
Yogyakarta, 2 Juli 2025 – Dalam Seminar Antarabangsa Kajian Melayu-Jawa, Dr. Rudy Wiratama memperkenalkan Wayang Purwa sebagai bagian dari kebudayaan Nusantara yang berkaitan erat dengan kehidupan sehari-harian masyarakat Austronesia.
Dalam “Wayang Purwa”, kata “Purwa” berarti “awal dan asal”. Wayang Purwa yang pertama kali tercatat pada abad ke-10 Masehi, mengambil cerita dari dua epos yang besar India: Mahabharata dan Ramayana, dengan cara menyatukan unsur kesenian budaya Jawa melalui pertunjukan-pertunjukan siluet wayang tokoh dan hewan, serta menggabungkan musik dan nyanyian tradisional Jawa untuk menceritakan kisah-kisah mitos dan legenda. Dengan kata lain, Wayang Purwa dapat dianggap sebagai produk budaya yang lahir dari perpaduan erat antara peradaban budaya Indonesia dan budaya Hindu.
Dr. Rudy Wiratama kemudian mengemukakan serta mencoba untuk menjelaskan pokok dalam permasalahan berikutnya: Meskipun Wayang Purwa dikatakan menggunakan epos India Mahabharata dan Ramayana sebagai bahan ceritanya, namun dalam karya kesenian terkait yang diterbitkan di masa kini sering kali ditemukan penyimpangan dari versi Sanskritnya. Untuk memahami sejauh apa hal ini terjadi dan menganalisis faktor-faktor di baliknya, Dr. Rudy menyusun dua hipotesis dari studi terkait:
- JJ RAS (1988) menduga bahwa terdapat dua arus persebaran Mahabharata dan Ramayana di Kepulauan Nusantara: Arus pertama melalui kaum elite membawa tradisi tulisan, yang kemudian menjadi penopang sastra penting bagi kaum Kakawin; arus kedua melalui tim pedagang yang membawa versi rakyat dari kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana, yang dilestarikan oleh dalang-dalang. I Kuntara Wiryamartana dalam penelitiannya tentang karya sastra Jawa Kuno dan penerimaannya dalam karya sastra Jawa Baru menganggap bahwa perubahan cara membaca dan mencatat Mahabharata dan Ramayana dipengaruhi oleh kakografi ( kesalahan membaca ) dan hilangnya penguasaan para pujangga selanjutnya dalam bahasa kuno.
- SUMARSIH (1985) menunjukkan bahwa terutama dalam Ramayana ditemukan petunjuk yang menunjukkan bahwa Ramayana Pesisiran memiliki kesamaan sumber dengan Hikayat Seri Rama Melayu. Annabel Teh-Gallop (2015) lebih lanjut meragukan: Pada masa kemunduran Majapahit pada abad ke-15 hingga ke-16, saat kerajaan Islam mendorong perluasan jaringan perdagangan global di Asia Tenggara, pertukaran budaya yang semakin sering antara Jawa dan Melayu memengaruhi penciptaan versi “epos lokal” dari Mahabharata dan Ramayana.
Terakhir tetapi tidak kalah penting, Dr. Rudy Wiratama secara singkat merangkum kebangkitan dan dampak-dampak interaksi sastra Melayu-Jawa dalam keterkaitan Wayang Purwa: Keterkaitan Jawa-Melayu dalam proses pembentukan Wayang Purwa di masing-masing daerah pasti mengalami pasang surut. Setelah berlalunya masa Kerajaan Majapahit, persebaran Wayang Purwa kembali menyebar luas di Kepulauan Nusantara, namun jalur-jalur penyebab yang berbeda seperti tren-trennya berbalik dengan pekerja migran ke wilayah Malaysia dan warga transmigrasidi di pulau-pulau luar Pulau Jawa.
Yang lebih menariknya, pada fase ini, pertautan Wayang Purwa Jawa serta Melayu tidak terjalin lagi, kecuali di beberapa kuliyah yang memiliki ciri khas lokal Wayang Purwa sebagaimana Banjarmasin dan Palembang. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga tidak ditulisnya sebagai Wayang Purwa, melainkan Wayang Banjar atau Wayang Palembang.
[National Chengchi University, Wu Yu Han]