Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. Kepala Departemen Antropologi Budaya UGM, Prof. Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono, M.A., menjadi narasumber dalam kegiatan Seminar Nasional Menuju Indonesia Sejahtera 2045 bertemakan, “Pengentasan Kemiskinan dalam Perspektif Kebijakan Publik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya”. Diselenggarakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia, kegiatan ini turut menghadirkan pakar pembuat kebijakan dalam bidang kebudayaan, sosial, antropologi, dan praktisi. Kegiatan ini diadakan di Kantor Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas), Jakarta Pusat, Provinsi Daerah Khusus Jakarta.
Dalam rangka menyusun arah kebijakan dan strategi penanggulangan kemiskinan untuk mencapai target RPJPN 2025-2045 dan RPJMN 2025-2029, sejumlah narasumber diberikan kesempatan untuk memaparkan strategi kebijakan yang perlu dicapai. Melihat perspektif kemiskinan dan mitos-mitos kemiskinan yang ada di Indonesia, Prof. Dr. Pujo Semedi, memberikan perspektif dari kacamata budaya dengan membawakan sumber kemiskinan yang berasal dari kemiskinan struktural. Kemiskinan juga dapat timbul dari kerusakan sumber daya yang membatasi masyarakat pada alat, faktor, dan modal produksi, yang justru menjadi basis kehidupan masyarakat tersebut, alhasil masyarakat mengalami kerugian dibandingkan keuntungan.
Prof. Dr. Pujo Semedi, memberikan contoh pada studi kasus nelayan Pesisir Utara Pulau Jawa yang mencari nafkah di Laut Jawa. Dalam studi kasus ini, Laut Jawa mengalami penurunan hasil tangkapan ikan dikarenakan eksploitasi overfishing yang terjadi pada akhir abad ke-19 dan menjelang abad ke-20. Ketika memasuki masa Orde Baru, jumlah tangkapan ikan mulai mengalami kenaikan yang tidak dihasilkan dari Pesisir Perairan Laut Jawa, namun dari ekspansi fishing ground ke laut yang semakin jauh dari pesisir. Strategi nelayan dalam menghadapi hal tersebut adalah dengan mengecilkan ukuran perahu nelayan ke area fishing ground seperti ke perairan Kepulauan Karimunjawa dan melakukan ekspansi area penangkapan ikan hingga menuju perairan Pulau Natuna, Samudera Hindia, dan Laut Arafuru. Konsekuensinya, fishing trip yang dilakukan oleh para nelayan meningkat hingga 8-10 bulan dalam sekali perjalanan serta kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari overfishing dan konflik dengan nelayan lokal.