramayana di Candi Prambanan adalah salah satu pertunjukan budaya paling megah di Indonesia. Dipentaskan di panggung terbuka dengan latar belakang Candi Prambanan yang megah, pertunjukan ini menggabungkan tari tradisional Jawa, musik gamelan, dan drama tanpa dialog untuk menceritakan kisah epik Ramayana. Cerita ini mengikuti petualangan Pangeran Rama dalam menyelamatkan istrinya, Shinta, dari cengkeraman Rahwana, dengan bantuan Hanuman sang Dewa Kera. Pertunjukan ini biasanya diadakan pada malam hari, menciptakan suasana magis yang memadukan seni, sejarah, dan spiritualitas di bawah cahaya bulan.

Setiap bagian dari pertunjukan Ramayana benar-benar memikat saya, seperti musik, tarian, adegan perkelahian, hingga efek-efek khusus, semuanya terasa sangat sempurna. Meskipun hampir tidak ada dialog dalam pertunjukan ini, ekspresi tubuh dan tarian para penari mampu menyampaikan cerita dengan sangat jelas. Bagian yang paling berkesan bagi saya adalah saat Hanuman, dewa kera, mencari Putri Shinta, namun akhirnya tertangkap oleh Rahwana, sang raja iblis. Adegan ini mengingatkan saya pada budaya Tionghoa yang juga memiliki tokoh kera legendaris, yaitu Sun Gokong, Raja Kera dari kisah “Perjalanan ke Barat”. 

Hanuman dan Sun Gokong berasal dari budaya yang berbeda, namun keduanya merupakan sosok “pahlawan kera” yang sangat ikonik dalam peradaban masing-masing. Hanuman adalah tokoh penting dalam wiracarita India, Ramayana. Ia dikenal sebagai putra Dewa Angin dan reinkarnasi Dewa Siwa, melambangkan kesetiaan, pengabdian, dan kekuatan spiritual yang luar biasa. Hanuman dengan setia membantu Pangeran Rama dalam menyelamatkan Shinta yang diculik oleh raja iblis Rahwana. Dalam cerita, Hanuman menunjukkan berbagai kekuatan supranatural seperti terbang melintasi lautan, mengubah ukuran tubuh, dan tubuhnya yang kebal. Hingga kini, Hanuman masih sangat dihormati di India, Indonesia, dan wilayah Asia Tenggara lainnya.

Sementara itu, Sun Gokong adalah salah satu tokoh utama dalam novel klasik Tiongkok “Perjalanan ke Barat” (Journey to the West). Ia lahir dari batu, memiliki kecerdasan luar biasa, dan pernah membuat kekacauan di istana langit sebelum akhirnya dikalahkan oleh Buddha dan dipenjara di bawah Gunung Lima Elemen selama lima ratus tahun. Ia kemudian dibebaskan oleh Biksu Tang dan menjadi pengawalnya dalam perjalanan ke Barat untuk mencari kitab suci. Sun Wukong memiliki kemampuan seperti 72 perubahan bentuk, Jindouyun (Awan ajaib yang dipakai Sun Gokong untuk terbang sangat cepat), dan Huo Yan Jin Sing (Mata Sun Wukong yang bisa melihat melalui ilusi dan penyamaran). Ia cerdik, pemberani, dan setia, mencerminkan perpaduan nilai-nilai Buddhisme, Taoisme, dan kepercayaan rakyat Tiongkok. Selain menjadi pelindung gurunya, Sun Gokong juga melambangkan proses pencarian spiritual dan pertumbuhan pribadi, dan telah menjadi tokoh yang sangat dicintai dalam budaya Tionghoa dan komunitas Tionghoa di seluruh dunia.

Banyak ahli percaya bahwa sosok Sun Gokong mungkin mendapat pengaruh tidak langsung dari Hanuman. Hal ini terutama karena saat agama Buddha masuk ke Tiongkok dari India, banyak elemen mitologi India ikut terbawa; selain itu, kisah perjalanan biksu Xuanzang ke Barat pada masa Dinasti Tang menjadi prototipe cerita “Perjalanan ke Barat” . Selain itu, Hanuman juga muncul dalam beberapa versi Buddha dari Ramayana yang mungkin disebarkan ke Tiongkok melalui Asia Tengah. Namun, karakter dan kisah Sun Gokong lebih banyak dengan humor khas Tiongkok dan unsur Taoisme, sehingga dia bukan sekadar salinan Hanuman, melainkan tokoh unik yang diciptakan kembali melalui budaya Tiongkok. Meskipun keduanya bukan tokoh yang sama, mereka dapat dilihat sebagai representasi “pahlawan kera” dari budaya berbeda, yang mungkin saling memberi inspirasi sekaligus mencerminkan nilai dan imajinasi dari peradaban masing-masing.


[National Chengchi University, Pan Ke En]

FIB UGM Turut Berduka : Doa Bersama di Balairung Untuk Mendiang Eka dan Bagus Mahasiswa KKN PPM UGM Periode II yang Tenggelam di Perairan Debut, Maluku Tenggara.

Rilis BeritaSDGSSDGs 11: Kota dan Pemukiman Yang Berkelanjutan Selasa, 8 Juli 2025

Yogyakarta, 3 Juli 2025 — Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) dipenuhi oleh banyak sivitas akademika UGM dan masyarakat yang mengenakan pakaian serba hitam sebagai simbol duka mendalam atas wafatnya dua mahasiswa UGM, Septian Eka Rahmadi dari Fakultas Teknik angkatan 2022 dan Bagus Adi Prayogo dari Fakultas Kehutanan angkatan 2022. Kedua mahasiswa tersebut meninggal dunia akibat tenggelam saat menjalankan tugas Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) Periode II UGM di perairan Debut, Maluku Tenggara.

Dalam suasana yang penuh haru dan khidmat, acara doa bersama diselenggarakan di Balairung UGM. Para dosen, mahasiswa, tenaga pendidik, serta masyarakat hadir dan turut menyampaikan rasa belasungkawa dan penghormatan terakhir kepada almarhum Eka dan Bagus. Rangkaian acara berlangsung dengan penuh haru. Doa-doa dipanjatkan dengan khusyuk sebagai bentuk penghormatan dan pengharapan agar almarhum mendapatkan tempat terbaik di sisi Tuhan Yang Maha Esa.

Usai doa bersama, sivitas akademika UGM dan masyarakat secara bergantian meletakkan bunga di bawah tiang bendera di halaman Balairung UGM. Momen tersebut menjadi simbol perpisahan yang menyentuh hati, mengiringi kepergian dua anak bangsa yang telah mengabdikan dirinya untuk masyarakat melalui kegiatan KKN.

Keluarga besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM turut menyampaikan duka yang mendalam atas kepergian Eka dan Bagus. Semangat pengabdian mereka akan selalu dikenang, dan dedikasi mereka menjadi inspirasi bagi seluruh sivitas akademika dan masyarakat.

[Humas FIB UGM, Alma Syahwalani]

Nasi Goreng Beda Negara : Taiwan Kalem, Indonesia Meriah!

Rilis BeritaSDGSSDGs 11: Kota dan Pemukiman Yang BerkelanjutanSDGs 12: Konsumsi dan Produksi Yang Bertanggung JawabSDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi Jumat, 4 Juli 2025

Yogyakarta, 4 Juli 2025 — Kalau kita berbicara soal nasi goreng Taiwan, asal-usulnya sebenarnya cukup sederhana dan lekat dengan tradisi keluarga di Tiongkok bagian selatan, khususnya dari Fujian dan Guangdong. Bayangkan, banyak keluarga di sana yang biasa memanfaatkan nasi sisa semalam daripada dibuang, nasi itu digoreng cepat dengan telur, daun bawang, dan sedikit daging seperti udang atau char siu. Yang paling penting, mereka ingin nasi itu tetap terasa kering dan butiran-nya terpisah, bukan lengket seperti nasi yang baru matang. Rasanya sederhana, tapi penuh kehangatan rumah.

Salah satu contoh sukses nasi goreng Taiwan yang menembus pasar internasional adalah seri nasi goreng dari restoran terkenal Din Tai Fung. Nasi goreng udang Din Tai Fung terkenal dengan teksturnya yang kering, nasi yang tidak lengket dan tidak berminyak, serta teknik penggorengan yang sangat presisi. Selain nasi goreng udang, nasi goreng dengan iga babi goreng  juga menjadi menu klasik favorit. Potongan iga babi digoreng hingga renyah di luar namun tetap lembut di dalam, lalu disajikan bersama nasi goreng gurih, menciptakan perpaduan rasa dan tekstur yang seimbang. Hidangan ini memperlihatkan bagaimana Taiwan mampu mengangkat masakan sederhana seperti nasi goreng menjadi kuliner berkualitas tinggi.

Nasi Goreng Indonesia

Dibandingkan dengan nasi goreng Indonesia, nasi goreng Taiwan cenderung memiliki cita rasa yang gurih, ringan, dan sederhana. Umumnya dimasak dengan bahan-bahan dasar seperti daun bawang, bawang putih, telur, dan kecap asin, lalu digoreng cepat dengan api besar. Gaya memasaknya menekankan pada keterampilan teknik, khususnya dalam menciptakan “wok hei” (aroma khas dari wajan panas) dan tekstur nasi yang kering serta butiran yang terpisah. Komposisi bahan biasanya lebih minimalis, dengan fokus pada rasa asli dari bahan utama.

Sebaliknya, nasi goreng Indonesia menampilkan rasa yang lebih kuat, kompleks, dan berlapis-lapis. Selain penggunaan kecap manis dan terasi sebagai bumbu utama, nasi goreng Indonesia juga sering diperkaya dengan berbagai sumber protein dan pelengkap seperti ayam, daging sapi, udang, bahkan tempe goreng dan sosis. Orang Indonesia juga biasa menyajikan nasi goreng bersama tempe, telur ceplok, irisan mentimun, tomat, serta kerupuk, menciptakan hidangan yang mengenyangkan sekaligus menarik secara visual.

Perbedaan ini mencerminkan perbedaan budaya kuliner: di Taiwan, terdapat penekanan pada rasa murni dan keterampilan memasak yang halus, sedangkan di Indonesia, lebih menonjolkan keharuman bumbu dan kekayaan rasa yang kompleks. Nasi goreng Taiwan bisa dikatakan sebagai masakan rumahan yang sederhana dan tenang, sementara nasi goreng Indonesia lebih seperti sajian penuh warna yang mencerminkan identitas budaya. Meskipun keduanya sama-sama disebut “nasi goreng”, dalam konteks budaya yang berbeda, mereka menunjukkan estetika dan filosofi kuliner yang sangat kontras.

[National Chengchi University, Pan Ke En]

Warisan Budaya dan Komunitas Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengalaman Gastronomi Generasi Z

Rilis BeritaSDGSSDGs 11: Kota dan Pemukiman Yang BerkelanjutanSDGs 12: Konsumsi dan Produksi Yang Bertanggung JawabSDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi Jumat, 4 Juli 2025

Yogyakarta, 2 Juli 2025 – Dalam Seminar Kajian Melayu-Jawa Semeja IV hari ini, salah satu judul yang dipresentasikan adalah “Warisan Budaya dan Komunitas Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengalaman Gastronomi Generasi Z” , yang disampaikan oleh Nur Madiha Arisha Binti Mohd Subri dari Internasional Islamic Universitas Malaysia (IIUM) .

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi teori pangan dengan menggunakan Penang sebagai studi kasus, guna mengidentifikasi faktor-faktor utama yang memengaruhi pengalaman wisata kuliner Generasi Z.

Menurut Madiha, Penang sering disebut sebagai ibu kota makanan Malaysia. Berbagai hidangan dari beragam negara dan budaya di sana menarik perhatian Generasi Z. Di era digital, konten visual yang menarik di platform seperti Instagram dan TikTok semakin memperkuat daya tarik Penang, mengubah makanan pasar tradisional menjadi objek wisata yang populer melalui penceritaan yang dinamis.

Kerangka teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Foodscape (Bentang Pangan), yaitu pandangan bahwa makanan tidak hanya untuk penghidupan, tetapi juga mencerminkan identitas budaya, nilai sosial, dan simbolisme estetis. Faktor-faktor ini memengaruhi motivasi masyarakat, khususnya Gen Z, untuk mencoba makanan pasar di Penang.

Untuk memperoleh data, Madiha menyebarkan kuesioner daring kepada warga Melayu dan orang asing berusia 18 hingga 28 tahun di Malaysia. Hasil survei dianalisis menggunakan metode Cronbach’s Alpha, yang menunjukkan bahwa semua faktor yang diteliti pengalaman budaya, daya tarik visual makanan di media sosial, harga yang dirasakan, dan niat untuk berwisata kuliner memiliki tingkat reliabilitas yang sedang.

Temuan Penelitian :

  1. Pengalaman budaya memiliki nilai korelasi tertinggi, menunjukkan bahwa unsur budaya merupakan faktor paling berpengaruh dalam mendorong Generasi Z untuk mencoba makanan pasar di Penang.

  2. Daya tarik makanan di media sosial menempati posisi kedua, menunjukkan pentingnya stimulasi visual digital dalam membangkitkan minat.

  3. Harga yang dirasakan, meskipun pengaruhnya lebih rendah, tetap menjadi pertimbangan penting setelah aspek budaya dan sensorik.

  4. Niat untuk berkunjung menunjukkan konsistensi sedang, yang mengindikasikan bahwa ketiga faktor utama di atas secara bersama-sama memengaruhi minat Generasi Z dalam wisata gastronomi.

Secara keseluruhan, pengalaman budaya dan daya tarik sensorik makanan berperan signifikan dalam membentuk niat Generasi Z untuk melakukan wisata kuliner di Penang. Konten visual di media sosial seperti TikTok dan Instagram mampu membangkitkan antisipasi emosional dan ketertarikan terhadap destinasi. Hasil penelitian ini mendukung teori Foodscape, yang memandang makanan sebagai medium budaya yang simbolis dan estetis.

Menariknya, harga tidak menjadi faktor dominan yang menunjukkan bahwa Generasi Z lebih mengutamakan pengalaman yang otentik daripada sekadar keterjangkauan. Konten digital tidak hanya berfungsi sebagai alat promosi, tetapi juga menjadi bagian dari pengalaman pra-konsumsi yang membentuk ekspektasi dan keterikatan emosional dengan destinasi kuliner.

[National Chengchi University, Pan Ke En] 

Dosen Arkeologi UGM, Dr. Fahmi Prihantoro, Jadi Pemateri Seminar Antarbangsa Kajian Melayu-Jawa IV dengan Studi Kasus Pasar Pasan Kotagede Yogyakarta

Rilis BeritaSDGs 11: Kota dan Pemukiman Yang BerkelanjutanSDGs 17: Kemitraan Untuk Mencapai TujuanSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Kamis, 3 Juli 2025

Yogyakarta, 1 Juli 2025 — Seminar Antarbangsa Kajian Melayu-Jawa (SEMEJA) IV resmi digelar di UC Hotel Universitas Gadjah Mada (UGM), menghadirkan para akademisi dari berbagai institusi dalam dan luar negeri. Salah satu pembicara yang berkontribusi dalam diskusi panel adalah Dr. Fahmi Prihantoro, S.S., M.A., dosen dari Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya UGM.

Dalam diskusi bertajuk “How Did Islamic Religious Organization Empower Society Through Cultural Heritage”, Dr. Fahmi mengangkat studi kasus Pasar Pasan di Kotagede, Yogyakarta. Ia memaparkan bagaimana pelestarian warisan budaya dapat menjadi alat yang dinamis dalam pemberdayaan masyarakat, khususnya melalui keterlibatan organisasi Islam seperti Muhammadiyah.

Kotagede, menurut Dr. Fahmi, merupakan sebuah living heritage site, yakni situs warisan budaya yang masih aktif digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Tidak hanya menyimpan jejak sejarah, kawasan ini juga menjadi ruang di mana nilai-nilai budaya, agama, dan ekonomi berkembang secara harmonis.

Salah satu poin penting dalam presentasinya adalah pergeseran paradigma pelestarian warisan budaya yang sebelumnya didominasi oleh pemerintah, kini mulai diambil alih oleh masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah. Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, disebut telah aktif dalam pengembangan komunitas berbasis warisan budaya di Kotagede.

Melalui studi kasus Pasar Pasan, Dr. Fahmi menyoroti bagaimana kegiatan pasar tradisional ini menjadi wadah bagi warga untuk memperkuat identitas budaya sekaligus meningkatkan ekonomi lokal. Pasar Pasan dipandang sebagai inisiatif komunitas yang menggabungkan nilai-nilai budaya dengan kegiatan ekonomi yang inklusif.

Diskusi juga menyinggung pentingnya keterlibatan komunitas dan ingatan kolektif dalam menjaga kesinambungan warisan budaya. Masyarakat Kotagede dianggap memiliki kesadaran sejarah yang kuat, yang turut menopang eksistensi ruang-ruang warisan seperti kawasan di antara dua gerbang simbolik Kotagede..

Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang interaktif. Para peserta seminar mengajukan pertanyaan. Dr. Fahmi menanggapi dengan antusias dan menekankan pentingnya kolaborasi antara masyarakat, akademisi, dan organisasi keagamaan dalam menjaga keberlanjutan warisan budaya.

Kegiatan ini menjadi bagian penting dalam mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Melalui pelestarian warisan budaya berbasis komunitas, kegiatan ini berkontribusi pada terciptanya kota dan permukiman yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam SDG 11. Di sisi lain, nilai-nilai pendidikan turut ditekankan melalui proses diseminasi pengetahuan lintas budaya, sekaligus memperkuat kesadaran akan pentingnya identitas kultural dalam kehidupan bermasyarakat—sejalan dengan SDG 4 yang menekankan pendidikan berkualitas. Tak kalah penting, kegiatan ini juga merepresentasikan semangat kerja sama yang erat antara akademisi, organisasi masyarakat, dan komunitas lokal, memperkuat kemitraan strategis dalam pembangunan sosial yang berakar pada kearifan lokal, sesuai dengan semangat SDG 17.

Melalui diskusi ini, peserta mendapatkan wawasan baru mengenai pelestarian budaya berbasis komunitas dan peran penting organisasi keagamaan dalam pembangunan sosial yang inklusif dan berkelanjutan.

[Humas FIB UGM, Alma Syahwalani] 

1234…36

Rilis Berita

  • Dekolonisasi Arsip Fotografi: Membangkitkan Kembali Gambar-Gambar Kolonial untuk Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat
  • Siapa Sangka Seorang Mahasiswa Sastra Arab Diterima Magang di Perusahaan BUMN? Inilah Kontribusi Faris Zakiy untuk Masyarakat
  • Mahasiswa NCCU Ikuti Kamis Pon Berbudaya di FIB UGM
  • “Berdongeng Bisa Menyentuh Lebih Dalam dari Logika”: Kisah Pandhita, Mahasiswa Sastra Arab yang Menjadikan Storytelling Sebagai Jalan Hidup
  • Promosi Doktor Arina Isti’anah: Membongkar Wacana Ekologis dalam Promosi Pariwisata Indonesia

Arsip Berita

Video UGM

[shtmlslider name='shslider_options']
Universitas Gadjah Mada

Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Jl. Nusantara 1, Bulaksumur Yogyakarta 55281, Indonesia
   fib@ugm.ac.id
   +62 (274) 513096
   +62 (274) 550451

Unit Kerja

  • Pusat Bahasa
  • INCULS
  • Unit Jaminan Mutu
  • Unit Penelitian & Publikasi
  • Unit Humas & Kerjasama
  • Unit Pengabdian kepada Masyarakat & Alumni
  • Biro Jurnal & Penerbitan
  • Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
  • Pusaka Jawa

Fasilitas

  • Perpustakaan
  • Laboratorium Bahasa
  • Laboratorium Komputer
  • Laboratorium Fonetik
  • Student Internet Centre
  • Self Access Unit
  • Gamelan
  • Guest House

Informasi Publik

  • Daftar Informasi Publik
  • Prosedur Permohonan Informasi Publik
  • Daftar Informasi Tersedia Setiap Saat
  • Daftar Informasi Wajib Berkala

Kontak

  • Akademik
  • Dekanat
  • Humas
  • Jurusan / Program Studi

© 2024 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY