
Yogyakarta, 24 Juli 2025 – Dalam pandangan dunia luar, Korea Utara selalu diselimuti oleh tabir misteri. Banyak orang mengenal negara ini lewat laporan media, kesaksian para pembelot, atau bahkan lelucon yang beredar di internet. Namun, jika kita menelusuri lebih dalam mengenai teknologi, kebebasan rakyat, dan kondisi kehidupan di sana, kita akan menemukan kenyataan yang sangat berbeda dari dunia yang kita kenal. Korea Utara bukan negara yang sepenuhnya tertinggal, melainkan negara yang membangun sistem terpusat dengan fokus utama pada stabilitas rezim dan kekuatan militer . Korea Utara adalah masyarakat otoriter di mana kemajuan teknologi hidup berdampingan dengan penindasan terhadap rakyatnya.
Kemajuan teknologi Korea Utara sangat berorientasi pada militer. Sejak tahun 2006, negara ini aktif melakukan uji coba nuklir, mengembangkan peluru kendali balistik antarbenua (ICBM), satelit militer, dan teknologi bahan bakar padat. Kemampuan serangan sibernya juga menimbulkan kekhawatiran global, dengan kelompok peretas seperti Lazarus Group yang diduga berada di balik sejumlah serangan dunia maya besar.
Di bidang teknologi informasi, Korea Utara memiliki ponsel dan sistem operasi buatan sendiri seperti Arirang dan Red Star OS, yang hanya terhubung ke intranet nasional bernama “Kwangmyong” — jaringan lokal yang dikontrol ketat pemerintah. BBC bahkan mengungkap bahwa ponsel buatan Korea Utara dilengkapi sistem pemantauan internal yang dapat merekam layar dan melaporkan perilaku yang dianggap menyimpang, mencerminkan betapa ketatnya kontrol negara terhadap informasi.
Tak hanya dalam akses informasi, kebebasan bergerak pun dibatasi. Warga tidak dapat bepergian antardaerah tanpa izin resmi berupa “surat perjalanan”. Sistem sosial bernama songbun, yang mengklasifikasikan warga berdasarkan latar belakang keluarga, menentukan siapa yang boleh masuk ke kota-kota istimewa seperti Pyongyang. Tempat wisata alam seperti Gunung Myohyang dan Gunung Kumgang pun umumnya hanya terbuka bagi pejabat tinggi atau turis asing, bukan untuk rakyat biasa.
Pakaian warga Korea Utara juga sangat diatur. Seragam militer hanya boleh dikenakan oleh tentara, sementara masyarakat umum seperti pelajar dan pekerja diwajibkan memakai pakaian seragam yang sederhana. Pakaian mencolok atau bergaya individual dianggap sebagai simbol pengaruh budaya Barat. Celana jeans, misalnya, pernah dilarang sepenuhnya karena dianggap sebagai simbol kapitalisme. Meski kini mulai muncul kembali di pasar gelap, penggunaannya tetap terbatas, terutama di kota-kota besar seperti Pyongyang. Di sana, jeans bukan sekadar pakaian, melainkan simbol dari perlawanan ideologis.
Lalu, mengapa rakyat Korea Utara tidak memberontak? Jawabannya bukan karena mereka tidak mau, tetapi karena mereka tidak memiliki ruang untuk melakukannya. Pemerintah menutup akses informasi, sehingga rakyat sulit membandingkan kehidupan mereka dengan dunia luar. Kalaupun ada arus informasi yang masuk lewat pasar gelap, hanya segelintir orang yang bisa mengaksesnya. Mayoritas masih percaya bahwa Korea Utara adalah negara terbaik di dunia—atau setidaknya, mereka tidak bisa memastikan kebenarannya.
Indoktrinasi sejak kecil dan pemujaan terhadap pemimpin telah membentuk gambaran bahwa hidup tanpa pemimpin adalah mustahil. Rasa takut akan hukuman, bahkan yang bisa menyeret seluruh keluarga, membuat siapa pun enggan mengkritik, apalagi mengorganisir perlawanan. Ditambah lagi, sistem pengawasan sosial seperti “rapat evaluasi kehidupan” menciptakan lingkungan penuh kecurigaan, di mana teman bahkan keluarga bisa menjadi pelapor. Kepercayaan sosial pun runtuh, dan gerakan perlawanan sulit tumbuh.
Korea Utara bukan sekadar rezim jahat atau objek ejekan media, tetapi cermin ekstrem dari sebuah sistem otoriter yang menekan manusia hingga kehilangan hak memilih. Rakyat Korea Utara tidak diam karena tidak tahu, melainkan karena mereka tidak bisa berbicara atau bertindak tanpa risiko besar. Dari menonton drama Korea secara diam-diam, bertukar informasi di pasar gelap, hingga menyimpan pemikiran alternatif dalam hati—semua adalah bentuk kecil perlawanan dan kemanusiaan yang tetap menyala dalam tekanan. Memahami Korea Utara bukan sekadar mengenali sebuah negara, tetapi juga mengajak kita merenungi kembali makna kebebasan, kebenaran, dan kemanusiaan dalam kehidupan kita sendiri.
[National Chengchi University, Pan Ke En]