• About UGM
  • Academic Portal
  • IT Center
  • Library
  • Research
  • Webmail
  • Informasi Publik
  • Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Manajemen
    • Tenaga Kependidikan
    • Tenaga Pendidik
  • Akademik
    • Kalender Akademik
    • Program Sarjana
      • Antropologi Budaya
      • Arkeologi
      • Sejarah
      • Pariwisata
      • Bahasa dan Kebudayaan Korea
      • Bahasa dan Sastra Indonesia
      • Sastra Inggris
      • Sastra Arab
      • Bahasa dan Kebudayaan Jepang
      • Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa
      • Bahasa dan Sastra Prancis
    • Program Master/S2
      • Magister Antropologi
      • Magister Arkeologi
      • Magister Sejarah
      • Magister Sastra
      • Magister Linguistik
      • Magister Pengkajian Amerika
      • Magister Kajian Budaya Timur Tengah
    • Program Doktor/S3
      • Antropologi
      • Ilmu-ilmu Humaniora
      • Pengkajian Amerika
    • Beasiswa
  • KPPM
    • Info Penelitian
    • Publikasi Ilmiah
    • Pengabdian Masyarakat
    • Kerjasama Luar Negeri
    • Kerjasama Dalam Negeri
  • Organisasi Mahasiswa
    • Lembaga Eksekutif Mahasiswa
    • Badan Semi Otonom
      • KAPALASASTRA
      • Persekutuan Mahasiswa Kristen
      • LINCAK
      • Saskine
      • Keluarga Mahasiswa Katolik
      • Dian Budaya
      • Sastra Kanuragan (Sasgan)
      • Keluarga Muslim Ilmu Budaya (KMIB)
      • Bejo Mulyo
    • Lembaga Otonom
      • Himpunan Mahasiswa Arkeologi
      • Ikatan Mahasiswa Jurusan Inggris
      • Himpunan Mahasiswa Pariwisata
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia
      • Ikatan Mahasiswa Sastra Asia Barat
      • Himpunan Mahasiswa Bahasa Korea
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara
      • Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah
      • Himpunan Mahasiswa Studi Prancis
      • Keluarga Mahasiswa Antropologi
      • Himpunan Mahasiswa Jepang
  • Pendaftaran
  • Beranda
  • SDGs 4: Pendidikan Berkualitas
  • hal. 5
Arsip:

SDGs 4: Pendidikan Berkualitas

Panik : Tokek Datang!

Rilis BeritaSDGSSDGs 15: Ekosistem daratanSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Rabu, 23 Juli 2025

Yogyakarta, 11 Juli 2025 – Hidup di Yogyakarta tidak selalu berjalan mulus bagi kami, para mahasiswa magang dari Taiwan. Selain tantangan bahasa yang harus dihadapi setiap hari, kadang juga ada momen mendadak yang memacu adrenalin.

Suatu malam, setelah menyelesaikan semua jadwal hari itu, kami kembali ke kos-kosan. Tanpa sengaja, saya melihat seekor reptil besar di dinding. “Ada tokek!” Kemudian saya langsung memberi tahu dua teman magang lainnya. Awalnya mereka tidak terlalu peduli, sampai saya menambahkan, “Tokek ini lebih panjang daripada wajahku!” Seketika suasana jadi tegang, dan kami bertiga bergegas memanggil pemilik kos untuk membantu mengusir tamu tak diundang itu.

Awalnya, pemilik kos hanya menanggapi kepanikan kami dengan santai. Setelah kami beberapa kali menekankan betapa besarnya tokek itu, beliau membalas dengan satu kata, “Serius?” barulah beliau mulai memperhatikan kekhawatiran kami. Setelah kami mengirimkan foto “penyusup” itu, pemilik kos bukannya takut, malah menenangkan kami dan sambil bercerita bagaimana orang Indonesia memaknai Tokek.

“Di Indonesia dan banyak daerah di Asia Tenggara, orang percaya tokek bisa membawa keberuntungan, bahkan sering dianggap sebagai simbol rezeki dan kemakmuran,” ujar pemilik kos. Selain itu, menurut dia, suara tokek juga sering dipercaya bisa menjadi petunjuk. Jika suaranya berjumlah ganjil, itu dianggap pertanda baik, kalau tokek berbunyi tujuh kali berturut-turut, konon keesokan harinya cuaca akan cerah. Dalam budaya Tionghoa pun, meski tidak semua orang mempercayainya, ada juga yang menganggap tokek sebagai penarik rezeki.

Bagi kami bertiga yang berasal dari Taiwan, kepercayaan seperti ini tentang tokek memang jarang terdengar. Yang kami tahu, dalam pengobatan tradisional Tiongkok, tokek kering kadang digunakan sebagai bahan obat. Katanya, tokek yang sudah dikeringkan bisa membantu menurunkan kadar gula darah, dan terutama bagian ekornya dipercaya dapat membantu mencegah penuaan. Karena itu, tokek sering dianggap sebagai bahan perawatan tubuh yang bernilai.

Sebagai mahasiswa asal Taiwan, melihat seekor tokek yang sebesar wajah memang membuat kami kaget setengah mati, tapi pengalaman ini juga membuka jalan untuk mengenal sisi lain dari budaya Indonesia. Apakah kalian juga pernah bertemu tokek di Indonesia? Di budaya kalian sendiri, tokek punya makna seperti apa?

[National Chengchi University, Wang Hui Chen]

Gaya Hidup Modern Diikuti oleh Pemuda di Indonesia dan Taiwan

Rilis BeritaSDGSSDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang TangguhSDGs 3: Kehidupan Sehat dan SejahteraSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Rabu, 23 Juli 2025

Yogyakarta, 16 Juli 2025 – Seiring dengan kemajuan teknologi, kehidupan orang-orang menjadi nyaman sebisa-bisanya, namun, pada saat yang sama, fenomena sebagaimananya juga mengubah secara signifikan gaya hidup masyarakat. Dalam diskusi kali ini, saya akan jelaskan fakta-fakta tentang bagaimana gaya hidup zaman sekarang pemuda di Taiwan dan bagaimana gaya hidup zaman sekarang pemuda di Indonesia, dengan memperkenalkan kedua-duanya dan berbagi pendapatnya mengenai kejadian ini, kami bisa lihat bersama-sama.

Pertama-tama, gimana gaya hidup zaman sekarang pemuda di Taiwan, dengan perkembangan media sosial, sebagaimana instagram, TikTok, buku merah dan lain-lain, anak muda lebih memilih untuk mencari kehidupan nyata di platformnya, dengan berbagi cerita hariannya di media sosial, mendapatkan perhatian tema-temanya dan semakin terbiasa hidup di zaman “Facebook“, mereka merasa lebih mudah dan cepat untuk saling berkomunikasi di Internet daripada mencari kafe untuk berbincang-bincang secara langsung.

Selain itu, karena semakin banyak orang-orang yang membuat video kehidupan di media sosial, ada juga pekerjaan khusus muncul di masyarakat modern, namanya “pemberi pengaruh“.

Di sini lain, kejadiannya juga terjadi di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan besar Jepang, namanya Cover, sudah memutuskan untuk membentuk kelompok “Vtubers“ di Indonesia, pemberi pengaruh bisa mengobrol dengan orang-orang di Internet melalui suaranya, anak muda juga sering mengumpulkan pengetahuan lewat net, dan semakin banyak kaum muda meningkatkan interaksi dengan siaran langsung atau mengambil video beragam seperti perjalanan, menari, bernyanyi dan lain-lainnya.

Ada contoh lainnya tentang gaya hidup modern diikuti oleh pemuda, semester lalu saya dan kelompok saya ke Taipei berkunjung ke stasiun untuk mewawancarai orang Indonesia. Karena hari itu Natal, banyak orang memberi bagasinya dan mengambil foto-foto bersama-sama di depan pohon Natal, baik orang Taiwan maupun orang Indonesia. Semuanya bisa melalui HP untuk berhubungan satu sama lain langsung.

Pada zaman dulu, orang-orang hanya bisa menelepon keluarganya untuk mengetahui kabarnya, tapi kini semuanya bisa melalui mengambil fotonya, membuat reels atau videonya untuk berbagi lingkungan mereka. Semua adalah fakta tentang gaya hidup modern pemuda di Taiwan dan Indonesia.

Terakhir yang tidak kalah penting, sebagai anggota generasi muda, saya mau bagikan pendapat saya: Perkembangan internet yang lancar membuat kita lebih mudah untuk berkomunikasi secepat-cepatnya, berhubungan dengan satu sama lain seboleh-bolehnya, dan bagikan pendapat dan cerita sendiri sebaik-baiknya.

Namun, jika kita terlalu bergantung pada teknologi, kita tidak dapat berhadapan dengan diri sendiri. Semuanya bisa memiliki berbagai macam gaya hidup, tapi jangan biarkan gaya hidup menduduki semuanya.

[National Chengchi University, Wu Yu Han]

 

Ayo ke Kotagede, Belajar Jadi Pandai Perak!

Rilis BeritaSDGSSDGs 4: Pendidikan BerkualitasSDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi Rabu, 23 Juli 2025

Yogyakarta, 10 Juli 2025 – Datang ke Yogyakarta, para pelancong pasti tidak akan melewatkan Jalan Malioboro, Candi Prambanan, atau Candi Borobudur. Tapi tahukah? Beberapa kilometer ke arah tenggara dari Malioboro, tersembunyi sebuah kawasan tua di balik gang-gang kecil, di mana siang hari selalu ramai orang berlalu-lalang, dan di balik rumah-rumah lama terdengar suara denting palu. Tempat itu bernama Kotagede, sentra kerajinan perak paling terkenal di Yogyakarta.

Di sini bukan hanya terkenal sebagai kampung perak, tetapi juga banyak bengkel kerja yang terbuka untuk umum, sehingga siapa pun bisa merasakan pengalaman membuat perhiasan perak yang unik dengan tangan sendiri. Suatu hari, tiga mahasiswa magang dari Humas FIB melangkah masuk ke salah satu bengkel di Kotagede, mencoba menjadi pandai perak sehari.

Begitu pintu bengkel dibuka, seorang pengrajin menyambut kami dengan senyum ramah. Sambil mengajak kami melihat-lihat peralatan, beliau mulai menjelaskan tahapan proses pembuatan perhiasan perak. Membuat perhiasan perak dimulai dari tahap peleburan logam. Beliau mengambil sebatang perak dan menjelaskan bahwa agar perak murni menjadi lebih keras dan mudah ditarik menjadi kawat halus, para pengrajin biasanya mencampurkan sedikit tembaga, kemudian melelehkannya bersama perak pada suhu tinggi. Setelah itu, logam cair dicetak menjadi batangan perak, lalu digiling berulang kali dengan mesin rol atau ditarik menjadi kawat sesuai kebutuhan.

Secara umum, kerajinan perak dibagi menjadi dua teknik: filigree dan solid silver. Kali ini, kami mencoba membuat perak filigree yang terkenal halus dan detail. Sang pengrajin membagikan kepada kami masing-masing sebungkus kawat perak tipis dan rangka cincin. Beliau pun menunjukkan cara membentuk kawat perak mengikuti pola desain, satu per satu dililit, ditekuk, dan perlahan diisi ke dalam bingkai cincin sampai pola terbentuk sempurna.

Saat giliran kami mencoba sendiri, barulah kami sadar ternyata tidak semudah kelihatannya. Setelah rangka dasar terbentuk, kawat perak yang harus diisi ke dalam bingkai tidak boleh meleset sedikit pun, kalau tidak, hasilnya tidak akan rapat. Kami bertiga memegang pinset kecil, berusaha menjepit kawat halus dengan hati-hati, takut kalau tangan sedikit terpeleset, kawatnya bisa putus. Sang pengrajin berdiri di samping, memperhatikan kami yang mulai kewalahan, lalu tersenyum sambil berkata, “Pelan-pelan saja, harus sabar.”

Saat percikan api muncul, kawat perak di bawah las mulai melunak dan menempel dengan rangka. Garis-garis halus pun akhirnya menyatu menjadi pola utuh. Membayangkan sang pengrajin harus mengulang proses ini ratusan kali, kami pun diam-diam merasa kagum. Saat itulah kami benar-benar paham, di balik satu perhiasan perak yang kecil, tersimpan ketekunan dan keahlian luar biasa dari para pandai perak.

Sebelum perhiasan perak benar-benar berpindah ke tangan kami, masih ada tahap terakhir yaitu proses penghalusan dan pemolesan. Para pengrajin memolesnya perlahan dengan tangan, sedikit demi sedikit, hingga permukaan perak menjadi halus dan berkilau. Akhirnya, perhiasan yang kawatnya kami bentuk sendiri dan disempurnakan dengan sabar oleh sang pengrajin, pun terbaring cantik di dalam kotak perhiasan mungil, memantulkan kilau peraknya yang cemerlang.

Kalau suatu hari berkesempatan mengunjungi Yogyakarta, cobalah luangkan waktu untuk berkunjung ke Kotagede. Susuri gang-gang kecilnya dan mampir ke bengkel peraknya, rasakan sendiri kesabaran dan keahlian para pandai perak. Siapa tahu, sebuah perhiasan perak buatan sendiri akan menjadi kenang-kenangan paling istimewa dari perjalanan ini, sekaligus menghadirkan hangatnya cerita tentang kerajinan tangan dan pikiran.

[National Chengchi University, Wang Hui Chen]

Ada Musuh dalam Selimut: Bagaimana Internet Bebas Mengubah Gaya Hidup dan Mentalitas Generasi Z dengan Tidak Disadari

Rilis BeritaSDGSSDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang TangguhSDGs 3: Kehidupan Sehat dan SejahteraSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Rabu, 23 Juli 2025

Yogyakarta, 14 Juli 2025 – Generasi Internet yang disebut juga sebagai Generasi Z mengacu secara spesifik bawah orang-orang yang lahir pada akhir tahun 1990 hingga awal tahun 2010.

Generasi Z sangat dipengaruhi oleh produk-produk teknologi, yaitu generasi asli yang telah hidup di dunia maya dan dunia nyata elektronik sejak masa kanak-kanak. Oleh karena itu, dianggap juga “penduduk digital”. Perkembangan teknologi sekali mempengaruhi generasi ini. Identifikasi diri, mereka tidak hanya menaruh harapan pada Internet, tetapi juga merasa bingung karena Internet. Keinginan akan kebebasan dan ketidakberdayaan hidup berdampingan dalam hati generasi Internet.

Internet bebas telah menjadi nilai-nilai yang sangat diperlukan dalam masyarakat demokratis. Melalui Internet, orang dapat dengan gratis berbagi suasana hati dan memanfaatkan sumber daya. Ponsel pintar juga sudah menjadi alat Internet yang penting bagi remaja zaman sekarang. Tapi pada saat yang sama, media sosial dan video instan yang berwarna-warni juga telah mengubah gaya hidup pemuda-mudi dan menciptakan generasi yang rentan kurang PD dan terhadap depresi.

Ada banyak alasan mengapa remaja bisa mengalami depresi, namun perasaan “tidak kompeten” atau “gagal” disebutkan salah satu alasan yang paling umum. Terutama media sosial dapat menyebabkan atau memperburuk perasaan tidak mampu tersebut. Kekuatan teknologi sebagaimananya benar “berpartisipasi“ dalam kehidupan dan selangkah demi selangkah cetakan gaya hidup semuanya.

Selain itu, Postingan di Internet sering kali melaporkan kabar baik tetapi bukan kabar buruk. Ketika pemuda menghabiskan banyak waktu menggunakan media sosial, mereka sering kali mengembangkan mentalitas komparatif seperti “dibayangi oleh orang lain”. atau “merasa bahwa saya tidak sebaik orang lain” adalah fenomena yang umum terjadi.

Paradoksnya, remaja yang depresi suka menunjukkan optimisme, PD atau kehidupan yang indah secara online. Terlihat bahwa Internet telah menjadi surga bagi remaja untuk menghindari depresi dan khawatir dalam kenyataan. Mereka membenci rasa sakit yang mereka derita dalam kehidupan nyata, sehingga mereka beralih ke Internet untuk mengejar kebahagiaan virtual. Ciri-ciri ledakan informasi di era Internet telah membuat kebebasan semakin meluas. Platform Internet dapat memberikan pemuda-pemudi beragam pilihan yang terang.

Meskipun konsep kebebasan telah berkembang ke tingkat yang lebih tinggi, hal ini juga meningkatkan rasa tidak aman di generasi Internet. Keberagaman internet juga mendukung setiap orang untuk berkembang ke arah yang berbeda. Diskusi seperti mendorong kelemahan, mendorong pembicaraan, dan mendorong perbedaan pun bermunculan. Fakta-fakta berikutnya menjadi bukti bahwa gaya hidup generasi muda lambat laun mulai terdampak.

Sebaliknya, fenomenanya juga membawa efek samping tentang kebingungan diri sendiri dan ketidakberdayaan. Semakin banyak anak muda sekarang yang kebanjiran “samudra ledakan informasi” yang luas serta bahaya dan mausuk ke arah gaya hidup yang buruk seperti menghasilkan uang cepat dengan penipuan atau memamerkan kekayaan keluarganya. Kejadian berikutnya tampaknya berbeda dengan niat awalnya.

Di era Internet, diskusi tentang selfie yang sempurna dan pekerjaan yang sukses sering bisa dilihat di mana-mana di media sosial. Ketika foto-foto yang menunjukkan tubuh atau penampilan yang sempurna terlihat di wawasan para remaja; ketika lulusan perguruan tinggi melihat bahwa teman-teman kelas mereka sudah memiliki pekerjaan yang patut ditiru, mereka mulai memikirkan gaya hidup yang diikuti sekarang dan mencoba mencari tempat yang berbeda: gaya hidup yang sukses dari orang lainnya membuat mereka untuk bekerja lebih keras dan mencoba untuk menjadikan diri sendiri lebih baik, semuanya memiliki kesempatan untuk memperbaiki kehidupannya melalui nilai-nilai cocok dari informasi Internet dan media sosial.

Namun kenyataannya tidak sempurna yang dibayangkan. Misalnya, dalam ingatan saya ada banyak “pemberi pengaruh“ yang sukses mendapat banyak perhatian dari Instagram tapi akhirnya menolak arti media sosial dan menutup akunnya. Semakin banyak pemuda-pemudi mengkritik budaya palsu generasi internet. Meski internet penuh dengan berbagai nilai dan opini, media sosial membatasi imajinasi masyarakat akan kesuksesan dan kecantikan. Sulit membayangkan kesuksesan di platform Internet adalah apa yang banyak pemuda-pemudi kejar ketika mereka masih di sekolah menengah.

Internet hanyalah sebuah hadiah gaib yang berorientasi pasar, dan semuanya di Internet menjadi komoditas yang dinilai dari jumlah “suka” atau tanggapan orang lain. Hal ini pada akhirnya menjadi pengejaran biasa-biasa saja dan tidak bisa membawa kebahagiaan yang nyata.

Terakhir tetapi tidak kalah penting, meskipun Internet gratis mungkin tidak memberikan kebahagiaan sejati bagi masyarakat, teknologi ini masih telah menciptakan kemungkinan tak terbatas untuk pengembangan diri dan imajinasi berbeda tentang masa depan. ( Konsep Internet bagai musuh dalam selimutnya. ) Saat ini, mustahil bagi kita untuk kembali ke era tanpa Internet. Namun, jika kita dapat mendeteksi dan lebih memahami terhadap tantangan psikologis generasi Internet, kita dapat menciptakan peluang Internet yang lebih baik!

[National Chengchi University, Wu Yu Han]

 

source photo : Media.id

Dekolonisasi Arsip Fotografi: Membangkitkan Kembali Gambar-Gambar Kolonial untuk Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat

SDGs 10: Mengurangi KetimpanganSDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang TangguhSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Jumat, 18 Juli 2025

Yogyakarta, 10/7/2025 – Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menyelenggarakan kuliah umum yang membangkitkan gairah intelektual dan diskusi kritis lintas disiplin. Bertempat di Ruang 709 Gedung Soegondo, kuliah umum bertajuk “Dekolonisasi Arsip Fotografi: Masalah Penelitian di Zaman Kolonial dan Dokumentasi Visualnya” ini menghadirkan Dr. Martin Slama, peneliti senior dari Akademi Ilmu Pengetahuan Austria, sebagai narasumber utama.

Dalam pemaparannya, Dr. Slama menyingkap hasil ekspedisi ilmuwan Austria dan Jerman ke Hindia Belanda pada tahun 1928-1929. Ekspedisi limnologi ini tak hanya menghasilkan sekitar 3.000 foto yang menyorot ekologi perairan sungai dan danau, tetapi juga merekam kehidupan masyarakat lokal secara detail, mulai dari upacara adat, kegiatan keagamaan, hingga rutinitas sehari-hari. Uniknya, sebagian besar gambar diambil dengan teknologi fotografi stereo yang menghadirkan efek tiga dimensi.

Namun, di balik nilai ilmiahnya yang besar, arsip foto-foto tersebut selama ini tersimpan eksklusif di Wina, Austria. Akses yang terbatas menjadi kritik utama yang diangkat dalam diskusi: bagaimana foto-foto ini bisa dikembalikan maknanya ke masyarakat tempat ia diambil? Bagaimana menjadikannya bukan sekadar warisan kolonial, tetapi jendela refleksi sosial, budaya, dan sejarah?

Dr. Slama menekankan bahwa digitalisasi semata tidak cukup. Menurutnya, perlu ada pendekatan dekolonisasi dalam penyajian arsip digital tersebut, agar komunitas lokal di Indonesia dapat mengakses, memahami, bahkan memaknai ulang gambar-gambar tersebut sesuai konteks hari ini. “Foto-foto kolonial ini harus diberi kehidupan baru yang tidak hanya sebagai objek visual, tetapi sebagai bagian dari narasi yang melibatkan masyarakat yang dulu menjadi subjeknya,” ujarnya.

Diskusi berlangsung dinamis dan penuh antusiasme. Dosen, mahasiswa, serta akademisi dari berbagai bidang turut aktif bertanya dan berdialog, menunjukkan betapa pentingnya interseksi antara sejarah, visualitas, dan etika arsip dalam kajian post-kolonial.

Melalui kuliah umum ini, Departemen Sejarah UGM tidak hanya membuka ruang akademik untuk belajar sejarah masa lalu, tetapi juga menantang peserta untuk berpikir kritis tentang masa kini serta bagaimana warisan kolonial bisa direkonstruksi untuk masa depan yang lebih adil dan inklusif.

[Humas FIB UGM, Candra Solihin]

1…34567…113

Rilis Berita

  • Sastra Hijau: Menyemai Kesadaran Lingkungan Lewat Kata-Kata
  • Sosialisasi Mahasiswa Baru Magister Sastra Semester Gasal 2025/2026 Menyambut Hangat 39 Mahasiswa Termasuk Dua Mahasiswa Asing
  • Program Studi Sastra Arab UGM Sambut Mahasiswa Baru Angkatan 2025 dalam PPSMB PIONIR Kampung Budaya
  • Groundbreaking Ceremony for the Construction of Building C, Faculty of Cultural Sciences UGM: A Strategic Step Towards Strengthening the Humanities in the Digital Era
  • Jadwal Kuliah Program Magister FIB UGM TA 2025/2026

Arsip Berita

Video UGM

[shtmlslider name='shslider_options']
Universitas Gadjah Mada

Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Jl. Nusantara 1, Bulaksumur Yogyakarta 55281, Indonesia
   fib@ugm.ac.id
   +62 (274) 513096
   +62 (274) 550451

Unit Kerja

  • Pusat Bahasa
  • INCULS
  • Unit Jaminan Mutu
  • Unit Penelitian & Publikasi
  • Unit Humas & Kerjasama
  • Unit Pengabdian kepada Masyarakat & Alumni
  • Biro Jurnal & Penerbitan
  • Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
  • Pusaka Jawa

Fasilitas

  • Perpustakaan
  • Laboratorium Bahasa
  • Laboratorium Komputer
  • Laboratorium Fonetik
  • Student Internet Centre
  • Self Access Unit
  • Gamelan
  • Guest House

Informasi Publik

  • Daftar Informasi Publik
  • Prosedur Permohonan Informasi Publik
  • Daftar Informasi Tersedia Setiap Saat
  • Daftar Informasi Wajib Berkala

Kontak

  • Akademik
  • Dekanat
  • Humas
  • Jurusan / Program Studi

© 2024 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY