Di tengah gempuran teknologi dan kemunculan kecerdasan buatan yang mampu menyusun kalimat demi kalimat dengan rapi, Kumala–mahasiswa Sastra Arab–ustru memilih menulis sebagai jalur ekspresi dan kontribusinya. “Tulisan yang dibuat AI mungkin rapi, tapi rasa dan makna hanya bisa lahir dari manusia,” ujarnya.
Bagi Kumala, menjadi mahasiswa Sastra Arab bukan sekadar membaca karya sastra klasik atau memahami bahasa Arab secara mendalam, tapi juga belajar bagaimana menyuarakan cerita dengan kuat. Dunia content writing menjadi medium yang ia pilih untuk menjembatani ilmu dengan praktik. Ia percaya bahwa tulisan yang baik bisa menjadi jembatan yang mempertemukan emosi, informasi, dan aksi.
Dari Ketertarikan Hingga Aksi: Awal Mula Kumala Menulis Konten
Ketertarikan Kumala terhadap content writing muncul seiring dengan rasa ingin tahunya terhadap proses kreatif di balik sebuah konten. Baginya, tahap brainstorming adalah momen paling penting. “Di situlah semuanya dimulai–sebelum visual dan editing, ada ide yang harus dikemas secara menarik dan kuat,” katanya.
Tak hanya itu, Kumala juga membawa semangat keilmuannya dalam sastra ke dunia konten. Salah satu mata kuliah favoritnya adalah Geobudaya dan Geopolitik Timur Tengah, yang membuka matanya terhadap isu-isu besar yang bisa dituangkan dalam tulisan. “Suatu hari, aku ingin menulis konten yang bisa jadi katalis untuk menyuarakan isu-isu di Timur Tengah,” tambahnya.
Langkah Awal di UNAI dan Pelajaran Berharga dari Satu Konten
Meski masih baru bergabung sebagai content writer di UNAI, Kumala sudah mencicipi tantangan dunia ini. Ia mulai dari menulis konten carousel untuk Instagram–sebuah format yang terlihat sederhana namun menuntut ketelitian tinggi. Tantangan terbesarnya? “Menemukan ide yang relevan, trending, dan emosional, yang bisa menarik perhatian audiens. Nggak mudah, tapi sangat memuaskan,” katanya.
Dari semua konten yang pernah ia buat, konten pertamanya tetap jadi yang paling berkesan. Bukan hanya karena itu yang pertama, tapi karena ia harus memahami narasumber dengan aksen Amerika, menyaring banyak kalimat, lalu merangkum semua ke dalam satu paragraf yang kuat. “Di situlah aku belajar menyusun kalimat yang ‘berisi’,” katanya.
Content Writer sebagai Jembatan Komunikasi
Menurut Kumala, peran seorang content writer sangat penting dalam sebuah institusi. “Di UNAI, content writing adalah bagian dari departemen komunikasi. Jadi kami bukan hanya membuat konten, tapi menyampaikan pesan, visi, dan nilai dari institusi ke publik,” jelasnya. Ini menunjukkan bahwa tulisan yang baik bukan hanya soal estetika, tapi juga strategi.
Pesan untuk Mahasiswa: Beranilah Keluar dari Zona Nyaman
Di sela kesibukan akademik dan non-akademik, Kumala tetap berusaha menjaga semangatnya. Ia punya satu prinsip: “Hidup yang kita jalani hari ini adalah mimpi kita kemarin. Maka manfaatkan dengan sepenuh hati.”
Untuk mahasiswa lain yang masih ragu mengembangkan diri di luar jurusan, Kumala punya pesan: “Menjadi berbeda itu tidak buruk. Cobalah sebanyak mungkin hal baru, asal tidak membahayakan diri dan orang lain. Jangan sampai menyesal nanti karena tidak pernah mencoba.”
Di era serba digital ini, Kumala yakin bahwa mahasiswa harus membekali diri dengan banyak keterampilan. “Kita tidak tahu skill mana yang akan membuka pintu karier kita nanti. Jadi, jangan takut eksplorasi. Teknologi boleh canggih, tapi manusianya harus lebih canggih.”
Dan untuk para mahasiswa Sastra Arab yang ingin terjun ke dunia content writing, Kumala menutup dengan satu saran praktis: “Tulis saja apa yang kamu pikirkan. Tetapkan target kecil untuk terus berkembang. Jangan biarkan dirimu stagnan.”
[Humas FIB UGM, Candra Solihin]