Yogyakarta, Jumat, 1 Maret 2024. Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat diberi judul “Sinau Sejarah dan Dialog Keistimewaan: Hari Penegakan Kedaulatan Negara”: Makna Penting Yogyakarta Bagi Republik Indonesia” dilakukan oleh Dosen Sejarah FIB UGM, Julianto Ibrahim, S.S., M.Hum. Tujuan diselenggarakanya kegiatan pengabdian ini adalah untuk mensosialisasikan kepada msayarakat Yogyakarta terutama pelajar-pelajar SMA tentang peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Yogyakarta selama revolusi kemerdekaan Indonesia. Salah satu peristiwa yang penting untuk diketahui adalah serangan Umum 1 Maret 1949. Peristiwa ini merupakan peristiwa penting, karena serangan ini memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada. Hal ini berimplikasi terhadap sikap dunia internasional yang menginginkan ibu kota dan para pemimpin Republik dikembalikan ke Yogyakarta. Dengan Serangan Umum ini, kedaulatan negara dapat diraih kembali.
Pelaksanaan pengabdian pada hari Jum’at tanggal 1 Maret 2024 pukul 13.00 sampai 16.00 WIB. Tempat pelaksanaan pengabdian di SMA Negeri 10 Yogyakarta. Pengabdian ini mempunyai nilai penting untuk pembangunan berkelanjutan di Yogyakarta yaitu membentuk masyarakat terutama kaum terpelajar mengerti tentang sejarah Yogyakarta. Pengetahuan ini penting untuk menanamkan semangat nasionalisme dan kepedulian terhadap Yogyakarta dengan berbagai macam permasalahanya. Audien atau sasaran pengabdian adalah siswa-siswa SMA Negeri 10 Yogyakarta. Pengabdian ini bekerja sama dengan Paniradya Kaistimewan Yogyakarta dan SMA Negeri 10 Yogyakarta.
Esensi Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah menunjukkan kepada dunia internasional bahwa TNI dan Republik Indonesia masih ada. Eksistensi Republik dan TNI itu penting untuk diketahui oleh dunia internasional, karena sejak agresi militer Belanda II, pemerintah Belanda menyebarkan berita dan propaganda bahwa pemerintah Indonesia sudah tidak ada. Van Royen selaku wakil Belanda di PBB selalu meyakinkan dunia internasional bahwa agresi militer yang mereka lakukan dapat diterima oleh rakyat Indonesia karena Rakyat Indonesia tidak melakukan penolakan dan aksi-aksi penentangan terhadap Belanda yang waktu itu menguasai ibu kota Yogyakarta dan kota-kota
besar lainnya di Jawa dan Sumatra.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang mendengarkan siaran radio dari BBC London mengenai Sidang umum PBB yang akan diadakan di akhir bulan Pebruari 1949, mempunyai inisiatif untuk melakukan sebuah serangan secara serentak terhadap kedudukan Belanda di Yogyakarta yang dilakukan pada siang hari. Serangan itu dimaksudkan untuk menunjukan kepada dunia internasional bahwa pemerintah dan TNI masih ada dan tidak setuju terhadap aksi-aksi agresi yang dilakukan oleh Belanda. Pada awal bulan Pebruari 1949, Sultan Hamengkubuwono IX mengusulkan kepada Jenderal Sudirman yang sedang bergerilya melalui surat yang dibawa kurir untuk melakukan serangan umum terhadap Belanda yang dilakukan siang hari. Panglima Besar Jenderal Sudirman menyetujui usulan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan memerintahkan untuk berkoordinasi dengan komandan setempat, yaitu Letkol Suharto selaku komandah Wehrkreise III.
Pada tanggal 13 Pebruari 1949 pukul 23.00 – 24.00 dilakukan pembicaraan antara Sultan Hamengkubuwono IX dengan Letkol Suharto di rumah Pangeran Prabuningrat membicarakan rencana serangan umum. Pembicaraan itu menghasilkan beberapa kesepakatan antara lain, Serangan akan dilakukan 2 minggu kemudian, serangan dipimpin oleh komandan Wehrkreise III yaitu Letkol Suharto, Menggunakan simbol pengenal yaitu Janur kuning atau kata sandi “Mataram” dijawab “menang”, para pejuang sudah harus berada di rumah2 penduduk yang ditentukan (ngantong) pada malam sebelum penyerangan, dan persiapan-persiapan logistik serta persenjataan.
Pada tanggal 1 Maret 1949 pukul 06.00 pagi saat sirine jam malam telah berakhir, kurang lebih 2000 pasukan TNI menyerang kedudukan Belanda di Kota Yogyakarta. Belanda yang bermarkas di Benteng Vredeburg dan jalan Malioboro dan sekitarnya dikepung oleh pasukan TNI dari 4 penjuru mata angin. Serangan itu berakhir pada pukul 13.00 siang seteah pasukan Anjing NICA dari Semarang berhasil memasuki Yogyakarta.
Berita Serangan umum ini segera diberitakan melalui radio AURI di Playen Wonosari dan dipancarkan ke seluruh dunia, sehingga dunia tahu bahwa Pemerintah Indonesia dan TNI masih ada. Hal ini berakibat, PBB mendesak Belanda untuk melakukan perundingan yang bermuara pada pengakuan kedaulatan Bangsa Indonesia pada Konferensi Meja Bundar tanggal 27 Desember 1949.