Sektor pariwisata di Indonesia sudah dicanangkan sebagai sebuah sektor andalan dalam menggerakan perekonomian bangsa. Menurut data Kementerian Pariwisata RI, setidaknya tahun 2017 ini sektor pariwisata telah mampu menjadi sektor andalan penghasil devisa urutan kedua setelah minyak sawit mentah (CPO). Demi mendukung pembangunan SDM bidang pariwisata perguruan tinggi dinilai perlu meningkatkan sinergi dengan pelaku industri perhotelan dan pariwisata.
Baru-baru ini, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM menjalin kerja sama dengan Jogjakarta Plaza Hotel (JPH), salah satu hotel bintang 4 di Yogyakarta. Kerja sama dengan hotel yang masuk ke dalam jaringan Prime Plaza ini dalam bentuk program magang (internship) mahasiswa Program Studi Pariwisata. “Kerja sama ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa untuk menimba pengalaman langsung di dunia kerja, sehingga nantinya meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka setelah lulus,” terang Dekan FIB UGM Dr. Wening Udasmoro, M.Hum, DEA, Rabu (6/12) di kampus UGM.
Melalui kerja sama ini, tambah Wening, tidak menutup kemungkinan di kemudian hari juga membuka kesempatan bagi prodi lain di lingkungan UGM untuk ikut bergabung. “Kita mengharapkan mahasiswa perlu merasakan bagaimana sebetulnya bekerja di sektor yang sekarang sedang booming,” tambahnya.
Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Dekan FIB UGM, General Manager Jogjakarta Plaza Hotel, Yungke Wibowo, mengungkapkan bahwa pihaknya selalu membuka diri untuk menjalin kerja sama dengan dunia pendidikan di semua level, termasuk dengan kalangan perguruan tinggi. “Kami sangat membuka kesempatan bagi siapa saja untuk memanfaatkan institusi kami untuk belajar,” ungkap Yungke.
Nota kesepahaman kerja sama program magang mahasiswa ini akan berlangsung dalam waktu lima tahun. Saat penandatangan kerja sama ini, Dekan FIB didampingi oleh Ketua Program Studi Pariwisata, Dr. Tular Sudarmadi, M.A dan beberapa dosen.
HEADLINE
Museum UGM meluncurkan Ruang Sardjito, pada tanggal 4 Desember 2017. Ruang Prof. Sardjito menempati salah satu ruang di Museum UGM, yang terletak di Kompleks Bulaksumur D6-D7, Kampus UGM.
Sosok yang dihadirkan di ruang ini sangat terkenal di Yogyakarta, terutama karena namanya digunakan sebagai nama rumah sakit terbesar di wilayah ini, yaitu Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito. Namun, tidak semua orang tahu, siapa Sardjito sebenarnya. Selain sebagai nama rumah sakit, mungkin sebagian mengetahui sosok ini sebagai rektor pertama Universitas Gadjah Mada. Sedikit pula yang mengetahui bahwa dia juga pernah menjadi rektor Universitas Islam Indonesia, dan pimpinan orang Indonesia pertama yang menjabat perusahaan vaksin Bio Farma. Tidak banyak yang tahu pula bahwa Dr. Sardjito, saya sebut saja demikian, juga memperhatikan masalah seni dan kepurbakalaan. Ia pernah mempresentasikan makalah dalam pertemuan ilmiah di Filipina, tidak tentang seni arca kuno di Indonesia, termasuk yang berada di Candi Borobudur.
Museum UGM sangat “berkepentingan” dengan sosok Prof. Dr. dr. M. Sardjito, M.D., M.P.H. ini. Tokoh ini menjadi rektor pertama, seperti telah disebut di atas. Ia juga diakui dalam kegiatan ilmiah, sosial kemasyarakatan, dan perjuangan kebangsaan. Jasanya bukan hanya untuk UGM, namun juga untuk berbagai lembaga dan masyarakat luas. Oleh karena itu, satu ruang khusus didedikasikan untuk beliau.
Dalam tata pamer Ruang Prof. Sardjito, sosok ini digambarkan sebagai seorang ilmuwan juga seorang birokrat, yang tidak terlepas dari sisi kemanusiaan seorang Sardjito. Ia duduk di belakang meja yang tipenya sekarang sudah mulai dihindari oleh para ilmuwan, dosen, apalagi birokrat. Meja persegi terbuat dari bahan jati dipelitur satu warna cokelat, yang mungkin pada waktu itu pun terlalu sederhana. Tidak ada ornamen pada meja itu, tidak pula lekuk-bidang yang berlebih.
Sosok profesor ditampilkan dengan replika toga yang diletakkan pada gantungan jas. Asli dari toga ini disimpan di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Sebagai ilmuwan, pameran di ruang ini juga dilengkapi dengan rak buku, simbol dari pencarian (ilmu/kebenaran) dan mesin ketik, gambaran dari pengejawantahan gagasan dan deseminasi pengetahuan serta karya. Radio kesayangan diletakkan di sisi meja, menemani pencarian, perenungan, dan upaya objektifikasi tersebut. Beberapa karya seperti obat-obatan temuan juga ditampilkan pada meja kecil untuk menunjukkan karya nyata beliau.
Ruang rekaan ini dibuat oleh seniman Wilman Syahnur dari Yogyakarta, yang terkenal dengan patung “Obama Naik Becak.
Peluncuran Ruang Sardjito dihadiri oleh Dekan FIB, Kepala Seksi Promosi dan Inovasi Bidang Permuseuman Dinas Kebudayaan DIY, perwakilan keluarga Prof. Dr. dr. M. Sardjito, M.P.H., serta undangan lain. Dalam pengantarnya, Ketua Pengelola Museum UGM, Dr. Mahirta, menyatakan bahwa peresmian Ruang Sardjito merupakan satu langkah yang diambil untuk menyempurnakan museum agar dapat dinikmati masyarakat. Sementara itu Dekan FIB UGM, Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., D.E.A. menyatakan bahwa museum perlu menyampaikan kepada masyarakat narasi yang disusun atas objek yang dimiliki. Drs. Rahmat Suabadi sebagai wakil Dinas Kebudayaan menyampaikan harapan agar bantuan Dinas Kebudayaan kepada museum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sebagai penutup, Drs. Budi Santoso yang merupakan wakil dari keluarga Dr. Sardjito menyatakan bahwa Dr. Sardjito adalah sosok yang sederhana, yang dapat dilihat dari benda-benda pada pameran tersebut.
Ruang Dr. Sardjito disiapkan oleh Tim Museum UGM, dengan bantuan pembuatan patung dan replika dari Dinas Kebudayaan DIY. Selain berkait dengan Dr. Sardjito, bantuan dari Dinas Kebudayaan juga meliputi replika roket pertama buatan Indonesia, dan replika tungku-tungku hemat energi karya Prof. Herman Yohannes.
Foto bersama dengan latar depan patung Prof. Sardjito seusai peresmian, dari kiri ke kanan: Drs. Rahmat Suabadi (Dinas Kebudayaan DIY), Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., D.E.A. (Dekan FIB UGM), Drs. Budi Santoso (perwakilan keluarga Dr. Sardjito), dan Sektiadi, S.S., M.Hum (Museum UGM).
Anugerah Sastra dan Seni UGM ke-4: Merevitalisasi Ruang-Ruang Perbedaan
Malam Puncak Anugerah Sastra & Seni UGM ke-4 “Revitalisasi Penghargaan terhadap Perbedaan”; 10 November 2017, Pusat Kebudayaan Koesnadi Hadjasoemantri UGM.
Yogyakarta, 6 November 2017 – Sastra dan seni merupakan aktivitas manusia yang secara historis ditujukan untuk mengasah akal dan budi manusia. Dua hal tersebut seringkali menjadi garda depan perjuangan kemanusiaan ketika aspek-aspek lain gagal mendobrak otoritarianisme sebuah rezim. Di berbagai penjuru dunia, sastra dan seni merupakan salah satu ekspresi yang dipergunakan untuk menggambarkan kesemrawutan tatanan sosial dalam kehidupan.
Jika dikaitkan dengan konteks kekinian, kesemrawutan tatanan kehidupan sosial terlihat secara nyata dengan hadirnya media dengan kemampuannya mengerahkan opini massa. Kehadiran media memberikan peran penting dalam penyampaian pendapat. Pada satu sisi, pendapat-pendapat tersebut memberi kesempatan kepada orang untuk menulis. Namun pada sisi lain, terkadang pendapat yang disampaikan tersebut menjadi suatu persoalan tersendiri jika dalam penyampaiannya meninggalkan aspek-aspek kesantunan dan kecendikiaan. Kuasa media massa menjadi semakin tidak terkendali ketika ruang virtual terbuka lebar. Kata-kata yang tidak santun seperti hinaan, cacian, hingga sumpah serapah banyak dijumpai dalam berbagai “kicauan’ yang disampaikan. Bahkan berita-berita palsu yang seolah-olah benar (hoax) seakan telah menjadi bagian dari konsumsi informasi sehari-hari.
Kehadiran sastra dan seni yang pada masa lalu pernah menjadi garda depan pengasah budi, tiba-tiba tergantikan oleh kehadiaran media massa dalam bentuk sosial media. Bahkan dalam lingkungan kampus sekalipun, karya sastra seolah mengalami penurunan penikmat, yang dibuktikan dengan semakin mengecilnya ketertarikan mahasiswa pada kajian puisi dan prosa. Hal ini sangat ironis, mengingat kedua genre sastra tersebut menempati peran penting sebagai salah satu sarana pengasah budi pekerti dengan menghadirkan makna-makna semiotika yang memerlukan kecerdasan pikiran dan perasaan untuk memahaminya.
Dalam usaha menjelaskan kembali pentingnya sastra dan seni sebagai pengasah budi dan kecendikiaan, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan acara Anugerah Sastra dan Seni UGM ke-4 dan Lomba Sastra dan Seni UGM 2017. Kegiatan ini diselenggarakan dengan maksud sebagai salah satu langkah nyata dalam usaha memberi ruang ekspresi kepada para pelaku sastra dan seni untuk terus berkarya. Di samping itu, kegiatan ini juga ditujukan untuk memicu kemballi gairah bersastra-seni sebagai salah satu alternatif sarana mengasah budi dan kecendikiaan. Ini merupakan bentuk kontribusi dan komitmen UGM terhadap perkembangan sastra dan budaya di Indonesia.
Lomba Sastra dan Seni UGM tahun 2017 ini mengangkat tema “Revitalisasi Penghargaan Terhadap Perbedaan”. Tema tersebut diangkat untuk mengingatkan kembali realitas bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural, bangsa yang dalam sejarahnya memiliki sejarah panjang dalam menghargai keberagaman dalam berbagai aspek kehidupan, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam aspek tersebut toleransi terhadap perbedaan sangat kental dalam berkehidupan.
Lomba Sastra dan Seni dalam rangka Anugerah Sastra & Seni UGM ke-4 ini telah berhasil menjaring 2.149 karya sastra dan seni, yang terkategori ke dalam lomba puisi, cerpen, fotografi, film pendek, penulisan meme, dan kritik sastra. Malam Puncak Anugerah Sastra dan Seni UGM ke-4 dilaksanakan pada Jumat (10/11) di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri kampus UGM Bulaksumur, yang menghadirkan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Dr. Ir. M. Basuki Hadimuljono, M.Sc., yang merupakan alumni UGM. Selain itu, acara ini juga diisi dengan orasi budaya oleh sastrawan Prof. Dr. Budi Darma, M.A. dan pembacaan puisi oleh Christine Hakim dan Kedung Darma Romansha. Acara Malam Puncak Anugerah Sastra dan Seni UGM ke-4 ini juga menghadirkan pentas “Goro-Goro Diponegoro” oleh kelompok seni Mantradisi, Voice of Citizen, dan Rampoe UGM. (Humas FIB).
Berikut daftar pemenang lomba:
Daftar Pemenang Lomba Anugerah Sastra-Seni UGM 2017_x
Sebuah gedung yang menjulang tinggi di Jalan Nusantara kawasan kampus UGM Bulaksumur pada hari Senin (30/10) telah diresmikan sebagai sebuah ‘padepokan’ tempat menimba ilmu dan mengasah akal budi dalam bidang budaya. Peresmian ini dihadiri oleh tak kurang dari 150 tamu dan diresmikan langsung oleh Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng.
Suasana peresmian kali ini terasa unik dan sarat makna sejak awal acara, ketika Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono, M.A, dekan FIB periode 2012-2016 memanggil nama-nama guru besar FIB yang sudah tiada, seakan turut mengundang dan memastikan kehadiran mereka pada acara peresmian. Selain itu, pemecahan kendi berisi bunga dan biji-bijian oleh Rektor UGM juga bagian dari upacara peresmian gedung R. Soegondo, yang mengandung makna filosofis. Dekan FIB UGM Dr. Wening Udasmoro, S.S., M.Hum., DEA menyebutkan sederet fakta unik yang menyebabkan raksasa cantik ini nampak semakin istimewa.
“Gedung ini dibangun di atas kenangan. Dulu di sini pernah ada Laboratorium Arkeologi, ‘Kandang’ Antropologi, juga Staff English Language Training Unit (SELTU), dimana direktur utamanya, yang pernah menjabat sebagai Dekan FIB pada periode 1966-1969 dan 1969-1971 adalah Bapak R. Soegondo. Dengan adanya kenangan-kenangan yang juga turut membentuk gedung ini, diharap ke depannya kita bisa membuat kenangan lain di sini” tandas Dr. Wening Udasmoro.
Keunikan lain dari gedung dengan luas 9.951 m2 ini ialah desain ornamen, pemilihan bahan dan bentuk yang sarat makna. Jika dilihat dari kejauhan, misalnya, akan nampak jelas motif Parang dan Gurdo serta Peksi Mbangun Tapa yang merupakan motif-motif khas nusantara. Motif Parang Gurdo sebagai ciri khas keraton Yogyakarta memiliki makna keraton sebagai pengayom UGM. Sedang motif Peksi Mbangun Tapa menyimbolkan FIB sebagai pesanggrahan bagi mahasiswa di seluruh nusantara untuk belajar kebudayaan. Selain itu gedung ini juga dilingkupi pagar pendek berliku seperti pola yang muncul di Candi Prambanan. Hiasan-hiasan apik sarat makna filosofis menjadikan gedung berlantai 7 ini bak raksasa cantik yang memukau tiap orang yang memandangnya. Terlebih, dilengkapi pula dengan teknologi yang ramah lingkungan, penggunaan lampu LED serta alat-alat elektronik yang akan nyala sekaligus mati secara otomatis jika tidak ada aktivitas di dalamnya.
Gedung R. Soegondo diharapkan menjadi sebuah monumen masa kini yang dibangun dengan seluruh nilai-nilai pengetahuan masa lalu untuk menuai proses akademik maupun non akademik yang akan berlangsung di sini. Mari mencipta kenangan! (tyassanti)
Studi sastra dari masa ke masa senantiasa mengalami perkembangan. Bergerak dinamis antara dibentuk dan membentuk kebudayaan sebuah zaman. Pada suatu masa studi sastra semata berkutat pada teks dengan aras strukturalisme dan formalisme, di masa yang lain dapat menjadi studi yang sifatnya interdispiliner dengan menyerap teori-teori sosial dan budaya untuk mengkaji karya sastra, di masa berikutnya studi interdispliner juga bisa dikritisi dan ditanggalkan untuk kembali pada studi sastra murni dengan teori-teori baru yang disesuaikan dengan kondisi karya sastra dan masyarakatnya.
Perkembangan studi sastra di Indonesia dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni praktisi dan akademisi. Para praktisi atau sastrawan seringkali menyatakan bahwa perkembangan studi sastra di Indonesia mengalami kemunduran yang dilihat dari minimnya kritik sastra, sebagai salah satu indikasi berjalannya studi sastra, yang tersiar di media massa. Sementara itu, dari sudut pandang akademisi, studi sastra justru dinilai telah mengalami perkembangan yang cukup baik sejak masa H.B. Jassin. Kritik sastra terus-menerus ditulis di perguruan tinggi. Bahkan, studi sastra tidak lagi sekadar berkutat pada masalah intrinsik sastra, tetapi telah mengeksplorasi kemungkinan lain yang merupakan faktor eksternal sastra. Beberapa teori di luar ilmu sastra pun mulai banyak diserap untuk mengkaji karya sastra, semisal sosiologi dan psikologi. Teori-teori pascakolonialisme, postmodernisme, dan post-strukturalisme juga mulai banyak digunakan dalam mengkaji karya sastra.
Kini perkembangan studi sastra juga dipengaruhi oleh pesatnya kemajuan teknologi informasi. Teknologi terkini mampu memangkas waktu dan tempat dalam menyalurkan informasi. Ia menyediakan ruang baru bagi publikasi kritik dan karya sastra. Sebuah teori yang sedang digeluti di sebuah negara dapat langsung dipelajari dan diaplikasikan oleh seseorang di negara yang lain. Karya sastra yang tengah dibicarakan, semisal sedang masuk unggulan penghargaan tertentu, dapat pula segera dibaca dan dikritik sebelum meraih penghargaan. Selain informasi yang cepat diserap dan disebarkan, teknologi tersebut juga membuat ruang baru bagi perkembangan publikasi kritik dan karya sastra.
Menyikapi perkembangan tersebut, Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada hendak menghelat Seminar Nasional Mencari Formul Baru Kritik Sastra Indonesia pada Jumat—Sabtu, 3—4 November 2017 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Selain pemakalah dari sejumlah kampus, acara tersebut akan menghadirkan sejumlah pembicara utama seperti Prof. Dr. Faruk, Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, Prof. Dr. Ida Bagus Putra Manuaba, dan Manneke Budiman, Ph.D. Diharapkan seminar ini dapat membuka kemungkinan-kemungkinan yang mengarah pada perumusan formulasi kritik sastra kontemporer yang khas Indonesia. Seminar ini akan dibuka dengan acara Menyambut 80 Tahun Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo yang merupakan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM dan penyerahan Anugerah Sastra Yasayo. Adapun acara ini dapat terselenggara berkat dukungan dari HISKI Komisariat UGM, Yayasan Sastra Yogyakarta, dan Balai Bahasa Yogyakarta. Jika Anda tertarik dan berminat mengikuti acara tersebut dapat menghubungi Pradipta (0878-3999-2235), Ninies (0813-2277-3388), atau Yudho (0857-2916-6414).*