• About UGM
  • Academic Portal
  • IT Center
  • Library
  • Research
  • Webmail
  • Informasi Publik
  • Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Manajemen
    • Tenaga Kependidikan
    • Tenaga Pendidik
  • Akademik
    • Kalender Akademik
    • Program Sarjana
      • Antropologi Budaya
      • Arkeologi
      • Sejarah
      • Pariwisata
      • Bahasa dan Kebudayaan Korea
      • Bahasa dan Sastra Indonesia
      • Sastra Inggris
      • Sastra Arab
      • Bahasa dan Kebudayaan Jepang
      • Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa
      • Bahasa dan Sastra Prancis
    • Program Master/S2
      • Magister Antropologi
      • Magister Arkeologi
      • Magister Sejarah
      • Magister Sastra
      • Magister Linguistik
      • Magister Pengkajian Amerika
      • Magister Kajian Budaya Timur Tengah
    • Program Doktor/S3
      • Antropologi
      • Ilmu-ilmu Humaniora
      • Pengkajian Amerika
    • Beasiswa
  • KPPM
    • Info Penelitian
    • Publikasi Ilmiah
    • Pengabdian Masyarakat
    • Kerjasama Luar Negeri
    • Kerjasama Dalam Negeri
  • Organisasi Mahasiswa
    • Lembaga Eksekutif Mahasiswa
    • Badan Semi Otonom
      • KAPALASASTRA
      • Persekutuan Mahasiswa Kristen
      • LINCAK
      • Saskine
      • Keluarga Mahasiswa Katolik
      • Dian Budaya
      • Sastra Kanuragan (Sasgan)
      • Keluarga Muslim Ilmu Budaya (KMIB)
      • Bejo Mulyo
    • Lembaga Otonom
      • Himpunan Mahasiswa Arkeologi
      • Ikatan Mahasiswa Jurusan Inggris
      • Himpunan Mahasiswa Pariwisata
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia
      • Ikatan Mahasiswa Sastra Asia Barat
      • Himpunan Mahasiswa Bahasa Korea
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara
      • Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah
      • Himpunan Mahasiswa Studi Prancis
      • Keluarga Mahasiswa Antropologi
      • Himpunan Mahasiswa Jepang
  • Pendaftaran
  • Beranda
  • SDG 4 Pendidikan Berkualitas
  • SDG 4 Pendidikan Berkualitas
Arsip:

SDG 4 Pendidikan Berkualitas

Mahasiswa NCCU Ikuti Kamis Pon Berbudaya di FIB UGM

Rilis BeritaSDGSSDGs 11: Kota dan Pemukiman Yang Berkelanjutan Kamis, 17 Juli 2025

Yogyakarta, 10 Juli 2025 – Mahasiswa magang dari National Chengchi University (NCCU), Taiwan, turut berpartisipasi dalam kegiatan Kamis Pon Berbudaya yang rutin diperingati oleh Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada. Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya FIB UGM dalam memperkenalkan nilai-nilai budaya Jawa khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta kepada mahasiswa internasional melalui pendekatan partisipatif dan edukatif.

Mahasiswa NCCU turut mengenakan baju batik dan didampingi mahasiswa paruh waktu Humas FIB, Alma dan Candra. Mahasiswa NCCU memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai makna dan filosofi Kamis Pon dalam tradisi masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta.

Alma dan Candra menjelaskan bahwa Kamis Pon merujuk pada perpaduan hari Kamis dan pasaran Pon dalam penanggalan Jawa. Alma dan Candra juga menceritakan bahwa Sebelumnya  hari berpakaian adat jatuh pada Kamis Pahing, memperingati perpindahan Keraton Ambarketawang ke kota Yogyakarta. Lalu pada Tahun 2024, Pemda DIY menetapkan Kamis Pon sebagai representasi Hari Jadi DIY, sesuai edaran Gubernur DIY No. 400.5.9.1/40 tertanggal 8 Januari 2024. Hal ini memiliki makna simbolik yang kuat dalam kehidupan masyarakat, terutama di lingkungan Keraton Yogyakarta, di mana Kamis Pon dianggap sebagai waktu yang sakral. Hari ini sering dimanfaatkan untuk kegiatan spiritual, refleksi, dan pelestarian budaya sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur.

“Kami merasa ini sesuatu yang baru bagi kami mengenakan pakaian batik di hari tertentu,” ungkap salah satu mahasiswa NCCU.

Keterlibatan aktif mahasiswa internasional dalam kegiatan budaya ini sejalan dengan komitmen FIB UGM dalam mendukung implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 4 (Pendidikan Berkualitas) dan SDG 11 (Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan), melalui pendidikan lintas budaya dan pelestarian warisan takbenda.

Dengan rutin menggelar kegiatan Kamis Pon Berbudaya, FIB UGM terus mendorong terciptanya ruang dialog antarbudaya yang inklusif, di mana mahasiswa dari berbagai latar belakang dapat saling belajar dan membangun pemahaman yang lebih luas tentang keberagaman.

[Humas FIB UGM, Alma Syahwalani]

Dari Hikayat Ke Kandha: Interaksi Sastra Melayu-Jawa Dalam Pembentukan Pakem Lakon Wayang Purwa

Rilis BeritaSDGSSDGs 17: Kemitraan Untuk Mencapai TujuanSDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi Selasa, 15 Juli 2025

Yogyakarta, 2 Juli 2025 –  Dalam Seminar Antarabangsa Kajian Melayu-Jawa, Dr. Rudy Wiratama memperkenalkan Wayang Purwa sebagai bagian dari kebudayaan Nusantara yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-harian masyarakat Austronesia.

Dalam “Wayang Purwa”, kata “Purwa” berarti “awal dan asal”. Wayang Purwa yang pertama kali tercatat pada abad ke-10 Masehi, mengambil cerita dari dua epos yang besar India: Mahabharata dan Ramayana, dengan cara menyatukan unsur kesenian budaya Jawa melalui pertunjukan-pertunjukan siluet wayang tokoh dan hewan, serta menggabungkan musik dan nyanyian tradisional Jawa untuk menceritakan kisah-kisah mitos dan legenda. Dengan kata lain, Wayang Purwa dapat dianggap sebagai produk budaya yang lahir dari perpaduan erat antara peradaban budaya Indonesia dan budaya Hindu.

Dr. Rudy Wiratama kemudian mengemukakan serta mencoba untuk menjelaskan pokok dalam permasalahan berikutnya: Meskipun Wayang Purwa dikatakan menggunakan epos India Mahabharata dan Ramayana sebagai bahan ceritanya, namun dalam karya kesenian terkait yang diterbitkan di masa kini sering kali ditemukan penyimpangan dari versi Sanskritnya. Untuk memahami sejauh apa hal ini terjadi dan menganalisis faktor-faktor di baliknya, Dr. Rudy menyusun dua hipotesis dari studi terkait:

  1. JJ RAS (1988) menduga bahwa terdapat dua arus persebaran Mahabharata dan Ramayana di Kepulauan Nusantara: Arus pertama melalui kaum elite membawa tradisi tulisan, yang kemudian menjadi penopang sastra penting bagi kaum Kakawin; arus kedua melalui tim pedagang yang membawa versi rakyat dari kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana, yang dilestarikan oleh dalang-dalang. I Kuntara Wiryamartana dalam penelitiannya tentang karya sastra Jawa Kuno dan penerimaannya dalam karya sastra Jawa Baru menganggap bahwa perubahan cara membaca dan mencatat Mahabharata dan Ramayana dipengaruhi oleh kakografi ( kesalahan membaca ) dan hilangnya penguasaan para pujangga selanjutnya dalam bahasa kuno.    

 

  1. SUMARSIH (1985) menunjukkan bahwa terutama dalam Ramayana ditemukan petunjuk yang menunjukkan bahwa Ramayana Pesisiran memiliki kesamaan sumber dengan Hikayat Seri Rama Melayu. Annabel Teh-Gallop (2015) lebih lanjut meragukan: Pada masa kemunduran Majapahit pada abad ke-15 hingga ke-16, saat kerajaan Islam mendorong perluasan jaringan perdagangan global di Asia Tenggara, pertukaran budaya yang semakin sering antara Jawa dan Melayu memengaruhi penciptaan versi “epos lokal” dari Mahabharata dan Ramayana.

Terakhir tetapi tidak kalah penting, Dr. Rudy Wiratama secara singkat merangkum kebangkitan dan dampak-dampak interaksi sastra Melayu-Jawa dalam keterkaitan Wayang Purwa: Keterkaitan Jawa-Melayu dalam proses pembentukan Wayang Purwa di masing-masing daerah pasti mengalami pasang surut. Setelah berlalunya masa Kerajaan Majapahit, persebaran Wayang Purwa kembali menyebar luas di Kepulauan Nusantara, namun jalur-jalur penyebab yang berbeda seperti tren-trennya berbalik dengan pekerja migran ke wilayah Malaysia dan warga transmigrasidi di pulau-pulau luar Pulau Jawa.

Yang lebih menariknya, pada fase ini, pertautan Wayang Purwa Jawa serta Melayu tidak terjalin lagi, kecuali di beberapa kuliyah yang memiliki ciri khas lokal Wayang Purwa sebagaimana Banjarmasin dan Palembang. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga tidak ditulisnya sebagai Wayang Purwa, melainkan Wayang Banjar atau Wayang Palembang.

[National Chengchi University, Wu Yu Han]

Dari Taiwan ke Yogyakarta untuk Menjadi Bunga yang Mekar: Kehidupan Magang Pan Ke En di FIB UGM

Rilis BeritaSDGSSDGs 17: Kemitraan Untuk Mencapai TujuanSDGs 4: Pendidikan BerkualitasSDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi Selasa, 15 Juli 2025

Yogyakarta, 10 Juli 2025 – Pada bulan Juli, di meja kerja Ruang Humas Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM), tampak tiga wajah asing. Mereka adalah mahasiswa magang dari National Chengchi University (NCCU), Taiwan, nama mereka adalah Wu Yu Han (beritanya dapat diakses melalui tautan), Wang Hui Chen (beritanya dapat diakses melalui tautan), dan salah satunya yang akan diperkenalkan hari ini adalah Pan Ke En.

“Halo! Nama saya Pan Ke En. Saya mahasiswa Jurusan Bahasa dan Budaya Asia Tenggara (kelompok Indonesia) di NCCU. Saat ini saya berada di tingkat akhir dan diperkirakan akan lulus pada bulan Juni 2025. Hobbi saya adalah menonton film dan berjalan-jalan ke luar negeri untuk merasakan budaya yang berbeda,” ujarnya. Sebagai mahasiswa yang studi bahasa Indonesia, dia akrab dipanggil Bunga oleh dosen dan teman-temannya di NCCU. Panggilan ini juga selalu dipakai oleh rekan-rekan di ruang Humas.

“Bunga, artikelnya sudah selesai?” Setiap pagi begitu melangkah masuk kantor, teman-teman di ruang Humas selalu menanyakan perkembangan pekerjaannya. Selama magang di ruang Humas, Bunga bertanggung jawab menulis berita berbagai kegiatan dalam Bahasa Indonesia. “Seperti seminar, pertunjukan budaya, atau kuliah umum dan sebagainya,” jelasnya. Selain menulis, dia juga sering mondar-mandir di lokasi acara untuk mengambil foto dan mencatat hal-hal penting, mendokumentasikan setiap momen yang krusial.

 

Walaupun kehidupan magangnya terasa sibuk dan menarik, Bunga tak menampik bahwa menerapkan Bahasa Indonesia yang dipelajari di kelas ke pekerjaan sehari-hari tetap menjadi tantangan baru baginya. “Tantangan yang saya hadapi saat belajar bahasa Indonesia adalah memahami berbagai dialek dan ungkapan lokal. Menggunakan bahasa Indonesia langsung di lingkungan kerja terasa menantang tapi juga menyenangkan,” ungkapnya. Menurut Bunga, hal ini memang membantu dia untuk berkembang lebih cepat.

 

Selain harus berani berbicara langsung dalam Bahasa Indonesia, Bunga juga sering menemui kendala saat menulis. Dia mencontohkan, beberapa istilah khusus dalam Bahasa Mandarin memang tidak selalu punya padanan kata yang pas dalam Bahasa Indonesia, dan jika diterjemahkan secara kata per kata, maknanya bisa melenceng. “Seperti cerita tentang nasi goreng Taiwan dan nasi goreng Indonesia. Di dalamnya saya menyebut istilah ‘鑊氣 (wok hei)’, yang artinya aroma khas dari wajan panas. Tapi dalam Bahasa Indonesia tidak ada satu kata pun yang benar-benar mewakili maksud ini. Akhirnya saya tulis dulu dengan ejaannya, lalu saya tambahkan penjelasan dalam Bahasa Indonesia dan pembaca bisa memahami maksudnya,” jelasnya.

 

Menhadapi berbagai tantangan dalam tugas sehari-hari juga membuat Bunga lebih bersyukur. “Karena dulu sempat mengambil mata kuliah Menulis dalam Bahasa Indonesia di NCCU. Kuliah ini juga melatih saya untuk menyusun kalimat dengan struktur yang benar dan gaya bahasa yang efektif, sehingga saya dapat menulis laporan dan artikel dengan lebih percaya diri dan profesional,” dia menambahkan dengan nala lega.

Magang di luar negeri memang penuh tantangan, tetapi bagi Bunga justru di situlah letak daya tariknya.

“Di sini ada lingkungan yang mendukung pembelajaran bahasa, kedalaman pengalaman budaya yang bisa saya rasakan secara langsung, dan kekayaan sumber daya akademik yang dimiliki oleh fakultas ini,” dia menegaskan alasan mengapa magang di UGM. Bagi Bunga, pengalaman ini bukan kesempatan belajar Bahasa Indonesia, tetapi juga menjadi awal baginya untuk tumbuh dan mekar, membuka lebih banyak peluang karier setelah lulus nanti.

[National Chengchi University, Wang Hui Chen]

Melihat Jogja yang Inklusif dan Berani Lewat Pemutaran Film Jagad’e Raminten di ARTJOG

Rilis BeritaSDGSSDGs 10: Berkurangnya kesenjanganSDGs 4: Pendidikan BerkualitasSDGs 5: Kesetaraan Gender Selasa, 15 Juli 2025

Yogyakarta, 5 Juli 2025 – Sebagai salah satu festival seni kontemporer terbesar di Indonesia, ARTJOG selalu menjadi ruang pertemuan seniman, penikmat seni, dan publik luas. Diselenggarakan setiap tahun di Yogyakarta, ARTJOG tidak hanya memamerkan karya rupa, tetapi juga merangkul seni pertunjukan, diskusi, film, hingga kolaborasi lintas disiplin. Dengan tema yang berbeda setiap tahunnya, ARTJOG mendorong penonton untuk merasakan Jogja sebagai kota seni yang hidup, terbuka, dan penuh ide segar.

Salah satu program ARTJOG tahun ini adalah pemutaran film Jagad’e Raminten yang diproduksi oleh Kalyana Shira Foundation. Dokumenter berdurasi 95 menit ini disutradarai dan ditulis oleh Nia Dinata, diproduseri dan ikut ditulis oleh Dena Rachman, serta Melissa Karim sebagai produser bersama. Jagad’e Raminten menyoroti kisah Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Tanoyo Hamijinindyo, atau dikenal sebagai Hamzah Sulaiman.

Sosok Raminten sendiri merupakan salah satu ikon budaya Jogja yang lahir dari kreativitas Hamzah Sulaiman. Sebagai seniman, Hamzah Sulaiman menciptakan karakter Raminten yang beliau perankan dalam acara komedi situasi di stasiun televisi lokal Jogja TV. Karakter ini kemudian menjadi inspirasi berdirinya The House of Raminten dan Raminten Cabaret Show.

Pada pemutaran film yang diselenggarakan pada tanggal 5 Juli, penonton diajak menelusuri kembali sosok mendiang Hamzah Sulaiman melalui sudut pandang para pemain Raminten Cabaret. Hamzah Sulaiman tidak hanya dikenal sebagai seorang pengusaha sukses yang mendirikan Toko Hamzah Batik serta sejumlah restoran Raminten, tetapi juga sebagai seorang dermawan yang telah mengadopsi anak-anak dan membuka ruang ekspresi bagi komunitas Inklusif melalui panggung Raminten Cabaret.

Sejak pertama kali diadakan, Raminten Cabaret telah berperan sebagai wadah ekspresi diri bagi kalangan yang kerap terpinggirkan. Namun demikian, perjalanan menuju penerimaan publik bukanlah suatu proses yang mudah. Seusai penayangan film, salah seorang penonton, Nia, membagikan pengalamannya: “Saya menonton ini rasa relate gitu, karena baru semalam saya nonton Raminten Cabaret Show, dan saya bahkan tahunya bukan dari orang Indonesia, tapi dari teman saya yang dari Singapura. Jadi memang Raminten Cabaret kayaknya udah cukup mendunia.” Selain itu, Nia juga menyampaikan rasa penasaran yang mewakili banyak penonton: bagaimana Cabaret Raminten bisa perlahan diterima oleh masyarakat?

Menanggapi hal itu, BaBam, salah satu pemain Raminten Cabaret, menjawab: “Persepsi masyarakat pasti pada awalnya kita sebagai komunitas itu tidak mengerti, dipandang sebelah mata, dan memang sangat membutuhkan waktu untuk Cabaret Raminten bisa diterima. Sekarang ini sudah 16 tahun kami berdiri, dan itu pun tidak langsung mudah. Mungkin baru sekitar 7–8 tahun terakhir kami mulai dikenal lebih luas, bahkan sampai ke luar daerah, meski di rumah sendiri belum tentu diterima sepenuhnya,” tutur BaBam.

Namun demikian, para pemain Raminten Cabaret akan terus berjuang. “Itulah pelajaran dari Kanjeng, yaitu dedikasi dan kerja keras,” lanjutnya. Dengan warisan nilai itu, Raminten Cabaret terus membuktikan bahwa seni bisa menjadi ruang aman bagi siapa saja untuk berekspresi. “Akan saya teruskan dan teman-teman dari Raminten Cabaret juga jalankan, dan semoga kami bisa terus berkarya tanpa kemunduran,” tambah BaBam.

Berbekal dedikasi dan ketulusan orang-orang di dalamnya, Raminten boleh berpulang, tetapi jagadnya akan tetap hidup.

[National Chengchi University, Wang Hui Chen] 

Langkah Kecil dari Keraton: Eka dan Dedikasinya untuk Seni Tari

Rilis BeritaSDGSSDGs 11: Kota dan Pemukiman Yang BerkelanjutanSDGs 4: Pendidikan BerkualitasSDGs 5: Kesetaraan Gender Selasa, 15 Juli 2025

Yogyakarta, 14 Juli 2025 – Perjalanan panjang dalam dunia tari telah dilalui Eka Nur Cahyani, mahasiswa Program Studi Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada angkatan 2023. Sejak usia 7 tahun, Eka telah mengenal dan mencintai seni tari klasik, khususnya Gaya Yogyakarta, berkat dukungan dari almarhum ayahnya yang merupakan abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

“Saya mulai menari sejak kecil, sering diajak ke kraton oleh ayah. Sejak itu saya jatuh cinta pada tarian klasik, dan terus belajar sampai sekarang,” kenangnya.

Meski tidak pernah belajar di sanggar tari formal, Eka mendapat ilmu dari para guru seni sejak sekolah dasar hingga kini aktif sebagai anggota UKM Swagayugama UGM. Di sana, ia belajar langsung dari pemucal beksan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Dra. Veronica Ratnaningsih (Nyi Mas Riya Murtiharini).

Dedikasi Eka dalam bidang tari tidak berhenti pada aktivitas menari semata. Ia juga pernah menjadi instruktur dalam Kampung Menari, program Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, serta mengajar anak-anak di Pakembinangun. Sejak 2024, ia bergabung dalam Pamulangan Hamong Beksa di Karaton, tempat ia belajar secara mendalam mengenai teknik, ragam gerak, filosofi, hingga etika dalam tari klasik gaya Yogyakarta.

 

Selain mendalami tari klasik Gaya Yogyakarta, Eka juga memperluas wawasannya dengan mempelajari tari klasik Gaya Surakarta, seperti tarian gambyong dan srimpi. Saat ini, ia aktif mengikuti Pamulangan Hamong Beksa di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Setiap Minggu pukul 12.00, Eka hadir di kraton dengan mengenakan busana lengkap (jangkep), terdiri dari kebaya tangkeban, jarik seredan, sanggul tekuk dan subal, subang, serta membawa Sampur Gendala Giri..

“Saya termotivasi untuk terus belajar karena saya berasal dari keluarga seniman karena kakek saya seorang dhalang, simbah kakung abdi dalem, dan ibu seorang sindhen,” ujarnya.

Bagi Eka, menari bukan hanya soal estetika gerak, melainkan juga ekspresi spiritual dan personal. Ia menyebut bahwa setiap gerakan tari mengandung filosofi kesabaran, keikhlasan, dan keselarasan antara tubuh, rasa, dan irama.

“Menari adalah bentuk doa. Gerakannya mengajarkan kita untuk ikhlas dan sabar dalam menghadapi hidup,” ujar Eka.

Sejak memulai perjalanannya di dunia tari, Eka telah tampil di puluhan panggung, mulai dari acara kampus seperti tampil di Paket Wisata Pentas Kraton Lakon Senggana Duta oleh UKM Swagayugama di Bangsal Srimanganti Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat  dan Pagelaran Akbar Swagayugama di Taman Budaya Yogyakarta, hingga forum nasional dan internasional seperti Seminar Antarabangsa Kajian Melayu-Jawa (SEMEJA IV) dan ASEAN in Today’s World.

Meskipun telah sering tampil, Eka tetap menjaga semangat belajarnya. Ia menekankan pentingnya memahami konsep wiraga, wirama, dan wirasa, serta mengenal nama-nama dan makna ragam gerak dalam tarian. Menurutnya, konsistensi lahir dari kecintaan dan keinginan untuk terus berkembang.

Perjalanan Eka Nur Cahyani dalam dunia tari sejak usia tujuh tahun tak hanya mencerminkan kecintaan pada seni, tetapi juga kontribusi nyata terhadap pembangunan berkelanjutan. Melalui aktivitas belajar dan mengajar tari, khususnya kepada anak-anak, Eka mendukung SDG 4: Pendidikan Berkualitas. Perannya sebagai perempuan yang aktif melestarikan budaya juga sejalan dengan SDG 5: Kesetaraan Gender.

Selain itu, keterlibatannya dalam menjaga dan menghidupkan seni tari klasik turut memperkuat SDG 11: Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan, dengan melestarikan warisan budaya tak benda sebagai identitas masyarakat Yogyakarta.

Eka membuktikan bahwa pelestarian budaya bukan hanya tugas generasi terdahulu, tetapi tanggung jawab generasi kini untuk masa depan yang lebih berbudaya.

“Jika memang kita merasa memiliki bakat perlu untuk dikembangkan dengan terus berlatih dan tidak takut untuk mencoba karena menurut saya belajar tidak akan membuat menyesal dan setiap proses dalam belajar itulah yang akan membentuk diri kita untuk menjadi pribadi dengan jati diri yang sebenarnya.” – Eka Nur Cahyani

[Humas FIB UGM, Alma Syahwalani]

1234

Rilis Berita

  • Dekolonisasi Arsip Fotografi: Membangkitkan Kembali Gambar-Gambar Kolonial untuk Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat
  • Siapa Sangka Seorang Mahasiswa Sastra Arab Diterima Magang di Perusahaan BUMN? Inilah Kontribusi Faris Zakiy untuk Masyarakat
  • Mahasiswa NCCU Ikuti Kamis Pon Berbudaya di FIB UGM
  • “Berdongeng Bisa Menyentuh Lebih Dalam dari Logika”: Kisah Pandhita, Mahasiswa Sastra Arab yang Menjadikan Storytelling Sebagai Jalan Hidup
  • Promosi Doktor Arina Isti’anah: Membongkar Wacana Ekologis dalam Promosi Pariwisata Indonesia

Arsip Berita

Video UGM

[shtmlslider name='shslider_options']
Universitas Gadjah Mada

Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Jl. Nusantara 1, Bulaksumur Yogyakarta 55281, Indonesia
   fib@ugm.ac.id
   +62 (274) 513096
   +62 (274) 550451

Unit Kerja

  • Pusat Bahasa
  • INCULS
  • Unit Jaminan Mutu
  • Unit Penelitian & Publikasi
  • Unit Humas & Kerjasama
  • Unit Pengabdian kepada Masyarakat & Alumni
  • Biro Jurnal & Penerbitan
  • Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
  • Pusaka Jawa

Fasilitas

  • Perpustakaan
  • Laboratorium Bahasa
  • Laboratorium Komputer
  • Laboratorium Fonetik
  • Student Internet Centre
  • Self Access Unit
  • Gamelan
  • Guest House

Informasi Publik

  • Daftar Informasi Publik
  • Prosedur Permohonan Informasi Publik
  • Daftar Informasi Tersedia Setiap Saat
  • Daftar Informasi Wajib Berkala

Kontak

  • Akademik
  • Dekanat
  • Humas
  • Jurusan / Program Studi

© 2024 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY