Berikut hasil seleksi final calon tenaga kependidikan profesional Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada 2014 yang diterima:
Hasil Seleksi Final Calon Tenaga Kependidikan FIB UGM
PENGUMUMANSTICKY NEWS Jumat, 4 April 2014
Berikut hasil seleksi final calon tenaga kependidikan profesional Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada 2014 yang diterima:
Hasil Seleksi Final Calon Tenaga Kependidikan FIB UGM
AGENDAPENGUMUMANSTICKY NEWS Rabu, 2 April 2014
AGENDA Selasa, 1 April 2014
Kamis, 3 April 2014
Ruang Sidang 1 FIB UGM ; Pukul 13.00
Peluang dan Beasiswa di SOAS, University of London
Pemateri : Dr. Ben Murtagh
(SOAS, University of London, The School of Oriental and African Studies)
Terbuka Untuk Umum & Disediakan Kudapan
HEADLINENews Release Kamis, 27 Maret 2014
Kretek menjadi fenomena menarik di Indonesia. Selama ini kretek selalu dikaitkan dengan kesehatan, kebijakan politik, sampai hubungannya dengan sosio-kultural masyarakat Indonesia. Namun sangat jarang yang mengkaji kretek dari sisi historisnya. Sejawaran UGM, Dr. Sri Margana, M.Phil, mengatakan industri kretek dulu pernah menjadi tulang punggung perekonomian Hindia Belanda saat terjadi depresi ekonomi tahun 1930-an. “Saat itu semua perusahaan-perusahaan besar milik Hindia Belanda hancur dihantam depresi ekonomi,” terangnya.
Industri kretek yang berbasis di desa dan dalam skala rumahan saat itu justru mengalami perkembangan yang sangat pesat. Margana menyebutkan, satu-satunya industri milik pribumi adalah industri kretek. “Tapi kita tidak akan menemukan orang pribumi menjadi direktur perusahaan-perusahaan besar saat itu,” kata Margana dalam peluncurkan buku yang ditulisnya, Kretek Indonesia dari Nasionalisme hingga Warisan Budaya di Ruang Seminar Perpustakaan UGM, Kamis (27/3).
Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM ini menambahkan, saat itu industri kretek sebagai sumber ekonomi para pribumi. Hal itu dikarenakan dari hulu ke hilir, seluruh bahan baku pembuatan kretek bersasal dari orang-orang pribumi. “Jika di industri kolonial kita hanya menjadi kuli, tidak demikian dengan industri kretek,” imbuhnya.
Selain itu, kretek juga ikut membangun jaringan ekonomi yang sangat luas. Dari pemilik toko, asongan, warung-warung, dan pekerja industri rokok menggantungkan hidupnya dari kretek. Lebih dari itu, kretek sebagai warisan budaya justru terdapat pada rasa dan aroma kretek khas masyarakat pribumi. “Keunikan proses inilah yang bisa mengkategorikan kretek sebagai warisan budaya. Apalagi ramuan dalam setiap merk diwariskan secara turun-temurun,” jelasnya.
Margana mengisahkan, gagasan menulis buku ini timbul dari keinginan menambah khasanah kajian kretek di Indonesia. Ia menegaskan, tim penulis buku ini tidak ingin terjebak pada kebijakan kesehatan atau mendukung industri rokok. “Buku ini merupakan penafsiran atas fakta-fakta sejarah yang terjadi pada industri keretek di Indonesia awal abad ke-20,” ungkapnya.
Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM, Dr. Aprinus Salam, M.Hum, berpandangan bahwa rokok selalu identik dengan asap. “Tidak ada kretek kalau tidak ada asap,” tuturnya. Baginya, esensi kenikmatan merokok berasal dari asap yang dihasilkan. “Asap rokok itu kan rasanya berbeda-beda, setiap orang punya seleranya masing-masing,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, perwakilan Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC), Dianita Sugiyo, S.Kep., NS., MHID., menilai rokok dari sisi dampak bahaya rokok yang ditimbulkan. Menurutnya, zat-zat adiktif dalam rokok sangat berbahaya. Ia menjelaskan, asap rokok yang dihasilkan dari pembakaran rokok mencapai 16,9 mg/batang. “Padahal, untuk mengiritasi mata hanya cukup dengan 58 mikrogram,” paparnya.[]
Sumber: https://ugm.ac.id/id/berita/8842-dulu.industri.kretek.milik.pribumi
AGENDA Rabu, 26 Maret 2014
Membincangkan tembakau tidak lagi semata-mata membicarakan suatu jenis tanaman, melainkan juga makna politis yang menyelubunginya.Tembakau, dalam berbagai bentuk racikan, belakangan ini ramai diperdebatkan oleh banyak kalangan mulai dari pengampu kebijakan, aktivis, akademisi, bahkan tetap hangat dalam perbincangan keseharian masyarakat biasa.Terlepas dari semua pro-kontra itu, racikan tembakau yang dikenal sebagai kretek telah lama menjadi bagian dari realita sosial Indonesia.
Buku ini merupakan hasil riset kolaboratif yang dilakukan oleh para sejarawan muda FIB UGM dengan Puskindo Kudus selama lebih dari satu tahun. Penelitian ini mengkonfirmasi arsip dan karya dari masa kolonial di Belanda, Koran, statistic dan menggabungkannya dengan observasi partisipasif.
Kajian ini berusaha melacak kembali peran kretek dalam sejarah Indonesia untuk memposisikan ulang discourses mengenainya pada masa kini. Dalam buku ini, kretek digunakan untuk mentafsirkan proses historis Indonesia yang membawa kita pada kesadaran bahwa mempelajari kretek berarti juga mempelajari sejarah pergerakan, revolusi serta sejarah ekonomi dan sosial. Kretek Indonesia dilahirkan dan dibesarkan dalam konteks penjajahan ketika dominasi kekuatan ekonomi kolonial tidak memberikan ruang bagi bumiputra untuk tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, kelahiran dan pertumbuhan industri kretek Indonesia memunculkan dimensi lain dari perjuangan bangsa Indonesia untuk memperoleh kebebasan dan membangun kemandirian ekonomi. Buku ini juga membangkitkan sikap kritis dan optimis terhadap kretek, di balik segala kontroversi dan dinamikanya, memiliki karakter sebagai heritage atau warisan kebudayaan yang menandai identitas kebangsaan Indonesia. (UN)
Launching dan Bedah Buku
Hari/tanggal : Kamis, 27 Maret 2014
Jam : 09.00-12.00 WIB
Tempat : Ruang Seminar, Perpustakaan UGM Lt.2, Bulaksumur Yogyakarta
Acara : Launching dan Bedah buku Kretek Indonesia: Dari Nasionalisme
hingga Warisan Budaya.
Pembicara : Dr. Sri Margana M.Phil (sejarawan UGM, Penullis)
Prof. Dr. Ghufron Ali Mukti (Wamenkes RI, Pembahas, dalam
konfirmasi)
Dr. Aprinus Salam (Direktur Pusat Studi Kebudayaan UGM,
Pembahas)
Contact Person
Rika Sayekti (08157950644), Ghifari Yuristiadhi (085740079846)
Email : kretek.indonesia@yahoo.co.id