Senin (10/7), Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada menerima kunjungan dari dekanat Faculty of Liberal Arts Thammasat University, Thailand. Di pertemuan yang dipimpin oleh Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, Alumni dan Kerjasama FIB UGM, Dr. Agus Suwignyo, kedua belah pihak membahas berbagai hal terkait dengan keberlanjutan kerjasama yang dibina oleh FIB UGM dan FLA Thammasat University. Adapun program-program yang kedepannya akan lebih digiatkan adalah program pertukaran mahasiwa (student exchange), kesempatan magang (internship), penelitian dan seminar (joint research and seminar). Pertemuan kali ini juga dimanfaatkan untuk memperbarui Memorandum of Agreement (MoA) antara FIB UGM dan FLA Thammasat University. (Humas FIB)
HEADLINE
Lomba Sastra dan Seni ke-4 Tahun 2017
Revitalisasi Penghargaan Terhadap Perbedaan
Sastra dan seni merupakan aktivitas manusia yang secara historis ditujukan untuk mengasah akal dan budi manusia. Dua hal tersebut seringkali menjadi garda depan perjuangan kemanusiaan ketika aspek-aspek lain gagal mendobrak otoritarianisme sebuah rezim. Di berbagai penjuru dunia, sastra dan seni merupakan salah satu ekspresi yang dipergunakan untuk menggambarkan kesemrawutan tatanan sosial dalam kehidupan.
Jika dikaitkan dengan konteks kekinian, kesemrawutan tatanan kehidupan sosial terlihat nyata dengan hadirnya media dengan kemampuannya menyampaikan bahkan mengerahkan opini massa. Kehadiran media memberikan peran penting dalam penyampaian pendapat. Pada satu sisi, pendapat-pendapat tersebut memberi kesempatan kepada orang untuk menulis. Akan tetapi, pada sisi lain, terkadang pendapat yang disampaikan tersebut menjadi suatu persoalan tersendiri jika dalam penyampaiannya meninggalkan aspek-aspek kesantunan dan kecendikiaan.
Kuasa media massa menjadi semakin tidak terkendali ketika ruang virtual terbuka lebar. Kata-kata yang tidak santun seperti hinaan, cacian, hingga sumpah serapah banyak dijumpai dalam berbagai “kicauan’ yang disampaikan. “Kicauan-kicauan” tersebut ditemukan dalam wadah media-media sosial yang seringkali menimbulkan persoalan tersendiri.
Kehadiran sastra dan seni yang pada masa lalu pernah menjadi garda depan pengasah budi, tiba-tiba tergantikan oleh kehadiaran media massa dalam bentuk sosial media. Karya sastra mengalami penurunan penikmat, dibuktikan dengan semakin mengecilnya ketertarikan mahasiswa pada kajian puisi dan prosa. Hal ini sangat ironis, karena kedua genre sastra tersebut menempati peran penting sebagai salah satu sarana pengasah budi pekerti dengan menghadirkan makna-makna semiotika yang memerlukan kecerdasan pikiran dan perasaan untuk memahaminya.
Dalam usaha menjelaskan kembali pentingnya sastra dan seni sebagai pengasah budi dan kecendikiaan, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan kegiatan Lomba Sastra dan Seni 2017. Kegiatan ini diselenggarakan dengan maksud sebagai salah satu langkah nyata dalam usaha memberi ruang ekspresi kepada para pelaku sastra dan seni untuk mengembangkan sastra dan seni dengan terus berkarya. Di samping itu, kegiatan ini juga ditujukan untuk memicu kemballi gairah bersastra-seni sebagai salah satu alternatif sarana mengasah budi dan kecendikiaan.
Lomba Sastra dan Seni 2017 kali ini mengangkat tema Revitalisasi Penghargaan Terhadap Perbedaan. Tema tersebut diangkat untuk mengingatkan kembali realitas bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural, bangsa yang dalam sejarahnya memiliki sejarah panjang dalam menghargai keberagaman dalam berbagai aspek kehidupan, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam aspek tersebut toleransi terhadap perbedaan sangat kental dalam berkehidupan.
Sastra dan Seni yang dilombakan antara lain:
1. Lomba penulisan puisi yang telah dipublikasikan lewat media sosial (telah diviralkan)
2. Lomba penulisan cerita pendek untuk karya yang sudah disebarluaskan lewat blog dan media sosial
3. Lomba penulisan kritik sastra yang sudah disebarluaskan lewat media sosial
4. Lomba fotografi
5. Lomba penulisan meme yang sudah disebarluaskan lewat media sosial
6. Lomba pembuatan film dengan durasi maksimal 10 menit
7. Lomba pembuatan profil Fakultas Ilmu Budaya dengan durasi 7 menit
Lomba terbuka bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Materi lomba yang diviralkan harus diberi identidas bahwa materi tersebut untuk lomba Sastra dan Seni FIB UGM 2017. Batas akhir pengumpulan materi lomba 30 September 2017. Penjurian 5-20 Oktober 2017. Pengumuman lomba akan dilaksanakan pada acara Malam Anugerah Sastra dan Seni ke-4 Tahun 2017 Universitas Gadjah Mada, di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM, pada 10 November 2017, pukul 19.00-22.00 WIB.
[gview file=”https://fib.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/10/2017/07/HADIAH-DAN-KETENTUAN.docx”]
Jules Itier and the coming of photography to Asia.
A talk by Gilles Massot
McNally School of Fine Arts – Lasalle College of the Arts, Singapore
Tuesday, 23 Mei 2017
14:00 – Mutimedia Margono
My work has long been concerned with the theory of photography and the effect of this medium on the human perception of time and space, in contrast to the traditional graphic medium, drawing or painting. By the early 2000s, I started teaching photography for the school of Fine Arts in Lasalle, and this new academic context made me developed this research into a concept, which I named COS•MO or “the Constant Self-recording Mode”: with the invention of photography in the 1830s, the world had entered an age in which things were no longer just represented but laterally recorded with the help of a mechanical device; a radical transformation of the human relation to time and space that eventually resulted in today’s Infocom society.
A few years later, I started teaching history of photography in the School of Art Design and Media, Nanyang Technological University. This is when I came across the work of Jules Itier, a French custom officer who travelled around the China Sea in 1844-45 with a daguerreotype camera. His daguerreotypes of China taken in October 1844 were acknowledged as the first extant photographs of China. But there were many more, taken in other countries around the region, including one in Singapore that was dated by the day in his published journal: 6 July 1844. As I developed a timeline of the coming of photography to Asia for my class, this historical perspective began to echo my earlier theoretical concerns: what if that Singapore plate was not just the earliest dated photograph of this port, but marked the shift into the age of COS•MO for the whole Asian continent?
A research grant from Lasalle allowed me to embark on an in-depth research conducted all around Asia and Europe, the results of which were published in the December 2015 issue of the prestigious journal History of Photography. My talk will present the results of this research, some of which proved to be really ground breaking, while tracing the artistic journey that guided it from its onset.
Prof Lala“Masa Lalu Selalu Aktual” begitu lah tagline sekaligus tema dari Reuni Akbar Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Mengundang seluruh alumni Departemen Sejarah dari berbagai angkatan dan strata. Reuni akbar yang dihelat selama dua hari 18-19 Maret di kampus Fakultas Ilmu Budaya UGM tersebut berlangsung ramai dan meriah dengan berbagai agendanya.
Reuni akbar dibuka dengan beberapa orasi terbuka dari beberapa tokoh di bidang sejarah. Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden, Eko Sulistyo, menyampaikan bagaimana pendekatan sejarah digunakan pada pemerintahan saat ini. Eko menjelaskan bagaimana pendekatan sejarah yang digunakan dalam membuat visi dan kebijakan strategis pada pemerintahan saat ini. Eko mencontohkan bagiamana visi Trisakti menjadi pondasi pemerintahan tentang kemandirian ekonomi, kedaulatan politik, dan berkarakter budaya. Selanjutnya yakni visi revolusi mental yang lahir dari sebuah pembacaan masa lalu bangsa yang hanya fokus pada pembangunan pertumbuhan ekonomi tapi melupakan sisi manusia Indonesia.
“Pemerintah saat ini merupakan pemerintah yang belajar dari sejarah,” jelas Eko.
Sementara itu, orasi juga disampaikan oleh Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia, Hilmar Farid. Dalam orasi tersebut, Hilmar membahas tentang profesi sejarah dan masa depannya. Hilmar membuka orasinya dengan sebuah pertanyaan, siapakah yang disebut sebagai sejarawan. Sebuah pertanyaan yang telah muncul sejak bertahun-tahun lalu. Menjawab pertanyaan itu, Hilmar pertama-tama membedakan sejarah sebagai disiplin ilmu dan sejarah sebagai profesi.
“Dua hal tersebut berbeda, namun pada abad ke-20 kecenderungannya untuk menyatu sangatlah besar,” jelas Hilmar.
Selanjutnya, Hilmar mengulas latar belakang bagaimana berkembangnya seseorang disebut sejarawan dari abad ke-19 hingga abad ke-20. Definisi itu berubah dari waktu ke waktu hingga saat ini. Namun, Hilmar menyimpulkan bahwa seseorang disebut sejarawan ialah orang yang menggunakan disiplin ilmu sejarah pada profesinya. “Seseorang yang berprofesi sejarah pasti adalah sejarawan, namun sejarawan belum tentu seorang yang yang berprofesi sejarah,” terang Hilmar.
Menurut Hilmar, tema dari reuni kali ini sangatlah tepat. Tema tersebut begitu baik untuk mendorong seseorang dari berbagai profesi tetapi menggunakan disiplin ilmu sejarah untuk mengembangkan sejarah. “Mimpi saya kedepannya sejarah ini bukan menjadi sub bidang yang dipelajari di univeristas, tetapi benar-benar bisa memberikan prespektif pada banyak hal,” tegasnya. (Humas UGM/Catur)
Rampoe UGM yang merupakan salah satu Badan Semi Otonom di bawah Fakultas Ilmu Budaya kembali meraih prestasi pada 11th National Folklore Festival yang diselenggarakan pada 13 – 16 Maret 2017 di Auditorium Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia.
National Folklore Festival (NFF) merupakan kompetisi paduan suara dan tari tradisional terbesar se-Indonesia yang diadakan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia. Kompetisi ini dapat diikuti oleh siswa-siswi SMA, universitas, dan sanggar dan umum. Pada tahun ini, kompetisi tari tradisional dalam National Folklore Festival terdiri dari 16 tim dari kategori A (SMA), 18 tim dari kategori B (universitas), dan 11 tim dari kategori C (sanggar dan umum).
Berbeda dari tahun sebelumnya, pada tahun ini Rampoe UGM mengirimkan dua tim yang terdiri dari 19 penari, 2 syekh, dan 4 official. “Tahun ini kami mengirimkan 2 tim, yaitu tim putri yang membawa Tari Mesare-sare dan Tarek Pukat, serta tim putra yang membawa tari Rapai’i Geleng.” Ungkap Ridwan, ketua delegasi NFF 2017.
Kedua tim yang dikirim untuk mengikuti kompetisi tari tradisional pun berhasil mendapatkan juara 2 untuk Tari Mesare-sare dan Tarek Pukat dalam kategori B, dan juara 3 untuk Tari Rapa’i Geleng dalam kategori C. Menurut Laras, kemenangan Rampoe UGM ini tidak terlepas dari dukungan FIB, UGM, dan keluarga Rampoe.
Ketua Rampoe UGM, Laras Widyawati berharap Rampoe UGM bisa terus berprestasi dan berproses dengan baik ke depannya. (/Shofi)