Yogyakarta, 20 Oktober 2025 — Departemen Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan acara Ceramah Pakar: Transformasi Bahasa Indonesia di Media Digital pada Senin, 20 Oktober 2025, pukul 09.00 WIB di Ruang S709 Gedung Soegondo lantai 7. Kegiatan ini menghadirkan tiga pakar bahasa dari berbagai universitas di Indonesia, yaitu Prof. Dr. Munira Hasjim, M.Hum. (Guru Besar Universitas Hasanuddin), Dr. Bernadette Kushartanti, M.Hum. (Dosen Universitas Indonesia), dan Dr. Sailal Arimi, M.Hum. (Dosen Universitas Gadjah Mada), dengan moderator Deni Ferdiansa, S.S., M.A. Acara ini menjadi wadah penting untuk membahas fenomena perubahan dan tantangan bahasa Indonesia di tengah arus digitalisasi yang semakin cepat.
Dalam pemaparannya, Prof. Munira Hasjim mengingatkan pentingnya menjaga konsistensi penggunaan bahasa Indonesia agar tidak mengalami degradasi di era media digital. Ia menyoroti empat fenomena utama dalam transformasi bahasa di dunia maya, yaitu maraknya penggunaan akronim dan singkatan seperti bucin, mager, dan gercep; permainan grafem serta ortografi seperti huruf kecil semua atau kapitalisasi berlebihan; campur kode bahasa Inggris yang semakin sering muncul dalam percakapan; serta penggunaan bahasa kasar dan disfemisme di media sosial. Menurutnya, perubahan tersebut didorong oleh tiga pilar utama, yaitu identitas digital, solidaritas komunitas, dan teknologi komunikasi. Bahasa kini tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga menjadi sarana ekspresi diri dan simbol keanggotaan sosial di ruang virtual.
Sementara itu, Dr. Bernadette Kushartanti menyoroti peran media digital sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan generasi muda, khususnya Generasi Z dan Alpha. Ia menjelaskan bahwa cara berbahasa generasi ini mencerminkan identitas sosial mereka di dunia maya. Campur kode dan penggunaan slang menjadi bentuk ekspresi budaya dan status sosial, sekaligus upaya menegaskan individualitas di tengah lingkungan multikultural. Bernadette juga mengingatkan bahwa di balik potensi positifnya, penggunaan media digital secara berlebihan dapat berdampak pada perubahan perilaku, seperti kecemasan, ketidaksabaran, dan penurunan kemampuan refleksi diri. Karena itu, ia menekankan pentingnya literasi digital dan kesadaran linguistik agar kreativitas bahasa di media sosial tetap selaras dengan nilai-nilai kebahasaan yang baik.
Adapun Dr. Sailal Arimi memaparkan bagaimana fenomena bahasa di media sosial mencerminkan identitas kolektif masyarakat muda. Istilah seperti “Negara Konoha” atau “Warga +62” misalnya, menjadi simbol satir yang menggambarkan rasa kebersamaan sekaligus kritik sosial khas generasi digital. Menurutnya, komunikasi virtual memiliki dua tujuan utama, yakni efisiensi dan ekspresi diri. Bahasa digital memungkinkan pengguna mempercepat pertukaran informasi melalui singkatan seperti FYP, sekaligus mempertegas identitas atau pandangan sosial dengan istilah seperti ACAB atau SJW. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa di era digital tidak hanya mengalami perubahan bentuk, tetapi juga fungsi sosialnya dalam membangun komunitas virtual.
Fenomena-fenomena tersebut memperkaya kosakata, memperluas variasi bahasa, dan menunjukkan vitalitas bahasa Indonesia. Namun di sisi lain, terdapat risiko menurunnya kesadaran terhadap norma kebahasaan formal serta potensi kesalahpahaman dalam konteks komunikasi. Suasana forum berlangsung aktif, banyak mahasiswa yang mengajukan pertanyaan dan berdialog langsung dengan para pemateri, menjadikan forum ini tidak hanya informatif tetapi juga interaktif serta penuh semangat akademik.
[Humas FIB UGM, Candra Solihin]







