FIB Weekly Forum: Sengsara Membawa Nikmat, Budidaya Pangan hingga Pembentukan Selera Makan di Hindia Belanda (Abad ke-19)

Kamis, 13 Maret 2014
Auditorium FIB UGM ; Pukul 13.00
Terbuka Untuk Umum & Disediakan Kudapan

“Sengsara Membawa Nikmat”
Budidaya Pangan hingga Pembentukan Selera Makan
di Hindia Belanda (Abad ke-19)

Oleh: Fadly Rahman

Abstrak:
Boga nasional (national cuisine) adalah sebuah istilah yang umum dipakai setiap bangsa dalam upaya mengidentifikasikan dirinya melalui makanan. Tidak hanya cukup menampilkannya melalui kekhasan makanan; sebelum menjadi khas itu, boga nasional sesungguhnya memiliki akar sejarah yang panjang dalam pertumbuhan bahan-bahan makanan di suatu wilayah hingga bagaimana awal mula diolah dan dikonsumsinya. Penelitian ini akan membahas seputar berbagai kenyataan awal pembentukan boga di Indonesia yang dikenal memiliki kemajemukan dalam hal budaya makannya. Bagaimana kemajemukan itu bisa terbentuk? Dengan mengambil kurun waktu abad ke-19, penelitian ini mencoba untuk membuktikan berbagai hubung kait fakta-fakta seputar pembentukan selera makan di Hindia Belanda. Fakta-fakta terkait kebijakan sistem pembudidayaan tanah hingga kegiatan misionarisasi ternyata memiliki hubungan menarik dalam pembentukan selera makan. Beberapa contoh fakta sepanjang abad ke-19 yang akan disinggung di sini antara lain: seputar meluasnya produksi dan konsumsi beras di Jawa dan luar Jawa; tingginya produksi dan konsumsi daging di Jawa Tengah dan Timur dibandingkan di Jawa Barat yang condong vegetaris; serta dampak kristenisasi bagi pembentukan selera makan penduduk Pribumi di kawasan timur Hindia Belanda. Bagaimana itu semua terjadi dan seperti apa jejalinnya dalam pembentukan selera makan? Semua itu akan coba dijawab dalam penelitian ini.

Kata kunci: budidaya, selera makan, Hindia Belanda

Sarapan Sambil Belajar Teori

Seri Kuliah Teori Sosial Humaniora
Selasa, 11 Maret – 17 Juni 2014
Ruang Multimedia,
Gedung Margono Lt.2 FIB UGM

Mempelajari dan memahami ilmu sosial-humaniora bukanlah persoalan mudah. Dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya, ilmu sosial-humaniora sangat kaya dengan teori. Teori-teori tersebut saling berkait kelindan atau bahkan bertolak belakang. Hal ini terkait erat dengan objek kajiannya, yakni manusia dan hubungannya dengan lingkungan serta manusia-manusia lainnya, yang bersifat unik, dinamis dan heterogen. Untuk itu, diperlukan pemahaman komprehensif dan tepat mengenai kerumitan teori dalam bidang ini.

Namun realitas menunjukkan bahwa mereka yang menekuni studi ilmu-ilmu sosial-humaniora di Indonesia, khususnya di tingkat universitas tidak mampu menunjukkan kemampuannya dalam memahami cara kerja teori-teori ilmu sosial-humaniora, baik kelemahan maupun kekuatan dari teori-teori tersebut, serta tidak kritis terhadap bias kerangka teori yang dipakai dalam penelitian. Menyikapi hal tersebut, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada akan menyelenggarakan “Seri Kuliah Teori-Teori Sosial-Humaniora”, setiap hari Selasa, mulai tanggal 11 Maret – 17 Juni 2014, Pukul 08.00 – 09.40 WIB di Ruang Multimedia, Gedung Margono Djojohadikusumo Lt.2, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Sinergi antara Sastra dan Industri Kreatif

Oleh: Dr. Novi Siti Kussuji Indrastuti, M.Hum

Sastra dan industri kreatif sama-sama berbasis  pada talenta dan kreativitas serta bernuansa budaya. Perbedaannya adalah proses penciptaan karya sastra lebih diorientasikan pada kepentingan literer (kesastraan), sedangkan industri kreatif lebih diorientasikan pada kepentingan pasar sesuai dengan sifat dasar dunia industri. Permasalahannya adalah bagaimana bentuk-bentuk sinergisme yang tercipta antara sastra dan industri kreatif. Dengan demikian, sastra tidak hanya menarik untuk dikaji dari aspek literernya.  Akan tetapi, aspek produksi sastra juga merupakan hal yang penting dan menarik untuk dikaji dalam era industri kreatif sekarang ini.

Ketika produksi sastra ditempatkan dalam perspektif bisnis, sesungguhnya saat itu juga karya sastra mengalami pergeseran fungsi. Karya sastra tidak lagi hanya berperan sebagai produk kultural, tetapi juga sebagai produk industri. Oleh karena itu, dalam hal ini karya sastra dianggap sebagai “komoditas” yang menjadi salah satu sarana perputaran modal. Karya sastra masuk dalam proses industrialisasi yang hampir sepenuhnya bergerak untuk kepentingan pasar. Dalam posisinya sebagai komoditas, karya sastra sering harus menyesuaikan dengan kepentingan pasar sehingga selera konsumen sering sangat menentukan corak komoditas tersebut. Akan tetapi, kapitalisasi sistem produksi sastra tidak selamanya merugikan pertumbuhan sastra karena kapitalisasi tersebut justru dapat merangsang produktivitas penciptaan karya sastra. Dengan sistem manajemen yang bervisi bisnis dan dengan modal yang besar, sebuah karya sastra dapat diterbitkan dalam jumlah besar dan didistribusikan secara lebih luas. Dengan demikian, penerbit juga dapat memberikan royalty yang lebih profesional kepada pengarang sehingga mendorongnya untuk lebih produktif dan kreatif dalam berkarya.