
Yogyakarta, 23 April 2025 – Program Studi Magister Sastra Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan kuliah umum bertajuk “Beyond Borders: Rethinking Homeland and Belonging in Diaspora and Francophone Studies” pada Selasa, 23 April 2025 di Gedung Soegondo, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Kegiatan ini dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai jurusan dan dibuka secara resmi oleh Ketua Program Studi Magister Sastra, Prof. Dr. Aprinus Salam, M.Hum. Dalam sambutannya, Prof. Aprinus Salam menegaskan bahwa kegiatan kuliah umum merupakan bentuk nyata pelaksanaan Tri dharma Perguruan Tinggi. Ia menyampaikan pentingnya memperluas wawasan internasional. “Meski kita meminati sastra dari negara tertentu, wawasan global tetap menjadi bekal utama. Karena itu, prodi akan terus menghadirkan kuliah umum bertema sastra mutakhir dari berbagai belahan dunia.” ujarnya.
Materi utama disampaikan oleh Dr. Arifah Arum Candra Hayuningsih, S.S., M.A., yang mengajak mahasiswa untuk meninjau ulang pemahaman konvensional mengenai tanah air (homeland) dan keberadaan (belonging) dalam konteks diaspora dalam kajian Frankofon. Kuliah ini memantik pertanyaan-pertanyaan mendasar yang bersifat filosofis sekaligus politis: Apa arti rumah? Apakah identitas selalu berakar pada tempat tertentu?
Dr. Arifah Arum menyoroti bahwa konsep tanah air dan keberadaan seringkali dipahami secara kaku–terkait kewarganegaraan, wilayah, atau identitas nasional–padahal pengalaman diaspora menunjukkan bahwa identitas bersifat cair, penuh negosiasi, dan dibentuk oleh ingatan, bahasa, serta warisan kolonialisme. Kuliah ini membedah pemikiran penting dalam studi diaspora dari berbagai pakar seperti Pul Gilroy hingga Stuart Hall. Lebih lanjut, Dr. Arifah Arum menampilkan analisis terhadap karya sastra Frankofon seperti karya Leïla Sebbar, Maryse Condé, dan Mariama Ba, yang menunjukkan bagaimana pengalaman migrasi dan kolonialisme melahirkan identitas kreol yang majemuk. Sastra diaspora Frankofon, menurutnya, menjadi media penting untuk mengungkap pengalaman-pengalaman yang kerap tersisih dari narasi bangsa dominan.
Dalam sesi tanya jawab, mahasiswa terlibat aktif mengangkat isu-isu personal dan politis seputar identitas ganda, repatriasi, hingga makna ‘second home’. Dalam menanggapi persoalan identitas ganda, Dr. Arifah Arum berpendapat bahwa “yang membuat kita ada sekarang bukan sesuatu yang tunggal. Selalu ada fragmen patah-patah dalam membentuk identitas kita. Identitas kita akan terus berganti dan bereproduksi.” jelasnya. Kemudian, ia menekankan pentingnya bahasa, memori, dan representasi sebagai jembatan untuk membangun rasa keberadaan yang otentik.
Di akhir sesi, peserta diajak merenungi kembali, mungkinkah ‘tanah air’ bersifat jamak, emosional, bahkan imajiner? Dan bagaimana sastra berperan dalam membentuk dan mempertanyakan ulang makna rumah, identitas, serta keberadaan? Kuliah umum ini menandai pentingnya studi lintas budaya dalam memahami dinamika identitas global. Tidak hanya memperkaya wawasan akademik mahasiswa, kegiatan ini juga menggarisbawahi relevansi nilai-nilai pembangunan berkelanjutan.
[Humas Magister Sastra, Marsya Kamila]