• About UGM
  • Academic Portal
  • IT Center
  • Library
  • Research
  • Webmail
  • Informasi Publik
  • Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Manajemen
    • Tenaga Kependidikan
    • Tenaga Pendidik
  • Akademik
    • Kalender Akademik
    • Program Sarjana
      • Antropologi Budaya
      • Arkeologi
      • Sejarah
      • Pariwisata
      • Bahasa dan Kebudayaan Korea
      • Bahasa dan Sastra Indonesia
      • Sastra Inggris
      • Sastra Arab
      • Bahasa dan Kebudayaan Jepang
      • Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa
      • Bahasa dan Sastra Prancis
    • Program Master/S2
      • Magister Antropologi
      • Magister Arkeologi
      • Magister Sejarah
      • Magister Sastra
      • Magister Linguistik
      • Magister Pengkajian Amerika
      • Magister Kajian Budaya Timur Tengah
    • Program Doktor/S3
      • Antropologi
      • Ilmu-ilmu Humaniora
      • Pengkajian Amerika
    • Beasiswa
  • KPPM
    • Info Penelitian
    • Publikasi Ilmiah
    • Pengabdian Masyarakat
    • Kerjasama Luar Negeri
    • Kerjasama Dalam Negeri
  • Organisasi Mahasiswa
    • Lembaga Eksekutif Mahasiswa
    • Badan Semi Otonom
      • KAPALASASTRA
      • Persekutuan Mahasiswa Kristen
      • LINCAK
      • Saskine
      • Keluarga Mahasiswa Katolik
      • Dian Budaya
      • Sastra Kanuragan (Sasgan)
      • Keluarga Muslim Ilmu Budaya (KMIB)
      • Bejo Mulyo
    • Lembaga Otonom
      • Himpunan Mahasiswa Arkeologi
      • Ikatan Mahasiswa Jurusan Inggris
      • Himpunan Mahasiswa Pariwisata
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia
      • Ikatan Mahasiswa Sastra Asia Barat
      • Himpunan Mahasiswa Bahasa Korea
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara
      • Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah
      • Himpunan Mahasiswa Studi Prancis
      • Keluarga Mahasiswa Antropologi
      • Himpunan Mahasiswa Jepang
  • Pendaftaran
  • Beranda
  • HEADLINE
  • hal. 139
Arsip:

HEADLINE

Pentingnya Pengetahuan dan Peradaban (Lokal) Nusantara dalam Penelitian

HEADLINENews ReleaseSTICKY NEWS Rabu, 4 Juni 2014

Sadar atau tidak, kebanyakan dari hasil penelitian kita mengekor pada konsep-konsep yang dihadirkan oleh peneliti Asing, sehingga kita tidak pernah merdeka dari “penjajahan” ilmu pengetahuan Barat. Padahal, Nusantara memiliki tradisi dan sastra lisan yang penuh dengan konsep-konsep ilmu pengetahuan dan peradaban yang kaya dalam bentuk pewarisan sastra dan tradisi lisan.
“Dahsyatnya konsep pengetahuan lokal tidak kalah dengan pengetahuan luas yang selalu kita impor. Konsep “Tsunami” misalnya, yang menggambarkan gelombang tinggi yang terjadi di Pantai Barat Sumatra sampai Aceh. Pengetahuan local masyarakat Simeleu (Aceh) telah lama mengenal konsep pengetahuan tentang gelombang besar tersebut dengan “mong” atau “smong”. Gambaran konsep pengetahuan local lain tentang “Living Green” yang ada pada masyarakat Riau. Dan dalam konteks ini, masuknya perkebunan kelapa sawit telah menghilangkan living green yang mengakar pada masyarakat Riau. Karena konsep pengetahuan local itu tidak pernah dihadirkan, maka sumber pengetahuan local nusantara semakin tidak terdengar gaungnya.
Hal itu disampaikan Prof. Dr. Bambang Purwanto dalam Pengantar Seminar Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora bertema “Tradisi Lisan, Sastra Lisan dan Sejarah Lisan dalam Perspektif Kajian Kritis” di Ruang Margono, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu 4 Juli 2014.
Prof. Bambang menambahkan bahwa kebiasaan sebagian peneliti Indonesia tidak memanfaatkan dan menghadirkan konsep-konsep local dalam kajiannya sehingga konsep-konsep local yang demikian baik itu tidak mampu berdialog dengan konsep-konsep yang lebih dulu dihadirkan oleh peneliti lainnya.
Dalam konteks ini, peneliti yang ada pada level paling tinggi seharusnya menghadirkan konsep-konsep lokal Nusantara yang kaya itu ke dalam penelitian mereka sehingga dialog dengan konsep yang sudah ada bisa berdialog dengan baik dalam ranah ilmu pengetahuan dengan memanfaatkan Sastra Lisan, Tradisi Lisan dan Sejarah Lisan.
Diakhir pengantarnya, Prof. Bambang mengajak para peneliti (mahasiswa S3 yang sedang menyusung Disertasi) agar memanfaatkan potensi pengetahuan dan peradaban local yang kaya itu dalam penelitian mereka. “Belum tentu yang tertulis dalam teks itu lebih hebat daripada yang lisan. Pengabaian tradisi lisan sebagai sumber sejarah (sebagai sumber pengetahuan) selama ini telah mengabaikan banyak peradaban yang ada di Nusantara”, ulasnya.

Contributor:
La Ode Rabani, FIB-UGM

Call For Papers “Museum of our Own: In search of a local museology for Asia”

HEADLINENews Release Senin, 2 Juni 2014

Background

Over the last three decades there has been a rise in museum criticism. What were common practices in museology are now being challenged; especially the ways museums curate their collections, or work with their different stakeholders. Under the pressure of such critique, museum practices have changed significantly worldwide. Museums in the so-called West, for example, have been attempting to ‘decolonize’ their practices, if only partial and incomplete, confronting their colonial roots, while trying to develop new methodologies deemed more suitable for collections and display in the post colonial present. Similarly methodological shifts have been happening in areas of museum conservation and education.

Co-terminus with this rethinking of museums in the West has been similar developments in museology in so-called non-traditional museum spaces, including, and perhaps, especially in Asia, with significant rise in the number of museums as well as an increase in museum training programmes. Despite these sea changes, and the long history of established museum tradition in many non-western societies – in many instances since the 19th century – these local museums remain marginal institutions. In fact, the word ‘museum’ still remains uncommon within the cultural vocabulary of many such societies. Recently academics have tried to identify non-western museological models, where, for example, preservation practices that parallel those in conventional museums can be found. Still these models have not developed sufficiently. Nor are they sufficiently valorized and embedded within museum practice to have the desired effect of improving the status of museums in and the value of museums to these societies.

In response to the need to strengthen museum practice in several of these countries, numerous museum professionals travel to Europe and North America to study museology. This is complemented by a growing number of locally based museology training programmes in Asia. In Indonesia, for example, formal training programs in the field of museology were recently developed in a number of Universities. The archaeology departments of the Universitas Gadjah Mada and Universitas Indonesia have museology training programs at both the Bachelors and the Masters levels. These programmes were developed with the assistance of institutions in the West. But have these local based programs worked? Or, do those who return with ‘western’ museology training really impact the local situation enough?

Five years into the museology education programs Universitas Gadjah Mada, it is now timely to reflect on the state of museums and museum education in Indonesia and Asia in general. More than a critical assessment of the programs themselves, we want to ask questions about how to rethink museological practices that have been already defined in the West for our own museums. We now have museology training programs but do they sufficiently serve our needs? Is the limited valorization of local museums based solely in the fact that they are ‘innately’ western institutions or are there other, more practical reasons for their shortcomings? How do we further develop a training program that responds to local needs? What histories of museums should be mobilized to inform a local museum practice? What, we want to ask, is a museum of our own? The conference will be divided in a number of interrelated sessions addressing different topics in in museology, both at concept and practical levels.

http://arkeologi.fib.ugm.ac.id/main/2014/05/call-for-papers/

Membaca Perubahan Sejarah Kota Jambi, Batik Pekalongan, dan Surat Ijo di Surabaya

HEADLINENews Release Kamis, 22 Mei 2014

Perubahan adalah sebuah konsep yang tidak pernah ketinggalan dalam mengkaji ilmu-ilmu sosial. Sejarah sosial kota Jambi, Industri batik Pekalongan, dan dinamika sejarah Surat Ijo di Surabaya adalah sebuah peristiwa sejarah yang unik karena kesinambungan peristiwa itu yang masih terasa hingga masa kini. Demikian salah satu point penting dalam Kegiatan Seminar Bulanan, Mahasiswa S-3 Program Pascasarjana FIB UGM ini Rabu, 21 Mei 2014. Hadir sebagai pembicara adalah Chusnul Hayati (UNDIP-Semarang), Sukaryanto (Unair-Surabaya), dan Zulqoiyyim (UNAND-Padang).

Menurut Zulqoiyyim, yang unik dari perkembangan kota Jambi adalah terjadinya pertarungan kota baru colonial dengan kota lama yang ada pada kedua sisi sungai Batanghari di utara dan selatan. Masyarakatnya pun ikut larut dalam proses persaingan itu, yakni menjadi masyarakat terbuka pada satu era dan pada era berikutnya menjadi masyarakat tertutup. Persaingan kedua kota yang dibatasi sungai itu juga terlihat dari infrastrukur, simbol-simbol kota modern, dan sejumlah kebijakan untuk kemajuan kota secara social ekonomi yang diterapkan di Kota kolonial Jambi. Pada akhirnya, trend perubahan kota baru Jambi yang ditata colonial ikut mempegaruhi image masyarakat kota Jambi yang terus dibangun hingga tahun 2000, papar Zulqoiyyim, Dosen Universitas Andalas Padang ini.

Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa pola umum kota-kota di Indonesia dalam sejarah, paling tidak bisa dibaca dalam dua hal, yakni kota awal (lama) yang dibangun berdasarkan konsep local penguasa kerajaan di kota itu dan konsep modern menurut ukuran orang orang Eropa yang didirikan di Indonesia. Kota-kota Kolonial ini dibangun berdasarkan pertimbangan lokasi yang memadai dan memenuhi sejumlah persyaratan tertentu seperti keamanan dari factor alam (bebas banjir) dan terhubung baik dengan jaringan transportasi.

Sementara itu, Chusnul Hayati yang membahas tentang Industri Bantik Pekalongan menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan mendasar tantangan Industri batik pekalongan dalam perkembangannya, khususnya pada era Orde Baru. Kebijakan otoritas Orde Baru terhadap industry batik memberi dampak berbeda di Pekalongan, Jogja, dan Surakarta. Kemunduran industry batik di kota Pekalongan lebih disebabkan oleh factor ekternal yakni masuknya batik tekstil dari luar pekalongan yang harganya lebih murah seperti Bandung dan Jakarta. Terbukanya kran impor di tekstil di era Orde Baru yang berasal dari Singapore, Malaysia, dan Hongkong ikut mendorong laju kemerosotan industry batik Pekalongan. Di Jogja dan Surakarta lebih karena masuknya batik printing. Oleh karena itu, lanjut Chusnul, hal-hal seperti ini perlu diteliti agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar pas untuk mengontrol dan bagaimana menjaga industry batik ini bisa bertahan hingga masa mendatang.

Masalah yang dihadapi oleh industry batik hampir sama peliknya dengan keberadaan kehadiran surat Ijo yang diperuntukan bagi warga kota yang menyewa lahan dengan status HPL (hak Pengelolaan Tanah) di Kota Surabaya. Menurut Sukaryanto, permasalahan Surat Ijo sudah lama berlangsung dan telah menjadi masalah unik yang hingga kini belum bisa diselesaikan. Di satu sisi warga kota Surabaya ingin mengubah HPL menjadi Hak Guna pakai atau hak milik, tetapi di sisi yang lain, Pemkot Surabaya tidak merestui perubahan itu. Bahkan menurut Undang-undang Agrariapun tidak mengenal istilah HPL atau Surat Ijo. Pada titik ini seakan memberi kesan bahwa konflik pertanahan di kota Surabaya semakin pelik dan dalam beberapa hal “ada negara di dalam negara”. Kondisi inilah yang ikut mewarnai dinamika perubahan yang terjadi pada masyarakat kota Surabaya selama ini.

Asal muasal surat ijo ini ada sejak masa Belanda. Pada saat itu, Belanda mendirikan rumah-rumah untuk para karyawan. Tanah-tanah itu tersebar di berbagai kelurahan di Surabaya dan kini berada di tengah kota. Tanah-tanah itu memiliki peta yang jelas dan sering berganti penyewa. Apabila ditemukan penyewa tanah itu tidak jelas, maka Pemkot Surabaya segera mengalihkan status tanah menjadi HPL, konflik antara penghuni tanah dengan pemkot pun berlanjut, papar, dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga ini.

Sebagai sebuah riset dengan level tinggi, eksplanasi sejarah katiga topic seminar harus diperkaya dengan pendekatan budaya. Bisa saja kemunduran Industri batik pekalongan tidak hanya dipengaruhi oleh factor kebijakan, tetapi karena adanya perubahan budaya dalam masyarakat yang tidak mengembangkan batik lagi. Demikian halnya yang terjadi dalam masyarakat Surabaya. Keengganan menyelesaikan masalah surat ijo bisa jadi ada pengaruh budaya juga, kata Dr. Nuraini Setiyawati dari Jurusan Sejarah UGM yang hadir pada seminar tersebut. (Ode-s3-UGM)

Disarikan dari Hasil Seminar Mahasiswa S3 Program Studi Sejarah, Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Contributor:
La Ode Rabani

Sejarah Asal Koleksi Indonesia di Volkenkunde Museum

HEADLINE Sabtu, 26 April 2014

Terdapat berbagai jalan terkait keberadaan koleksi benda-benda Indonesia yang tersimpan di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda. Setelah didirikan pada tahun 1837, benda-benda dari Indonesia menjadi salah satu bagian koleksi museum tersebut sejak tahun 1860. Selain dari Indonesia, museum yang awalnya merupakan bangunan rumah sakit ini menyimpan koleksi benda-benda dari hampir seluruh dunia.

Barang-barang dari Indonesia yang berada di sana antara lain didapatkan melalui ekspedisi ilmiah, temuan-temuan penduduk pribumi, rampasan perang, serta pertukaran hadiah antara pemerintah Belanda dengan raja-raja di Indonesia pada waktu itu. Benda-benda yang ditemukan didokumentasikan dengan rapi dan detail. Jika ada dua barang yang ditemukan, maka salah satunya disimpan di museum Batavia, sedangkan yang lain dibawa ke Belanda.

Demikian dikatakan Silvy Werdani Puntowati, M.A., Museum Docent di Volkenkunde Museum, Jum’at (25/4), dalam diskusi ilmiah yang bertajuk Sejarah Asal Koleksi Indonesia di Volkenkunde Museum, Leiden, Belanda. Diskusi yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya UGM bekerja sama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA) cabang Yogyakarta ini dihadiri oleh dosen, mahasiswa, dan beberapa perwakilan dari pengurus museum, perpustakaan, serta kantor arsip dari daerah Yogyakarta.

Sebelum barang-barang dari Indonesia, barang-barang koleksi museum ini adalah kepunyaan Philipp Franz von Siebold. “Dulu dokter berkebangsaan Jerman ini mendapatkan barang-barang tersebut dari pelayarannya ketika menjadi dokter militer Belanda”, ujar nya.

“Barang-barang dari Indonesia terutama arca-arca asli candi Singhasari kini tersimpan dengan baik di museum,” jelas lulusan Antropologi Budaya UGM ini. (Humas)

Sejarah Sosial Orde Baru dan Modernitas di Kota Makassar*

HEADLINENews Release Jumat, 18 April 2014

Hal yang kontras antara sejarah sosial yang kurang mendapat perhatian pada era Orde Baru dan modernitas masyarakat beserta infrastruktur perkotaan yang dianggap sebagai “kelebihan” Orde Baru. Kedua hal itu disampaikan oleh dua pebicara, Toeti Kakialatu, mantan Wartawan Istana pada era Orde Baru dan Ilham Daeng Makelo, dosen pada Jurusan Sejarah Universitas Hassanudin Makassar di Aula Gedung Margono FIB UGM,Rabu 16 Mei 2014. 

Menurut pemaparan Toeti, Salah satu kajian yang kurang mendapat perhatian dalam sejarah orde baru  adalah sejarah sosial, padahal elemen-elemen sosial yang menjadi “bungkus” dari politik kekuasaan yang dijalankan Suharto sangat membekas dalam ingatan sosial dan melembaga dalam kehidupan kemasyarakatan masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam. Majelis Ta’lim yang didirikan untuk mengakomodasi aktivitas sosial keagamaan menjadi begitu kuat sebagai “sampul sosial” untuk mewujudkan tujuan lain dari orde Baru. Menguatnya peran dan kehadiran perempuan dalam ranah legislatif juga sebagian diperkuat pada era Suharto melalui pendidikan organisasi sosial keagamaan Majelis Ta’lim Indonesia. Kehadiran tokoh-tokoh perempuan seperti Tuti Alawiyah dan lainnya menjadi bukti peran tersebut, lanjut Toeti Kakialatu dalam presentasinya yang berjudul “Sejarah Sosial Era Orde Baru”.

Pemakalah kedua yang tampil dalam forum ini adalah Ilham Daeng Makello. Menurut Ilham Era Orde Baru yang dikenal sebagai orde pembangunan juga menjadi pemberi “warna baru” dalam modernitas di kota-kota Indonesia. Meskipun realitas modernitas di kota-Kota Indonesia sudah dimulai sejak awal Abad ke-20. Lebih lanjut ilham mengatakan bahwa  “Kota Makassar adalah salah satu kota yang mengalami pekembangan signifikan dalam arus modernisasi. Gaya Hidup dan perluasan morfologis kota beserta dampak yang mengikutinya melahirkan sisi lain yang juga meragukan terhadap apa yang disebut modernitas. Perilaku masyarakat perkotaan  yang menyertai perkembangan modernitas kota seperti banyaknya tindakan kriminal, penyerobotan tanah, hadirnya kantong-kantong pemukiman liar (slum area), konflik, dan mengalirnya arus urbanisasi ke kota melahirkan keruwetan tersendiri dalam mengatur dan mengembangakan kota Makassar sebagai kota modern”.

Turut hadir dalam seminar yang digagas oleh Mahasiswa Program Pendidikan Doktor Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada tersebut adalah Dr. Agus Suwignyo dari Jurusan Sejarah UGM sebagai pembahas. Menurut Dr. Agus, kajian-kajian sejarah era orde baru memang sudah banyak, tetapi masih miskin perspektif. Oleh karena itu, objek kajian yang sama yang dikaji dengan perspektif yang berbeda akan menambah kemajuan dalam ilmu pengetahuan Indonesia, termasuk dalam disiplin sejarah dan sastra. Dalam konteks itu kedua makalah yang dipaparkan sudah dalam bingkai perspektif yang baru itu. Konsep transformasi yang digunakan untuk menjelaskan perkembangan modernitas di Kota Makassar menjadi relevan dengan catatan menghadirkan banyak elemen-elemen kota yang masih terus mengalami perubahan menjadi kota modern. Demikian halnya dengan sejarah sosial Orde Baru, sejauh mungkin bisa menghadirkan sisi sosial yang lebih luas terhadap era yang masih “membingungkan” sebagian masyarakat Indonesia, khususnya pada masyarakat bawah. (-ode–, contributor; mahasiswa S3, Ilmu Sejarah FIB-UGM)

*Hasil Seminar Program Pendidikan Doktor, Fakultas Ilmu Budaya UGM

1…137138139140141…143

Rilis Berita

  • Siapa Sangka Seorang Mahasiswa Sastra Arab Diterima Magang di Perusahaan BUMN? Inilah Kontribusi Faris Zakiy untuk Masyarakat
  • Mahasiswa NCCU Ikuti Kamis Pon Berbudaya di FIB UGM
  • “Berdongeng Bisa Menyentuh Lebih Dalam dari Logika”: Kisah Pandhita, Mahasiswa Sastra Arab yang Menjadikan Storytelling Sebagai Jalan Hidup
  • Promosi Doktor Arina Isti’anah: Membongkar Wacana Ekologis dalam Promosi Pariwisata Indonesia
  • Budaya dalam Antrean: Ketika Taiwan dan Indonesia Memiliki Cara Sendiri

Arsip Berita

Video UGM

[shtmlslider name='shslider_options']
Universitas Gadjah Mada

Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Jl. Nusantara 1, Bulaksumur Yogyakarta 55281, Indonesia
   fib@ugm.ac.id
   +62 (274) 513096
   +62 (274) 550451

Unit Kerja

  • Pusat Bahasa
  • INCULS
  • Unit Jaminan Mutu
  • Unit Penelitian & Publikasi
  • Unit Humas & Kerjasama
  • Unit Pengabdian kepada Masyarakat & Alumni
  • Biro Jurnal & Penerbitan
  • Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
  • Pusaka Jawa

Fasilitas

  • Perpustakaan
  • Laboratorium Bahasa
  • Laboratorium Komputer
  • Laboratorium Fonetik
  • Student Internet Centre
  • Self Access Unit
  • Gamelan
  • Guest House

Informasi Publik

  • Daftar Informasi Publik
  • Prosedur Permohonan Informasi Publik
  • Daftar Informasi Tersedia Setiap Saat
  • Daftar Informasi Wajib Berkala

Kontak

  • Akademik
  • Dekanat
  • Humas
  • Jurusan / Program Studi

© 2024 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY