
Senin, 6 Oktober 2025 – Bagaimana jika pembangunan tidak harus mengulang model-model gagal yang sama?
Pertanyaan ini menjadi premis utama dari buku “Reimagining Development in Southeast Asia: Alternative Practices from the Grassroots and Social Movements”. Pada Senin, 6 Oktober 2025 Departemen Antropologi mengadakan soft Launching buku “Reimagining Development in Southeast Asia: Alternative Practices from the Grassroots and Social Movements”. Buku ini merupakan hasil kolaborasi antara sejumlah peneliti yang menyoroti berbagai konteks sosial, politik, dan geografis di kawasan Asia Tenggara. Melalui beragam penelitian lapangan dan refleksi teoretis, buku ini menempatkan pembangunan alternatif sebagai fokus utama, sekaligus mengajak pembaca untuk membayangkan ulang arti kemajuan dari sudut pandang masyarakat yang selama ini sering terpinggirkan dalam wacana pembangunan arus utama.
Lebih jauh, para penulis juga mengajak kita untuk mempertanyakan kembali cara pandang yang membatasi pengalaman masyarakat dalam kerangka negara-bangsa. Pembagian wilayah seperti “Asia Tenggara” sesungguhnya tidak lepas dari ekses kolonialisme yang berusaha mengkotakkan ruang sosial dan kebudayaan menjadi entitas yang terpisah. Melalui lensa ini, buku Reimagining Development in Southeast Asia tidak hanya berbicara tentang alternatif pembangunan, tetapi juga tentang bagaimana kita dapat membayangkan kembali hubungan lintas batas—baik secara historis maupun kultural—yang justru menjadi sumber vital bagi munculnya praktik-praktik pembangunan dari akar rumput.
Dalam soft launching buku yang diselenggarakan pada hari Senin lalu, dua dari penyusunnya, Ananeza P. Aban, PhD Researcher dari Universitas Ghent, dan Jose Monfred C. Sy, PhD Researcher dari Universitas Hong Kong, hadir untuk memberikan presentasi singkat mengenai garis besar isi buku serta topik-topik utama yang dibahas. Keduanya menyoroti bagaimana inisiatif-inisiatif lokal dan gerakan sosial di berbagai negara Asia Tenggara dapat menjadi bentuk pembangunan alternatif yang berupaya keluar dari format kolonial dan menegosiasikan kembali relasi kuasa dalam konteks global.
Acara ini juga menjadi ruang diskusi bagi peserta untuk meninjau kembali konsep pembangunan yang selama ini didominasi oleh perspektif global dan kebijakan ekonomi arus utama. Melalui peluncuran ini, para penulis berharap dapat membuka percakapan yang lebih luas mengenai masa depan pembangunan di kawasan, bagaimana pengalaman dari akar rumput dapat menjadi sumber inspirasi bagi arah pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan, serta mengajak para peneliti untuk berpartisipasi dalam mendokumentasikan praktik-praktik pembangunan lokal—terutama di wilayah Asia Tenggara.
[Antropologi Budaya, Daiva Keefe Kalimasadha]