
Yogyakarta, 30/5/2025 — Malam penuh makna dan kenangan tersaji dalam acara Tujuh Puluh Dua Tahun Cak Nun dan Bicara Bicara yang digelar pada Jumat Pahing, 30 Mei 2025 di Kawasan Cagar Kreatif Tanah Air, Ngaglik, Sleman. Acara ini dihadiri oleh para seniman, sahabat Cak Nun, dan tamu undangan.
Peringatan 72 tahun Cak Nun ini menjadi penghormatan bagi perjalanan panjang pemikiran beliau sebagai budayawan dan cendekiawan yang telah mewarnai lanskap spiritual dan intelektual Indonesia sejak era 70-an. Dipandu oleh MC Seno Classical, malam itu menghadirkan berbagai pertunjukan dan sambutan dari beberapa teman dekat Cak Nun dalam menuturkan kesaksiannya tentang Cak Nun.
Dalam sambutannya, Prof. Aprinus Salam membagikan kisah personalnya bersama Sang maestro. “Saya ketemu Cak Nun pertama kali sejak saya SMP sekitar tahun 1979. Sejak saat itu saya mengikuti karya-karya Cak Nun, terutama puisinya. Bahkan skripsi dan tesis saya itu tentang puisi Cak Nun.” ujarnya membuka kenangan. Salah satu hal yang paling membekas bagi Prof. Aprinus adalah cara belajar Cak Nun yang otodidak. “Saya selalu penasaran dengan cara beliau belajar, sampai suatu saat saya memperhatikan bahwa beliau belajar dengan cara yang unik, seperti dengan membongkar komputer, lalu mempelajari semua komponennya satu per satu, setelah itu dirakit lagi. Beliau juga bisa memperbaiki mobil rusak. Itu luar biasa,” jelasnya.
Sebagai penutup, ia menyampaikan kenangan paling berkesan. “Kenangan yang selalu saya ceritakan tentang betapa istimewanya beliau adalah beliau makan dan tidur paling sedikit di antara kami. Tingkat keprihatinan beliau sudah jauh sampai disana. Saat bulan Ramadhan, setiap jam 3 pagi beliau rutin mengirim tulisannya dan itu menunjukkan betapa beliau sangat menghargai waktu.” ujarnya.
Sementara itu, kesaksian kedua disampaikan oleh Budi Sarjono, sahabat lama Cak Nun sejak 1974. “Sejak tahun 1974 saya bertemu dia. Waktu itu saya masih bekerja di Majalah Basis. Dia selalu tanya, ‘Bud, ono kertas? Ono amplop? Ono perangko?’ Setelah itu dia duduk dan mengetik dengan cepat sampai menghasilkan 2-3 artikel untuk dikirim ke berbagai surat kabar. Saya kagum sekali.” kenangnya.
Dalam sambutannya, beliau juga menyampaikan kebersamaannya bersama Cak Nun. “Kenangan yang menurut saya berkesan adalah ketika saya meminta beliau untuk berkhotbah dan membaca puisi dalam misa kudus di gereja katolik. Itu sekitar tahun 1975. Meskipun waktu itu sempat terjadi sedikit percekcokan dengan petinggi gereja. Namun yang saya tekankan adalah bagaimana Cak Nun sangat toleran dan meluapkan isi hatinya kepada Tuhan dengan jujur.” tuturnya. Budi Sarjono juga bersaksi bahwa Cak Nun adalah sahabat yang rendah hati. “Cak Nun dengan namanya yang sudah besar kala itu, ia tetap mau kumpul dengan kami, berbincang hingga malam dan kadang menelfon saya hanya meminta untuk dimaki-maki.” tambahnya.
Malam itu, bukan hanya menjadi perayaan usia, tetapi juga penghormatan terhadap seorang pemikir yang tak pernah lelah menggali makna, merawat kebudayaan, dan menyuarakan suara nurani. Acara Tujuh Puluh Dua Tahun Cak Nun dan Bicara Bicara menjadi saksi bahwa perjalanan intelektual dan spiritual Cak Nun terus menginspirasi banyak orang hingga masa kini.
[Humas Magister Sastra, Marsya Kamila]