Mengelola Keragaman Identitas
Bagaimana keragaman identitas dalam suatu masyarakat majemuk dikelola dalam negara demokratis? Pembahasan teori difokuskan mulai dari liberalisme, multikulturalisme dan komunalisme , hingga upaya untuk merumuskan “pluralisme kewargaan” (civic pluralism) dalam konteks kontemporer Indonesia.
Zainal Abidin Bagir adalah ketua Prodi S-2 Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, UGM. Ia menyunting buku Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia (2011); di antara artikel terakhirnya adalah “Advocacy for Religious Freedom in Democratizing Indonesia” (Review of Faith and International Affairs, 2014).
AGENDA
Public Lecture:
Hari/tanggal; Selasa, 1 September 2015
Waktu: Pukul 13:30 – 15:30 WIB
Tempat: Ruang SIdang 1
Pembicara: Dr. Max Richter
Tema: Musical and socio-cultural diversity and unity in Yogyakarta: Fifteen years ago and today
Dr. Max Richter is a Research Fellow (Indonesian Engagement) at Monash Sustainability Institute and Deputy Director of the Monash Asia Institute. His doctoral research centered on musical practices and discussions in downtown Yogyakarta in 2000-2001, subsequently published as Musical worlds in Yogyakarta (KITLV/ISEAS, available as Global Commons through OAPEN). That research focused on street-based occupational groups and their identifications with musik jalanan and campursari, and drew on Pierre Bourdieu’s concepts while also seeking to formulate alternative approaches. Nowadays Max Richter’s research includes remote-area electrification in Indonesia and strengthening Australia-Indonesia collaborative research partnerships, but he also maintains a keen interest in Indonesia’s musical life. This presentation will begin by reflecting on musical influences on social relations around 2000-2001. It will then invite discussion on music in present-day Yogyakarta, and what this might tell us about Indonesian cultural and political trends more broadly.
A Master Course
Pre-Modern European History
in the Thirteenth to Eighteenth Centuries
History Department, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 31st August-4th September 2015
Description
Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, UGM will conduct a Master course on Pre-Modern European History in the thirteenth to eighteenth centuries. Consisting of lectures and in-depth discussions, the course will be focus on the European region, from social economic, political and cultural aspects. Expert of European History from University of Hamburg, Prof. Dr. Jürgen Sarnowsky, will be invited to deliver the prepared lectures. The courses are intended to deepen understanding from academic interaction among Indonesia scholars. By these means, the course can hopefully pave the way for future collaboration in generating knowledge about Europe and the study of social and humanities. Twenty participants are expected to the course. The course will be conduct on
Date : 31st August-4th September 2015
Time : 09.00—13.30 WIB
Venue : Ruang Sidang I Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Jl. Nusantara 1, Yogyakarta 55281
Requirements
The course is free and open to students in social sciences and humanities of UGM. Interested applicants may send his/her intent to join the course before 25 August 2015 to widaratihkamiso@yahoo.co.id.
Contacts
Widaratih Kamiso widaratihkamiso@yahoo.co.id
Rika Sayekti rikasukmono@yahoo.com
FIB Weekly Forum
Kamis, 11 Juni 2015
Ruang Sidang 1 – pukul 13.00
Oleh: Wahyu Kuncoro, M.A.
Dalam beberapa bulan terakhir, isu seputar diskriminasi yang menimpa etnis Rohingya di
Burma (Myanmar) telah menyita perhatian dari berbagai kalangan di Indonesia. Salah satu
wacana yang terus berkembang adalah status Rohingya sebagai “stateless person” (orang
tanpa kewarganegaraan) yang menyebabkan mereka kehilangan hak-hak sebagai warga
negara khususnya berkaitan dengan tempat tinggal dan jaminan keamanan. Konflik
keagamaan juga sering bergulir dibalik isu mengenai etnis Rohingya yang tentu saja sangat
beresiko menyulut munculnya sentimen keagamaan di negara-negara lain, termasuk di
Indonesia. Untuk menghindari tumbuhnya sentimen tersebut maka penting bagi artikel ini
untuk mendiskusikan mengenai konstruksi identitas nasional dan etnik minoritas di
Burma, terutama yang menyangkut etnis Rohingya, dalam prespektif ilmu antropologi.
Dengan tidak mengesampingkan isu Rohingya dengan “manusia perahu” yang tengah
berkembang, artikel ini lebih memberikan fokus pada perkembangan formasi penyusun
etnisitas Rohingya dari awal masa kejayaannya di abad 16 hingga di era democratization
Burma saat ini. Terlepas dari status mereka yang stateless, istilah Rohingya sendiri bisa
dikatakan masih begitu kontradiksi bagi orang-orangnya. Sebagian besar Rohingya merasa
tidak nyaman dengan istilah “Rohingya” – lebih memilih dikenal sebagai Muslim Arakan –
yang diformulasikan oleh negara untuk mengeksklusi hak kewarganegaraan mereka.
Jumlah etnis Rohingya diperkirakan mencapai 3,5 juta orang, 2 juta di antaranya tinggal di
wilayah otonomi Rakhine (termasuk di berbagai kamp pengungsian yang menyebar di
wilayah perbatasan Burma dengan Bangladesh) dan sisanya tersebar di berbagai penjuru
dunia seperti Thailand, Pakistan, China Selatan, Malaysia, Amerika dan Jepang.
Artikel ini disusun berdasarkan tiga obyektif berbeda yaitu, 1. Menarik benang merah
mengenai siapakah etnis Rohingya itu; 2. Meninjau kembali akar konflik yang menimpa
etnis Rohingya; dan 3. Menarasikan perjuangan hidup etnis Rohingya yang tinggal di
perbatasan Thailand-Myanmar. Berangkat dari ketiga obyektif tersebut, artikel ini ingin
menunjukkan bagaimana perjuangan hidup Rohingya yang memilih untuk tidak melakukan
pelarian melalui rute laut melainkan bagi mereka yang bertahan tinggal di Burma atau
berpindah ke negara-negara tetangga melalui jalur darat. Aspek kesejarahan dalam artikel
ini diperoleh dari hasil documentary research dua buku utama yaitu “The Burmanization of
Myanmar’s Muslims” karangan J.A. Berlie dan “The Muslims of Burma” yang ditulis oleh
Moshe Yegar. Di samping itu, data yang dipresentasikan dalam artikel ini juga diperoleh
dari hasil partisipasi observasi bersama komunitas Muslim dari Burma di kota Mae Sot,
salah perbatasan internasional Thailand dengan Myanmar.
L’Oulipo a été créé en 1960 par François Le Lionnais, scientifique amoureux de littérature, et Raymond Queneau, écrivain et mathématicien. L’idée de départ était d’interroger la mathématique, la science et les formes oubliées, pour proposer de nouvelles structures pour les textes littéraires.
La notion de « contrainte » est centrale dans le travail oulipien. Contrairement aux apparences, elle est un facteur essentiel de liberté dans la création. Elle est également un outil décisif dans l’interrogation du « sens » : le texte dit ce qu’il dit et ce que la contrainte dit aussi.
Parmi les membres célèbres de l’Oulipo on compte Raymond Queneau, l’auteur des « cent mille milliards de poèmes » que personne ne lira jamais en entier, Georges Perec dont le roman « La Disparition » est tout entier écrit sans la lettre « e », Italo Calvino dont le roman « Si une nuit d’hiver un voyageur » n’est constitué que de débuts de romans, Jacques Roubaud, maître de l’alexandrin dont « l’Ode à la ligne 23 » explore tous les moyens de le trahir !
Le groupe est international et compte 40 membres dont la moitié sont excusés pour cause de décès.
Paul Fournel, écrivain, en est actuellement le Président. Il fera une présentation de l’histoire du groupe, de son fonctionnement et lira des textes caractéristiques du travail oulipien.
Waktu : KAMIS tanggal 4 juin, jam 13.00-15.00
Tempat : Auditorium FIB – UGM
Pembicara : Paul Fournel (paulfournel.net, http://oulipo.net/)
Peserta : Mahasiswa Prodi Sastra Prancis UGM, UNY, IFI-LIP & publik
francophone (berbahasa Prancis)