Perubahan adalah sebuah konsep yang tidak pernah ketinggalan dalam mengkaji ilmu-ilmu sosial. Sejarah sosial kota Jambi, Industri batik Pekalongan, dan dinamika sejarah Surat Ijo di Surabaya adalah sebuah peristiwa sejarah yang unik karena kesinambungan peristiwa itu yang masih terasa hingga masa kini. Demikian salah satu point penting dalam Kegiatan Seminar Bulanan, Mahasiswa S-3 Program Pascasarjana FIB UGM ini Rabu, 21 Mei 2014. Hadir sebagai pembicara adalah Chusnul Hayati (UNDIP-Semarang), Sukaryanto (Unair-Surabaya), dan Zulqoiyyim (UNAND-Padang).
Menurut Zulqoiyyim, yang unik dari perkembangan kota Jambi adalah terjadinya pertarungan kota baru colonial dengan kota lama yang ada pada kedua sisi sungai Batanghari di utara dan selatan. Masyarakatnya pun ikut larut dalam proses persaingan itu, yakni menjadi masyarakat terbuka pada satu era dan pada era berikutnya menjadi masyarakat tertutup. Persaingan kedua kota yang dibatasi sungai itu juga terlihat dari infrastrukur, simbol-simbol kota modern, dan sejumlah kebijakan untuk kemajuan kota secara social ekonomi yang diterapkan di Kota kolonial Jambi. Pada akhirnya, trend perubahan kota baru Jambi yang ditata colonial ikut mempegaruhi image masyarakat kota Jambi yang terus dibangun hingga tahun 2000, papar Zulqoiyyim, Dosen Universitas Andalas Padang ini.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa pola umum kota-kota di Indonesia dalam sejarah, paling tidak bisa dibaca dalam dua hal, yakni kota awal (lama) yang dibangun berdasarkan konsep local penguasa kerajaan di kota itu dan konsep modern menurut ukuran orang orang Eropa yang didirikan di Indonesia. Kota-kota Kolonial ini dibangun berdasarkan pertimbangan lokasi yang memadai dan memenuhi sejumlah persyaratan tertentu seperti keamanan dari factor alam (bebas banjir) dan terhubung baik dengan jaringan transportasi.
Sementara itu, Chusnul Hayati yang membahas tentang Industri Bantik Pekalongan menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan mendasar tantangan Industri batik pekalongan dalam perkembangannya, khususnya pada era Orde Baru. Kebijakan otoritas Orde Baru terhadap industry batik memberi dampak berbeda di Pekalongan, Jogja, dan Surakarta. Kemunduran industry batik di kota Pekalongan lebih disebabkan oleh factor ekternal yakni masuknya batik tekstil dari luar pekalongan yang harganya lebih murah seperti Bandung dan Jakarta. Terbukanya kran impor di tekstil di era Orde Baru yang berasal dari Singapore, Malaysia, dan Hongkong ikut mendorong laju kemerosotan industry batik Pekalongan. Di Jogja dan Surakarta lebih karena masuknya batik printing. Oleh karena itu, lanjut Chusnul, hal-hal seperti ini perlu diteliti agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar pas untuk mengontrol dan bagaimana menjaga industry batik ini bisa bertahan hingga masa mendatang.
Masalah yang dihadapi oleh industry batik hampir sama peliknya dengan keberadaan kehadiran surat Ijo yang diperuntukan bagi warga kota yang menyewa lahan dengan status HPL (hak Pengelolaan Tanah) di Kota Surabaya. Menurut Sukaryanto, permasalahan Surat Ijo sudah lama berlangsung dan telah menjadi masalah unik yang hingga kini belum bisa diselesaikan. Di satu sisi warga kota Surabaya ingin mengubah HPL menjadi Hak Guna pakai atau hak milik, tetapi di sisi yang lain, Pemkot Surabaya tidak merestui perubahan itu. Bahkan menurut Undang-undang Agrariapun tidak mengenal istilah HPL atau Surat Ijo. Pada titik ini seakan memberi kesan bahwa konflik pertanahan di kota Surabaya semakin pelik dan dalam beberapa hal “ada negara di dalam negara”. Kondisi inilah yang ikut mewarnai dinamika perubahan yang terjadi pada masyarakat kota Surabaya selama ini.
Asal muasal surat ijo ini ada sejak masa Belanda. Pada saat itu, Belanda mendirikan rumah-rumah untuk para karyawan. Tanah-tanah itu tersebar di berbagai kelurahan di Surabaya dan kini berada di tengah kota. Tanah-tanah itu memiliki peta yang jelas dan sering berganti penyewa. Apabila ditemukan penyewa tanah itu tidak jelas, maka Pemkot Surabaya segera mengalihkan status tanah menjadi HPL, konflik antara penghuni tanah dengan pemkot pun berlanjut, papar, dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga ini.
Sebagai sebuah riset dengan level tinggi, eksplanasi sejarah katiga topic seminar harus diperkaya dengan pendekatan budaya. Bisa saja kemunduran Industri batik pekalongan tidak hanya dipengaruhi oleh factor kebijakan, tetapi karena adanya perubahan budaya dalam masyarakat yang tidak mengembangkan batik lagi. Demikian halnya yang terjadi dalam masyarakat Surabaya. Keengganan menyelesaikan masalah surat ijo bisa jadi ada pengaruh budaya juga, kata Dr. Nuraini Setiyawati dari Jurusan Sejarah UGM yang hadir pada seminar tersebut. (Ode-s3-UGM)
Disarikan dari Hasil Seminar Mahasiswa S3 Program Studi Sejarah, Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Contributor:
La Ode Rabani