Selamat kepada para pemenang Hibah Penulisan Buku untuk Alumni Mahasiswa S2 dan S3, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada:
[gview file=”https://fib.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/10/2015/05/Pengumuman-pemenang-website-Copy-1.pdf”]
PENGUMUMAN Kamis, 21 Mei 2015
Selamat kepada para pemenang Hibah Penulisan Buku untuk Alumni Mahasiswa S2 dan S3, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada:
[gview file=”https://fib.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/10/2015/05/Pengumuman-pemenang-website-Copy-1.pdf”]
News Release Kamis, 21 Mei 2015
Henry Bernstein is Professor Emeritus Development Studies di University of London: School of Oriental and African Studies (SOAS). Beliau telah bekerja selama beberapa dekade dalam bidang ekonomi politik dari perubahan agraris, teori sosial, studi tentang petani, perubahan tanah dan ekonomi pedesaan di Afrika Selatan.
Penelitian Bernstein mencakup banyak bidang tetapi berfokus pada ekonomi politik dari perubahan agraris, serta teori sosial, dan baru-baru ini mengenai globalisasi dan tenaga kerja. Beliau dikenal luas karena teorinya mengenai masyarakat agraris dan perubahannya, yang diidentifikasi dengan analisis kelas dan pendekatan Marxis. Studinya mengenai petani sangat mendetil, dituangkan dalam puluhan artikel dan buku.
Hari Senin, tanggal 25 Mei 2015, Prof. Henry Bernstein akan memberikan kuliah umum sekaligus peluncuran buku “Class Dynamic of Agrarian Change” di Ruang Multimedia Lt. 2 Gedung Margono, pukul 13.00-16.00.
Buku tersebut sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan akan diterbitkan oleh INSIST Press bekerja sama dengan FIB UGM, ISS The Hague dan Sayogjo Institute-Bogo.
AGENDA Selasa, 5 Mei 2015
FIB weekly forum
07 Mei 2015 ; Ruang Sidang 1 FIB UGM
Pukul 13.00
Ethnography, Fieldwork and the Anthropologist’s Emotions –
Challenging ‘Traditional Empiricism’
Thomas Stodulka (Freie Universität Berlin, Germany)
Researchers and their emotions are perceived as an irreconcilable dichotomy. They are considered as nuisances that jeopardize ‘objective’ science. At best, they are regarded as marginal apparitions of limited anecdotic, biographic or artistic interest. Many scientific disciplines have excluded them from their discourse. In contrast, my assumption is that emotions inevitably influence the research process: from the choice of research subjects, the researcher’s positionality and the generation of data, to their interpretation and public representation. We argue that their critical analysis should be part of and not excluded from scientific practice. Instead of obliterating or deeming them as esoteric by-products they should be scrutinized systematically and thus rendered productive for science and the communication of its results to the wider (academic) community.
In particular, fieldwork of anthropologists triggers a range of emotions that impact observation, influence comprehension and guide the formation of theories. Our continued assumption is that fieldwork in its manifold appearances can serve as a paradigm for the researchers’ emotions in general, since only fieldwork creates an extensive corpus of subjective reports (e.g. field diaries, notes, letters) that can be studied exemplarily.
Drawing on examples from my long-term study with street-related adolescents and young adults in Yogyakarta, this talk illustrates that the integration of the ethnographer’s emotions into the analysis, interpretation and representation of ethnographic data can assist in (1) increasing the emotional literacy of ethnographies (2) formulating a more relational anthropological theory and (3) raising emotions to a category of epistemic value.
Dr. Thomas Stodulka’s research focuses on stigma, marginality, and the interplay between culture, emotion, health, and illness. He conducted long-term fieldwork with street-related young men in Yogyakarta, Indonesia between 2001 and 2015, and is currently involved in an interdisciplinary research on cross-cultural perspectives on envy and directs a research project entitled the “The Researchers’ Affects” (http://www.loe.fu-berlin.de/en/affekte-der-forscher)
Address correspondence to him at Freie Universität Berlin, Department of Anthropology, Landoltweg 9-11, 14195 Berlin, Germany. E-mail: thomas.stodulka@fu-berlin.de
AGENDA Rabu, 29 April 2015
Epistimologi Barat dan Memunculkan Epistimologi Indonesia
Pemateri: Al Makin
Pukul 08.00-10.00 ; Selasa, 5 & 19 Mei 2015
di Ruang Sidang 1
Dalam ceramah dan diskusi nanti dibahas tentang dasar-dasar epistimologi (kesadaran ilmu pengetahuan manusia) dari tradisi kuno yang diwarisi oleh Barat saat ini, dan tradisi epistimologi keindonesiaan (yang masih dalam proses pencarian). Maka dalam diskusi akan dipaparkan warisan-warisan kuno, dan sejarah tentang pengetahuan dari naskah-naskah kuno, seperti Gilgamesh (Babilonia Sumeria), Borossus (Kaldea), Herodotus (Yunani), Pliny the Elder (Roma) dan Ibn Khaldun (Arab). Bagaimana dasar-dasar pengetahuan yang akhirnya diwariskan ke dunia Barat, juga berupa teologi dalam tradisi Eropa maupun Arab, itu bertahan dan memberi inspirasi pengetahuan pada peradaban pengetahuan modern saat ini. Cuplikan-cuplikan teks kuno akan dipaparkan dan sedikit perbandingan dari karya-karya sastra dan historiografi Nusantara (Kakawin Sutasoma, Negara Kertagama, dan Babad Tanah Jawa).
News Release Kamis, 16 April 2015
UGM telah membentuk tim kajian independen sebagai respon atas aduan masyarakat Rembang tentang kasus rencana pembangunan pabrik semen di wilayahnya. Menurut Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Alumni UGM, Dr. Paripurna, S.H., M.Hum., LL.M., tim ini terdiri dari pakar dan mahasiswa dari berbagai bidang ilmu dan diketuai oleh Dr. Pujo Semedi.
“Tim ini memberikan kajian tentang pengalihan fungsi sumber daya publik untuk kepentingan industri serta melakukan kajian atas kesaksian dosen UGM dalam persidangan kasus itu,”papar Paripurna, Rabu (15/4).
Paripurna menambahkan kajian tentang alih fungsi sumber daya publik untuk kepentingan industri dari sisi ekonomi pada saat ini tidak mendesak bagi industri semen di Indonesia untuk meningkatkan produksi. Namun, jika di kemudian hari produksi semen memang perlu ditingkatkan maka harus dilakukan dengan mengikuti berbagai pertimbangan, seperti kerusakan lingkungan akibat pertambangan karst pasti terjadi dengan konsekuensi hidrologis, flora, fauna dan sosial.
“Konsekuensi di atas secara akademik belum dapat diidentifikasi dengan tuntas,”katanya.
Oleh sebab itu, kata Paripurna, pengubahan lingkungan karst harus dilakukan secara konservatif dan hati-hati dengan mempertimbangkan; pertambangan dilakukan secara terlokalisir di wilayah yang kosong penduduk atau tidak padat penduduk guna meminimalkan akibat negatif; di wilayah yang dihuni oleh warga pengalihan lahan ke perusahaan dan pengubahan penggunaan lahan harus dengan rela dan tanpa tekanan.
Sementara itu terhadap kesaksian saksi ahli dari UGM, Dr. Eko Haryono dan Dr. Heru Hendrayana, tim UGM melihat bahwa dari sisi keahlian keduanya adalah aksi ahli yang sah dan telah memberikan paparan tentang bidang keahliannya secara profesional. Namun, dalam komunikasi selanjutnya, muncul kesaksian yang tidak sesuai dengan asas kepatutan saksi ahli, antara lain memberikan kesaksian yang dapat mengarahkan pada satu kesimpulan tertentu, padahal keduanya tidak melakukan penelitian langsung di Rembang.
“UGM akan memberikan sanksi administratif sesuai aturan yang berlaku,”pungkas Paripurna (Humas UGM/Satria;foto: Budi H)