• About UGM
  • Academic Portal
  • IT Center
  • Library
  • Research
  • Webmail
  • Informasi Publik
  • Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Manajemen
    • Tenaga Kependidikan
    • Tenaga Pendidik
  • Akademik
    • Kalender Akademik
    • Program Sarjana
      • Antropologi Budaya
      • Arkeologi
      • Sejarah
      • Pariwisata
      • Bahasa dan Kebudayaan Korea
      • Bahasa dan Sastra Indonesia
      • Sastra Inggris
      • Sastra Arab
      • Bahasa dan Kebudayaan Jepang
      • Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa
      • Bahasa dan Sastra Prancis
    • Program Master/S2
      • Magister Antropologi
      • Magister Arkeologi
      • Magister Sejarah
      • Magister Sastra
      • Magister Linguistik
      • Magister Pengkajian Amerika
      • Magister Kajian Budaya Timur Tengah
    • Program Doktor/S3
      • Antropologi
      • Ilmu-ilmu Humaniora
      • Pengkajian Amerika
    • Beasiswa
  • KPPM
    • Info Penelitian
    • Publikasi Ilmiah
    • Pengabdian Masyarakat
    • Kerjasama Luar Negeri
    • Kerjasama Dalam Negeri
  • Organisasi Mahasiswa
    • Lembaga Eksekutif Mahasiswa
    • Badan Semi Otonom
      • KAPALASASTRA
      • Persekutuan Mahasiswa Kristen
      • LINCAK
      • Saskine
      • Keluarga Mahasiswa Katolik
      • Dian Budaya
      • Sastra Kanuragan (Sasgan)
      • Keluarga Muslim Ilmu Budaya (KMIB)
      • Bejo Mulyo
    • Lembaga Otonom
      • Himpunan Mahasiswa Arkeologi
      • Ikatan Mahasiswa Jurusan Inggris
      • Himpunan Mahasiswa Pariwisata
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia
      • Ikatan Mahasiswa Sastra Asia Barat
      • Himpunan Mahasiswa Bahasa Korea
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara
      • Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah
      • Himpunan Mahasiswa Studi Prancis
      • Keluarga Mahasiswa Antropologi
      • Himpunan Mahasiswa Jepang
  • Pendaftaran
  • Beranda
  • SDGs 5: Kesetaraan Gender
  • SDGs 5: Kesetaraan Gender
Arsip:

SDGs 5: Kesetaraan Gender

Menulis Lewat Hati: Perjalanan Kumala dari Sastra Arab ke Dunia Content Writing

SDGs 17: Kemitraan Untuk Mencapai TujuanSDGs 4: Pendidikan BerkualitasSDGs 5: Kesetaraan GenderSDGs 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan EkonomiSDGs 9: Industri Inovasi dan Infrastruktur Senin, 23 Juni 2025

Di tengah gempuran teknologi dan kemunculan kecerdasan buatan yang mampu menyusun kalimat demi kalimat dengan rapi, Kumala–mahasiswa Sastra Arab–ustru memilih menulis sebagai jalur ekspresi dan kontribusinya. “Tulisan yang dibuat AI mungkin rapi, tapi rasa dan makna hanya bisa lahir dari manusia,” ujarnya.

Bagi Kumala, menjadi mahasiswa Sastra Arab bukan sekadar membaca karya sastra klasik atau memahami bahasa Arab secara mendalam, tapi juga belajar bagaimana menyuarakan cerita dengan kuat. Dunia content writing menjadi medium yang ia pilih untuk menjembatani ilmu dengan praktik. Ia percaya bahwa tulisan yang baik bisa menjadi jembatan yang mempertemukan emosi, informasi, dan aksi.

Dari Ketertarikan Hingga Aksi: Awal Mula Kumala Menulis Konten

Ketertarikan Kumala terhadap content writing muncul seiring dengan rasa ingin tahunya terhadap proses kreatif di balik sebuah konten. Baginya, tahap brainstorming adalah momen paling penting. “Di situlah semuanya dimulai–sebelum visual dan editing, ada ide yang harus dikemas secara menarik dan kuat,” katanya.

Tak hanya itu, Kumala juga membawa semangat keilmuannya dalam sastra ke dunia konten. Salah satu mata kuliah favoritnya adalah Geobudaya dan Geopolitik Timur Tengah, yang membuka matanya terhadap isu-isu besar yang bisa dituangkan dalam tulisan. “Suatu hari, aku ingin menulis konten yang bisa jadi katalis untuk menyuarakan isu-isu di Timur Tengah,” tambahnya.

Langkah Awal di UNAI dan Pelajaran Berharga dari Satu Konten

Meski masih baru bergabung sebagai content writer di UNAI, Kumala sudah mencicipi tantangan dunia ini. Ia mulai dari menulis konten carousel untuk Instagram–sebuah format yang terlihat sederhana namun menuntut ketelitian tinggi. Tantangan terbesarnya? “Menemukan ide yang relevan, trending, dan emosional, yang bisa menarik perhatian audiens. Nggak mudah, tapi sangat memuaskan,” katanya.

Dari semua konten yang pernah ia buat, konten pertamanya tetap jadi yang paling berkesan. Bukan hanya karena itu yang pertama, tapi karena ia harus memahami narasumber dengan aksen Amerika, menyaring banyak kalimat, lalu merangkum semua ke dalam satu paragraf yang kuat. “Di situlah aku belajar menyusun kalimat yang ‘berisi’,” katanya.

Content Writer sebagai Jembatan Komunikasi

Menurut Kumala, peran seorang content writer sangat penting dalam sebuah institusi. “Di UNAI, content writing adalah bagian dari departemen komunikasi. Jadi kami bukan hanya membuat konten, tapi menyampaikan pesan, visi, dan nilai dari institusi ke publik,” jelasnya. Ini menunjukkan bahwa tulisan yang baik bukan hanya soal estetika, tapi juga strategi.

Pesan untuk Mahasiswa: Beranilah Keluar dari Zona Nyaman

Di sela kesibukan akademik dan non-akademik, Kumala tetap berusaha menjaga semangatnya. Ia punya satu prinsip: “Hidup yang kita jalani hari ini adalah mimpi kita kemarin. Maka manfaatkan dengan sepenuh hati.”

Untuk mahasiswa lain yang masih ragu mengembangkan diri di luar jurusan, Kumala punya pesan: “Menjadi berbeda itu tidak buruk. Cobalah sebanyak mungkin hal baru, asal tidak membahayakan diri dan orang lain. Jangan sampai menyesal nanti karena tidak pernah mencoba.”

Di era serba digital ini, Kumala yakin bahwa mahasiswa harus membekali diri dengan banyak keterampilan. “Kita tidak tahu skill mana yang akan membuka pintu karier kita nanti. Jadi, jangan takut eksplorasi. Teknologi boleh canggih, tapi manusianya harus lebih canggih.”

Dan untuk para mahasiswa Sastra Arab yang ingin terjun ke dunia content writing, Kumala menutup dengan satu saran praktis: “Tulis saja apa yang kamu pikirkan. Tetapkan target kecil untuk terus berkembang. Jangan biarkan dirimu stagnan.”

 

[Humas FIB UGM, Candra Solihin]

Mengenal Tutor: Nabila Intan

HEADLINERilis BeritaSDGs 17: Kemitraan Untuk Mencapai TujuanSDGs 4: Pendidikan BerkualitasSDGs 5: Kesetaraan Gender Senin, 2 Juni 2025

Yogyakarta, 27/05/2025- Di balik pintu-pintu kelas Program Indonesian for Foreign Speakers (INCULS), terdapat ruang diskusi yang lebih dari sekadar proses pembelajaran bahasa. Di sana terjalin pertemuan lintas bangsa, percakapan lintas nilai, dan yang paling penting adalah, terciptanya ruang tumbuh bagi toleransi dan pemahaman. Salah satu sosok yang menjadi bagian dari proses ini adalah Nabila Intan Sari, atau yang akrab disapa Natan. Mahasiswi Sastra Inggris angkatan 2021 ini telah aktif menjadi tutor di INCULS sejak tahun 2023, dan pengalamannya telah mengubah cara pandangnya terhadap dunia, Indonesia, dan dirinya sendiri.

Bersama INCULS, Natan terlibat dalam berbagai program pengajaran Bahasa Indonesia kepada penutur asing, seperti Darmasiswa, Kemitraan Negara Berkembang (KNB), Gadjah Mada International Fellowship (GMIF), hingga kerja sama dengan Monash University dan University of New South Wales. Baginya, setiap program membawa cerita dan tantangan yang berbeda,  tetapi satu benang merah yang tak terelakkan adalah betapa pentingnya bahasa sebagai alat pemersatu dan pengungkap makna budaya.

Dari seluruh pengalamannya, Natan menyebut program KNB sebagai pengalaman yang paling berkesan. Berbeda dengan program lainnya, KNB memiliki durasi pengajaran yang panjang, yang membuka ruang hubungan pertemanan yang lebih dalam antara tutor dan mahasiswa asing. Tak hanya menjadi pengajar, Natan juga menjadi pendengar, teman diskusi, bahkan sahabat. Hubungan yang ia jalin pun tidak berakhir saat program selesai karena komunikasi tetap berlanjut hingga hari ini. Inilah wujud nyata dari pendidikan yang berakar pada kemanusiaan.

“Bagi saya, jadi tutor itu bukan hanya soal menyampaikan teori. Ini soal bagaimana kita hadir sebagai manusia yang bisa membuat orang merasa dilihat dan dihargai,” ungkapnya.

Metode pengajaran yang digunakan Natan mencerminkan pendekatan humanis dan dialogis. Ia tidak langsung membawa mahasiswa masuk ke ranah teori tata bahasa atau struktur kalimat. Sebaliknya, dua pertemuan awal dimanfaatkan untuk membicarakan hal-hal yang dekat dengan kehidupan seperti keseharian, kehidupan di kampus, perbedaan budaya, hingga kebiasaan unik dari negara masing-masing. Percakapan-percakapan ini membangun kedekatan emosional dan menciptakan rasa aman sehingga suasana belajar menjadi lebih cair dan menyenangkan. Bahasa gaul, humor ringan, bahkan topik-topik kekinian kerap muncul dalam sesi tutorial, membuat pengajaran terasa seperti ngobrol santai namun penuh makna.

Hal menarik lainnya yang Natan temukan adalah semangat belajar dari mahasiswa program jangka panjang seperti KNB dan Darmasiswa. Mereka datang dengan motivasi tinggi, rasa ingin tahu yang besar, dan sikap saling menghargai. Namun, proses pengajaran tentu tidak selalu mulus. Natan menghadapi tantangan dalam hal perbedaan aksen dan pengucapan, terutama dari mahasiswa asal India dan Pakistan. Kendala bahasa memang tak terhindarkan, tetapi ia tidak menyerah. Ia justru menjadikan kendala ini sebagai pintu masuk untuk menjalin pendekatan yang lebih kreatif dan interaktif.

Salah satu strategi yang ia terapkan adalah membawa pembelajaran keluar dari kelas. Mahasiswa diajak ke Museum Sonobudoyo, menyusuri sejarah budaya Jawa, atau mendaki kawasan Kali Talang untuk melihat langsung wajah alam Indonesia. Di tengah kegiatan tersebut, percakapan mengalir tentang berbagai hal termasuk persoalan sosial seperti patriarki dan relasi kuasa dalam budaya. Dari sinilah nilai-nilai sosial dan kemanusiaan terselip dalam pengajaran bahasa.

“Dengan cara itu, saya merasa bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, tapi jendela untuk memahami cara hidup dan cara berpikir masyarakat kita,” katanya.

Bagi Natan, menjadi tutor telah mengubah banyak hal dalam hidupnya. Ia menjadi lebih sadar akan keragaman dan belajar untuk tidak menilai orang hanya dari satu sudut pandang. Ia belajar menghormati orang lain dan lebih mencintai budayanya sendiri. Bahkan, rasa nasionalismenya tumbuh lebih kuat karena ia melihat bagaimana orang asing begitu antusias mempelajari bahasa dan budaya Indonesia. Rasa bangga itu tumbuh bukan karena diminta, tapi karena ia menyaksikan Indonesia lewat mata orang lain.

“Kadang kita baru benar-benar mengenal negara sendiri saat menjelaskannya pada orang lain. Dan di sana, kita menemukan kembali makna Indonesia,” tuturnya.

Bagi Natan, INCULS bukan sekadar ruang belajar bahasa. Ia adalah panggung kecil diplomasi budaya, tempat Indonesia dikenalkan dengan cara yang paling manusiawi melalui pertemuan antar manusia. Ia menyebut bahwa setiap tutor adalah mata bagi orang lain untuk melihat Indonesia. Karena itu, ia menekankan pentingnya menjaga etika, sikap, dan kualitas pembelajaran. Ia juga menyampaikan harapannya agar fasilitas pembelajaran semakin baik, termasuk perlunya gedung baru untuk mendukung proses belajar-mengajar.

Selain itu, ia berharap program-program internasional seperti Monash bisa diperluas dan diperpanjang durasinya. Sebab, satu jam saja tidak cukup untuk benar-benar menyentuh lapisan dalam dari budaya Indonesia. Diperlukan waktu dan interaksi yang konsisten agar hubungan antarbudaya bisa tumbuh dengan utuh.

Kepada sesama tutor, Natan menyampaikan pesan sederhana namun kuat: tetaplah semangat. Ia mendorong agar tutor tidak hanya mengajarkan bahasa, tetapi juga mengajak mahasiswa merasakan kehidupan di Indonesia secara langsung. Karena hanya dengan mengalaminya sendiri, para mahasiswa akan memahami makna Indonesia, bukan hanya dari kata-kata, tapi dari kebaikan, keramahan, dan keberagaman yang mereka jumpai.

Lewat pengalamannya, Natan membuktikan bahwa mengajar bahasa bisa menjadi jalan untuk menumbuhkan toleransi, rasa hormat, dan rasa cinta pada tanah air. Di tangan para tutor seperti Natan, bahasa menjadi jembatan bukan hanya antara bangsa, tetapi juga antara hati yang menghubungkan masa kini dengan masa depan yang lebih inklusif dan penuh pengertian.

[Humas INCULS FIB UGM, Thareeq Arkan Falakh]

Kuliah Umum American Studies: “Representasi Keluarga Amerika dalam Media”

HEADLINERilis BeritaSDGs 4: Pendidikan BerkualitasSDGs 5: Kesetaraan Gender Kamis, 22 Mei 2025

Yogyakarta, 21 May 2025 — American Studies Students and Alumni Association (ASSAA), bekerja sama dengan Program Studi Kajian Amerika Universitas Gadjah Mada (UGM), menyelenggarakan kuliah umum bertajuk “Representations of American Families in the Media” pada hari Rabu, 21 Mei 2025, pukul 10.00–12.00 WIB (Waktu Jakarta).

Acara ini menghadirkan Dr. Suzie Handajani, M.A., dosen di Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, sebagai pembicara utama. Dalam kuliah umumnya, Dr. Suzie mengupas bagaimana keluarga-keluarga Amerika ditampilkan dalam berbagai bentuk media—mulai dari televisi dan film hingga iklan. Ia menjelaskan bahwa representasi tersebut tidak hanya mencerminkan nilai-nilai budaya yang hidup di masyarakat Amerika, tetapi juga dapat memperkuat bahkan menantangnya. Melalui berbagai contoh, Dr. Suzie menunjukkan bagaimana media berperan penting dalam membentuk persepsi publik tentang apa itu “keluarga” dan seperti apa idealnya kehidupan keluarga dalam konteks Amerika.

Dengan latar belakang keilmuan di bidang antropologi budaya dan kajian media, Dr. Suzie mengajak para peserta untuk mengkaji secara kritis berbagai stereotip, narasi dominan, dan dinamika sosial yang muncul dari representasi keluarga dalam media Amerika. Topik ini menjadi sangat relevan, tidak hanya bagi mahasiswa Kajian Amerika dan Ilmu Budaya, tetapi juga bagi siapa pun yang tertarik pada studi media, komunikasi, serta dinamika keluarga dalam konteks global. Melalui pendekatan lintas disiplin, peserta diajak untuk melihat bagaimana media bukan sekadar hiburan, tetapi juga ruang produksi makna yang memengaruhi cara kita memahami dunia sekitar.

Dalam paparannya, Dr. Suzie Handajani menyoroti bagaimana representasi keluarga Amerika mengalami perubahan signifikan seiring transisi dari era media elektronik seperti televisi ke era media digital. Salah satu contoh yang ia angkat adalah The Cosby Show, sitkom populer dari era 1980-an yang menampilkan kehidupan keluarga Afrika-Amerika kelas menengah atas. Tayangan ini dipandang sebagai upaya membangun citra ideal keluarga kulit hitam di mata publik Amerika maupun dunia—sebuah langkah penting dalam membingkai ulang persepsi terhadap komunitas Afrika-Amerika melalui media arus utama.

Namun, menurut Dr. Suzie, representasi keluarga dalam media tidaklah bersifat statis. Seiring berkembangnya media digital dan kemunculan platform streaming, narasi tentang keluarga Amerika menjadi jauh lebih beragam, inklusif, dan kompleks. Media digital membuka ruang bagi munculnya berbagai suara dan perspektif yang sebelumnya jarang terwakili dalam media arus utama, mulai dari keluarga dengan latar belakang ras, kelas, dan orientasi seksual yang berbeda, hingga dinamika keluarga non-tradisional yang kini mendapat tempat lebih luas dalam lanskap budaya populer.

Kuliah ini berlangsung dengan suasana yang interaktif dan penuh antusiasme. Para mahasiswa tidak hanya mendengarkan, tetapi juga aktif berdiskusi, berbagi pandangan, dan membandingkan pengalaman mereka tentang media dan konsep keluarga dari berbagai budaya. Diskusi ini menjadi ruang refleksi bersama tentang bagaimana tayangan yang kita konsumsi sehari-hari bisa secara halus membentuk cara pandang dan harapan kita terhadap kehidupan berkeluarga.

Sebagai tambahan, dalam presentasinya Dr. Suzie juga menyinggung sejarah tayangan Amerika yang pernah menghiasi televisi Indonesia sejak tahun 1990-an, sebelum sinetron lokal mulai mendominasi layar kaca. Serial-serial seperti Married with Children, Young Sheldon, hingga The Simpsons diangkat sebagai contoh bagaimana media membentuk berbagai arketipe keluarga, mulai dari yang absurd dan jenaka hingga yang cerdas dan tidak biasa. Tayangan-tayangan ini bukan hanya menghibur, tetapi juga membawa serta nilai-nilai dan cara pandang khas Amerika yang secara tidak langsung turut memengaruhi penonton di Indonesia.

Kuliah ini merupakan bagian dari mata kuliah Kajian Media dan Budaya Populer, yang dirancang untuk mendorong mahasiswa berpikir kritis terhadap representasi sosial dalam media. Melalui pendekatan interdisipliner, mata kuliah ini mengajak mahasiswa untuk tidak hanya menjadi konsumen media, tetapi juga pembaca yang sadar dan reflektif terhadap pesan-pesan budaya yang disampaikan lewat berbagai bentuk tayangan populer.

[Humas Pengkajian Amerika, Gilang Hadian]

Bangga! Mahasiswa Magister Antropologi UGM Bersinar di Bangkok

News Release Kamis, 22 Mei 2025

Yogyakarta, 21/5/25 ― Ferdeo, Mahasiswa Magister Antropologi FIB UGM Angkatan 2023, berhasil mencatatkan prestasi membanggakan dengan terpilih sebagai “Fully Funded Awardee” dalam program bergengsi SMI Youth Exchange Thailand 2025. Ia menjadi salah satu dari sedikit peserta yang lolos seleksi ketat dan melampaui berbagai tahapan, seperti seleksi berkas, wawancara terbuka, serta wawancara individu tertutup.

Dalam seleksi awal, Ferdeo menunjukkan keahliannya dengan menampilkan perpaduan kuat antara akademik dan keterlibatan sosial. Dengan berbagai pengalamannya, seperti ditunjuk sebagai Duta Kesehatan Mental UGM, Duta Pascasarjana, serta Ketua Suar Asa FIB, ia dapat menunjukkan komitmen yang kuat terhadap isu-isu sosial dan kemanusiaan. Di sana, ia juga mengikuti berbagai short course dan konferensi internasional yang memperkuat profil global dengan relevansi keilmuaannya.

Selama program di Thailand, Ferdeo mengikuti serangkaian agenda penting. Ia berkesempatan mengunjungi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Bangkok, berdiskusi langsung dengan Dr. Cyti Daniela Aruan, Atase Pendidikan RI. Ia juga menghadiri sesi akademik di dua universitas ternama, Chulalongkorn University dan Kasetsart University, yang menjadi tempat bertukar wawasan lintas negara dan budaya.

Selain itu, Ferdeo juga aktif mengeksplorasi kekayaan budaya Thailand, termasuk kunjungan ke situs-situs bersejarah seperti Wat Pho dan Wat Arun. Dalam forum semi-debat yang menjadi bagian utama program, ia mempresentasikan strategi Thailand dalam mengatasi kemiskinan dan mengomparasikannya dengan kondisi Indonesia. Ia juga aktif berdiskusi tentang berbagai isu ASEAN, termasuk smart city di Singapura, sistem kesehatan Malaysia, dan isu maritim Brunei Darussalam.

Sebagai bentuk apresiasi atas partisipasinya yang luar biasa dalam forum dan penampilan budaya yang membawakan medley lagu-lagu daerah Indonesia, Ferdeo dianugerahi gelar Favorite Delegate. Penghargaan ini menunjukkan pengakuan atas kontribusinya yang tidak hanya intelektual, tetapi juga kultural dan sosial.

“Saya merasa sangat bangga dan bersyukur dapat membawa nama baik Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, serta Universitas Gadjah Mada dalam program SMI Youth Exchange ini. Saya berharap pengalaman ini dapat memberi kontribusi besar terhadap perjalanan akademik dan karier saya sebagai antropolog masa depan yang memiliki perspektif global dan proyeksi yang berkelanjutan”, tegasnya.

[Humas FIB UGM, Muhammad Ebid El Hakim]

Mengenal Tutor: Rifan Shinji

HEADLINEINCULSRilis BeritaSDGs 17: Kemitraan Untuk Mencapai TujuanSDGs 4: Pendidikan BerkualitasSDGs 5: Kesetaraan Gender Jumat, 16 Mei 2025

Yogyakarta, 15/05/2025 – INCULS (Indonesia Culture and Language Services) tidak hanya berperan sebagai lembaga pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing, tetapi juga menjadi wadah strategis dalam mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Pengalaman Rifan Shinji, seorang mahasiswa Bahasa dan Kebudayaan Jepang angkatan 2020 sebagai tutor di INCULS menunjukkan bagaimana pendekatan pendidikan yang inklusif dan adaptif mampu mewujudkan pendidikan berkualitas. Dengan memprioritaskan kebutuhan mahasiswa asing dari berbagai latar belakang seperti mahasiswa Monash University yang lebih menyukai percakapan santai atau mahasiswa Ritsumeikan yang tertarik pada musik tradisional, maka bisa menerapkan metode pembelajaran kontekstual. Misalnya, mahasiswa UNSW (University New South Wales) diajak mengunjungi museum untuk memahami politik Indonesia, sementara mahasiswa Kokushikan terjun langsung ke masyarakat guna mempelajari adat istiadat. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat pemahaman linguistik tetapi juga membangun keterampilan lintas budaya, yang sejalan dengan prinsip kebangsaan tentang pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan dan multikulturalisme.  

Selain itu, INCULS berkontribusi pada pengurangan ketimpangan dengan menerapkan prinsip kesetaraan dalam pembelajaran. Rifan menekankan bahwa semua mahasiswa diperlakukan setara tanpa favoritisme, meskipun tantangan seperti perbedaan mood atau kendala bahasa kerap muncul. Untuk mengatasinya, tutor menggunakan pendekatan personal seperti mengajak mahasiswa makan bersama, atau memanfaatkan teknologi penerjemah untuk memastikan materi tersampaikan dengan baik. Namun, fakta bahwa semua tutor INCULS saat ini adalah laki-laki juga menyoroti potensi peningkatan dalam hal kesetaraan gender yang bisa menjadi fokus pengembangan ke depan.  

Di sisi lain, INCULS berperan penting dalam pelestarian dan promosi budaya Indonesia . Melalui pengajaran bahasa, para tutor sekaligus memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia, mulai dari musik tradisional hingga adat istiadat lokal. Rifan mencontohkan bagaimana mahasiswa Ritsumeikan tertarik mempelajari gamelan, sementara mahasiswa HUFS lebih antusias membahas musik populer Indonesia. Penyebaran pengetahuan budaya ini tidak hanya memperkaya wawasan mahasiswa asing tetapi juga memperkuat diplomasi soft power Indonesia di kancah global. Dampaknya bersifat multiplikatif, karena mahasiswa asing tersebut akan membawa pemahaman mereka tentang Indonesia kembali ke negara masing-masing, menciptakan jaringan budaya yang lebih luas.  

Untuk mendukung peran strategis ini, Rifan menyarankan perlunya pengembangan infrastruktur INCULS, seperti pembangunan gedung khusus pengajaran Bahasa Indonesia. Fasilitas yang memadai akan memungkinkan lembaga ini meningkatkan kapasitas pengajaran dan menjangkau lebih banyak pelajar asing. Dengan mempertahankan kualitas pengajaran dan memperluas jaringan kolaborasi, INCULS dapat terus menjadi pionir dalam pengajaran bahasa Indonesia sekaligus berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Melalui pendekatan holistik yang menggabungkan pendidikan, budaya, dan inklusivitas, INCULS membuktikan bahwa pengajaran bahasa bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga investasi bagi perdamaian dan kemajuan global.

[INCULS, Thareeq Arkan Falakh]

123…10

Rilis Berita

  • Menulis Lewat Hati: Perjalanan Kumala dari Sastra Arab ke Dunia Content Writing
  • Tradisi Brandu dalam Kacamata Antropologi Kesehatan
  • Jejak Keilmuan dan Kebudayaan yang Menginspirasi dalam Purna Tugas Dr. G.R. Lono Lastoro S., M.A. Dosen Antropologi Budaya
  • Prodi Bahasa dan Kebudayaan Korea UGM Gelar Talkshow “Dari Jurusan Bahasa ke Dunia Profesional”
  • K-Lit UGM Selenggarakan Workshop Penerjemahan Novel Choi Eunyoung untuk Mahasiswa Prodi Bahasa dan Kebudayaan Korea

Arsip Berita

Video UGM

[shtmlslider name='shslider_options']
dewaraja88 tomatbet slot gacor slot gacor slot gacor jerukbet slot gacor slot gacor slot gacor slot gacor
Universitas Gadjah Mada

Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Jl. Nusantara 1, Bulaksumur Yogyakarta 55281, Indonesia
   fib@ugm.ac.id
   +62 (274) 513096
   +62 (274) 550451

Unit Kerja

  • Pusat Bahasa
  • INCULS
  • Unit Jaminan Mutu
  • Unit Penelitian & Publikasi
  • Unit Humas & Kerjasama
  • Unit Pengabdian kepada Masyarakat & Alumni
  • Biro Jurnal & Penerbitan
  • Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
  • Pusaka Jawa

Fasilitas

  • Perpustakaan
  • Laboratorium Bahasa
  • Laboratorium Komputer
  • Laboratorium Fonetik
  • Student Internet Centre
  • Self Access Unit
  • Gamelan
  • Guest House

Informasi Publik

  • Daftar Informasi Publik
  • Prosedur Permohonan Informasi Publik
  • Daftar Informasi Tersedia Setiap Saat
  • Daftar Informasi Wajib Berkala

Kontak

  • Akademik
  • Dekanat
  • Humas
  • Jurusan / Program Studi

© 2024 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY