FIB UGM
Salah satu yang ditakuti orang-orang Eropa pada era Kolonial Belanda adalah penyakit yang ada di negeri jajahan, Hindia Belanda (kini: Indonesia). Penyakit itu antara lain pes, kolera, dan kusta atau lepra. Ketakutan itu kemudian mendorong penguasa Belanda mengeluarkan kebijakan untuk melakukan sejumlah perbaikan di kampung-kampung perkotaan dan pendirian sejumlah rumah sakit. Kebijakan itu tidak hanya berlaku di Jawa, tetapi juga berlaku di kota-kota luar Jawa, khususnya di Sulawesi, Sumatra, Kalimantan, dan Nusa Tenggara. Pengiriman dokter-dokter colonial pun dilakukan di kota-kota luar Jawa.
Hal itu dikemukakan oleh Moordiati dan La Ode Rabani ketika menjadi pembicara seminar Mahasisiswa Program Pendidikan Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora akhir Oktober lalu di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Menurut Moordiati, kesadaran atas kesehatan menjadi salah satu factor yang sangat dipertimbangan dalam pemukiman di kota-kota kolonial. Pemisahan permukiman di berbagai tempat di kota-kota Indonesia, termasuk Surabaya, salah satunya atas pertimbangan ini. Orang-orang Belanda sangat takut terhadap penyakit tropis yang menular sehingga sejumlah kebijakan dan program perbaikan derajat kesehatan melalui tindakan preventif dilakukan pemerintah pada waktu itu, ulasnya.
Sementara itu, La Ode Rabani melihat bahwa apa yang terjadi pada orang-orang Kolonial di perkotaan, lebih pada upaya proteksi di satu sisi, tetapi di sisi yang lain untuk menunjang kelangsungan aktivitas ekonomi Kolonial. Jawa merupakan pusat ekonomi yang terintegrasi dengan kawasan lain Nusantara, terutama kawasan Timur Indonesia yang kaya dengan berbagai komoditi ekonomi. Kasus kota-kota di Pantai Timur Sulawesi misalnya, sangat jelas hubungannya dengan kota-kota di Jawa dan terdapat saling ketergantungan. Jawa memerlukan bahan baku yang dikapalkan oleh rakyat di kawasan Sulawesi Timur, sementara masyarakat Sulawesi Timur sangat tergantung pada hasil produksi manufaktur dari Jawa. Intensitas konektivitas antar kota melahirkan kemajuan keduanya dalam berbagai bidang di antaranya ekonomi dan social serta infrastruktur kota dari segi fisik.
Dalam seminar itu hadir Dr. Sri Margana, M.Phil, dosen Jurusan Sejarah UGM yang menjelaskan bahwa kebijakan Kolonial di sector kesehatan terkait erat dengan kepentingan Kolonial di Indonesia. Menurut Margana, sangat wajar kalau salah satu prioritas kolonial di bidang kesehatan untuk memastikan bahwa kondisi kesehatan warga negara Belanda di Hindia. Oleh karena itu, penyakit kusta atau lepra menjadi salah satu persoalan yang harus dicegah penularannya di masyarakat, khususnya di perkotaan. Ketika menyinggung jejaring ekonomi kota, Sri Margana mengatakan bahwa aktivitas ekonomi berbagai kawasan di Nusantara, termasuk di Sulawesi Timur sebenarnya terintegrasi dengan baik dengan pusat kemajuan (Jawa), hanya saja derajat intensitasnya yang berbeda. Makassar dan Jawa bisa jadi sangat intensif dibanding Nusa Tenggara meskipun secara jarak geografis lebih Jauh Makassar. Tentu factor Makassar sebagai pusat produsen komoditi yang laku di pasar global, pungkas Sri Margana.
Kontributor: L.O. Rabani-UGM
Sebagai upaya memberikan kontribusi terhadap perkembangan seni dan sastra di Indonesia, Lomba Seni dan Sastra FIB UGM yang digelar untuk kedua kalinya mendapatkan respons luar biasa baik dari masyarakat. Hal ini terbukti dengan jumlah total karya yang masuk ke meja panitia lomba sekitar 1.100karya. Jika dirinci, karya yang masuk untuk kategori puisi sekitar 700, diikuti cerpen dengan jumlah 288, fotografi 67, kritik sastra 27, dan terakhir film pendek sejumlah 25.
Lomba ini diikuti oleh civitas akademika UGM serta alumni Universitas Gadjah Mada yang tersebar di seluruh Indonesia.Selain itu, lomba ini juga diikuti oleh semua kalangan masyarakat Yogyakarta, mulai dari siswa Sekolah Menengah Atas hingga para seniman dan sastrawan ternama.
Setelah penjurian dilakukan, sebagai salah satu bentuk apresiasi sekaligus penghargaan pada para pemenang, pengumuman pemenang untuk seluruh kategori lomba akan dilaksanakan dalam “Malam Anugerah Seni dan Sastra FIB UGM Tahun 2014”. Pelaksanaan Malam Anugerah Seni dan Sastra FIB UGM 2014 yang sedianya akan dilaksanakan Senin, 10 November 2014, karena satu dan lain hal ditunda pada Kamis, 13 November 2014, pukul 19.00. Acara ini digelar di Auditorium FIB, Gedung Purbatjaraka Lantai 3, FIB UGM.
Acara ini gratis dan terbuka untuk umum. Acara akan diawali dengan makan malam dan akan dimeriahkan dengan pemutaran film pendek (juara 1), penayangan foto (nominasi 20 besar), serta pembacaan puisi dan cerpen (juara 1 dan 2).
Jadi, siapa pun yang memiliki waktu luang dan ingin mengetahui siapakah para pemenang lomba—yang akan mendapatkan anugerah seni dan sastra dari FIB UGM sekaligus juga mendapatkan hadiah ratusan juta rupiah—dipersilakan meramaikan acara ini.
Lokasi dan Jadwal Ujian Kemampuan Bahasa Jepang 2014
Ujian Kemampuan Bahasa Jepang (Japanese Language Proficiency Test) tahun 2014 akan diselenggarakan secara serempak pada hari Minggu, 7 Desember 2014. Penyelenggaraan Ujian Kemampuan Bahasa wilayah DIY-Jateng akan dilaksanakan di 4 lokasi, yaitu :
1) N1 dan N2 di Pusat Pelatihan Bahasa (PPB) UGM di sebelah barat Gedung Grha Sabha Pramana (Auditorium UGM)
2) N3 di SMK Negeri 2 Yogyakarta Jl. AM Sangaji No. 47 Yogyakarta
3) N4 di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Bulaksumur, Yogyakarta
4) N5 di Madrasah Aliyah (MAN) I Yogyakarta Jl. C. Simanjuntak No.60 (sebelah barat Mirota Kampus) Yogyakarta
Mohon bantuannya untuk menyebarkan informasi ini. Yoroshiku onegaishimasu.
Hasil Ujian Kemampuan Bahasa Jepang dapat dilihat mulai awal Februari 2014 melalui website: http://www.jlpt.jp/
Terima kasih,
Panitia JLPT 2014
http://sastrajepang.fib.ugm.ac.id/beta/lokasi-dan-jadwal-ujian-kemampuan-bahasa-jepang-2014/
16 Oktober 2014
Ruang Sidang 1 FIB UGM
Pukul 13.00
Pemateri:
Mirjam Lücking
(University of Freiburg)
Ideas of the ‘Arab World’ in Indonesia,Perceptions and Experiences of Labour Migrants and Pilgrims
Abstrak
Setting off from the assumption that the construction of ‘self’ and ‘other’ is a crucial element in the conception of identity, I discuss what role the imagination of the ‘Arab World’ plays for the Indonesian society today. In an increasingly globalized world mobility becomes an important source to generate knowledge about other regions and re-negotiations of morality. Thus, my research focuses on mobile groups, respectively pilgrims and labour migrants, that travel to the ‘Arab World’ and thereby enrich the process of imagining ‘self’ and ‘other’.
Naturally, Saudi Arabia is regarded as ‘holy land’ for Muslims and the pilgrimage to Mecca is central in many peoples’ life. Since waiting lists to join the hajj (major pilgrimage) have become long, travel agencies offer additional trips to the ‘Arab World’, combining the minor pilgrimage (umroh) with site trips to other places.
Besides this booming pilgrimage business and the positive connotations with the ‘Arab World’ being the centre of Islam, the experiences of Indonesian labour migrants (mainly domestic workers) draw a different picture of the region. They experience Arabic culture and customs from within private households and stay much longer than pilgrims. Reports about ill-treatment of domestic workers and human rights violations evoke a more critical view of the respective Arabic countries.
The different travel experiences of labour migrants and pilgrims and the retrospective reflections about it, mirror recent developments of changing ideas of morality and views of the world. By imagining the Arab ‘other’, the Indonesian travelers become more aware of their own identity. Yet, some elements of what is imagined to be Arabic culture are adopted. The journey abroad and the staging of ‘Arabness’ become social, economic and political capital. The research compares different negotiations of ‘Arabness’ and views on the ‘Arab World’ in the context of pilgrimage and labour migration in urban and rural settings in Yogyakarta, Magelang and Madura.