Dalam rangka mengenalkan sesajen pada mahasiswa Program Studi Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa dan melestarikan budaya Jawa, Program Studi Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa menggelar workshop yang mengangkat tema sesajen Jawa, sukses digelar pada Rabu, 4 Desember 2024. Workshop ini dihadiri oleh dosen pengampu mata kuliah tata cara R. Bima Slamet Raharja, S.S. M.A., dan Dr. Rudy Wiratama, S.I.P. M.A., serta mahasiswa Program Studi Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa angkatan 2023, yang antusias untuk mendalami lebih jauh makna-makna sesajen dalam tradisi Jawa. Narasumber yang dihadirkan adalah seorang penggiat budaya yang memiliki pengetahuan sangat luas terhadap sesajen, Faizal Noor Singgih, S.T.P. menjelaskan bermacam-macam jenis sesajen dan makna simbolisnya.
Masyarakat Jawa kebanyakan memaknai sebuah benda sebagai simbol, salah satunya adalah sesajen yang digunakan sebagai salah satu bentuk persembahan yang biasanya digunakan dalam upacara adat atau ritual spiritual, memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Jawa. Inti dari sesajen adalah sebagai simbol ngawruhi atau memberi pengingat terhadap roh leluhur, alam, atau sebagai bentuk syukur dan doa atas berkah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Workshop yang diadakan ini bertujuan untuk mengenalkan pentingnya tradisi sesajen dan bagaimana cara pembuatan yang benar sesuai dengan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Para peserta workshop diberikan kesempatan untuk langsung melihat berbagai macam sesajen dengan maknanya masing-masing. Dalam penjelasan narasumber, Faizal Noor Singgih, S.T.P., mengatakan, “Melalui workshop ini, kami berharap mahasiswa dapat lebih memahami esensi dari sesajen, bukan hanya sebagai benda yang digunakan dalam ritual, tetapi juga sebagai bagian dari warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan, karena masyarakat Jawa itu sangat percaya dengan simbol-simbol, salah satunya ya sesajen ini digunakan untuk unjuk doa dan rasa syukur.”
Setiap jenis sesajen memiliki makna tersendiri. Sesajen yang terbuat dari bahan-bahan alami seperti bunga, buah, nasi, dan daun memiliki simbolisme yang mendalam, mencerminkan keharmonisan manusia dengan alam sekitar. Narasumber menerangkan mengenai berbagai macam sesajen dan makna yang ada didalamnya. Salah satu sesajen yang setidaknya disediakan ketika upacara adat yakni pisang sanggan yang berupa pisang jenis raja berjumlah 1 tangkap. Sanggan berasal dari kata “sangga” yang berarti penyangga atau menyangga yang dimaknai sebagai dasar dari segala rangkaian upacara. pisang sanggan biasanya dilengkapi dengan uang koin yang bermakna doa kepada Tuhan memohon untuk melengkapi segala hal jika ada sesuatu yang kurang dan terdapat juga bunga mawar sebagai simbol wewangen atau pengharum untuk para leluhur.
Pisang sanggan dengan bunga dan uang koin
Selain pisang sanggan, salah satu bentuk sesajen yang sering disajikan adalah tumpeng robyong yang berupa nasi gurih dan beberapa lauk pauk yang melengkapi. Tumpeng robyong sangat identik dengan telur, bawang merah, dan cabai merah yang ditusuk menjadi satu kesatuan. Tumpeng ini berfungsi sebagai simbol kesuburan, kesejahteraan, dan keselarasan antara manusia dan alam. Biasa disajikan dalam acara-acara bahagia seperti hajatan, tumpeng robyong diharapkan dapat menjadi simbol bahwa sang pemilik hajat berharap agar segala acara berjalan lancar dan dibantu oleh banyak orang. Penggunaan nasi gurih dalam tumpeng ini menyimbolkan masyarakat Jawa untuk senantiasa mengingat Nabi Muhammad SAW.
Wujud tumpeng robyong
Faizal Noor Singgih, S.T.P. juga menambahkan bahwa “desa mawa cara, negara mawa tata” jadi setiap daerah pasti memiliki perbedaan bentuk dan isi sesajennya. Sesajen tidak dimaknai sebagai sesuatu hal yang mengarahkan kepada ke-musyrik-an. Namun, mengajarkan masyarakat Jawa bagaimana menyimbolkan sebuah doa dan memaknainya.
Salah satu peserta workshop, Bagus Ulinnuha, mengungkapkan bahwa banyak hal baru mengenai makna-makna sesajen secara lebih mendetail berkat workshop ini. “Saya baru tahu bahwa setiap elemen dalam sesajen itu punya makna yang sangat dalam. Sangat beruntung bisa mendapatkan kesempatan mengikuti ini,” ujarnya.
Penjelasan dari narasumber: Faizal Noor Singgih, S.T.P.
Pelestarian tradisi sesajen ini dianggap penting, mengingat semakin banyak generasi muda yang mulai teralienasi dari akar budaya mereka. Workshop ini diharapkan dapat menjadi titik awal bagi masyarakat untuk lebih menghargai warisan budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang dan menghapus stigma negatif mengenai sesajen. Diharapkan dengan adanya workshop ini masyarakat Jawa terutama generasi muda mampu memahami lebih mendalam mengenai pemaknaan simbol-simbol yang telah diturunkan oleh nenek moyang dan dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
[Humas FIB UGM, Editor: Sandya Kirani]