Yogyakarta, 15/9/2025 – Program Magister Sastra, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, kembali menyelenggarakan kuliah umum yang kali ini bertajuk “Make the Invisible Visible Again: Race, Gender, and Language in Popular Literature”. Acara berlangsung pada Senin (15/9) di Auditorium Gedung Soegondo FIB UGM dengan menghadirkan Dr. Ashika Prajnya Paramita, S.S., M.A. sebagai narasumber utama.
Kuliah umum ini diikuti mahasiswa dan pemerhati sastra yang antusias mendalami bagaimana ideologi bekerja dalam teks-teks populer. Dengan gaya pemaparan yang komunikatif, Dr. Ashika mengajak peserta untuk melihat bahwa sastra tidak pernah hadir sebagai cerita yang netral, melainkan selalu membawa ideologi yang kadang tersembunyi.
Dalam paparannya, Dr. Ashika membuka diskusi dengan pertanyaan sederhana, What’s visible? and What’s invisible? Ia mencontohkan hal-hal sehari-hari yang tampak netral namun sesungguhnya sarat ideologi, mulai dari warna band-aid yang menyesuaikan warna kulit tertentu, wacana beauty, hingga bahasa tertentu yang dianggap lebih baik dari bahasa yang lain. Mengutip Antonio Gramsci, Mbak Ashika menekankan bahwa ideologi bekerja melalui common sense yang dianggap wajar dan alamiah oleh masyarakat. “Everyday ideology is always around us, if we are not aware, we need to check,” jelasnya.
Dr. Ashika juga menyoroti bagaimana representasi ras dan gender hadir dalam karya populer, khususnya film superhero. Contoh yang diangkat antara lain perdebatan tentang Sam Wilson sebagai Captain America, serta anggapan bahwa terpilihnya Barack Obama sebagai presiden kulit hitam otomatis menandai akhir rasisme di Amerika, padahal realitas sosial menunjukkan sebaliknya.
Dalam isu gender, ia menggarisbawahi bagaimana kekuatan fisik dalam film superhero lebih sering dikaitkan dengan laki-laki, sementara karakter perempuan kerap diberikan kekuatan tak kasat mata. “Gender is a kind of imitation for which there is no original,” kutipnya dari Judith Butler (1993), sambil menekankan bahwa maskulinitas dan femininitas selalu dikonstruksi dan berubah sesuai konteks sosial.
Menariknya, Dr. Ashika juga mengajak audiens membaca representasi dalam film Indonesia Satria Dewa: Gatotkaca (2022). Ia menunjukkan bagaimana tokoh-tokoh berkulit putih sering digambarkan sebagai bos, sementara karakter berkulit gelap tampil sebagai satpam atau pekerja kelas bawah. Selain itu, penggunaan aksen bahasa juga membentuk hierarki tersendiri, bahasa Jawa dilekatkan pada orang desa, sedangkan tokoh utama menggunakan gaya bahasa gaul Jakarta.
“Literature is never just stories. Ideologies hide in plain sight. Reading critically is seeing power,” tegasnya, menutup sesi utama kuliah umum.
Sesi tanya jawab berlangsung hangat dengan pertanyaan seputar representasi perempuan dalam komik, bias ideologi dalam membaca karya sastra, hingga standar maskulinitas dalam karakter superhero modern. Mbak Ashika menekankan bahwa progres ideologi tidak pernah linear, melainkan messy dan penuh resistensi. Ia juga mengingatkan pentingnya kesadaran kritis pembaca dalam memeriksa bias masing-masing.
Kuliah umum ini memperlihatkan bahwa kajian sastra populer bukan sekadar membahas hiburan, melainkan juga membuka ruang refleksi kritis tentang kekuasaan, representasi, dan ideologi dalam kehidupan sehari-hari. Melalui kegiatan ini, Magister Sastra UGM menegaskan komitmennya untuk menghadirkan ruang akademik yang relevan dengan isu-isu kontemporer, sekaligus membekali mahasiswa dengan cara pandang kritis dalam membaca teks dan budaya.
Penulis: Marsya Kamila/Humas Magister Sastra
