Yogyakarta, UGM — Program Studi Magister Antropologi Universitas Gadjah Mada menggelar kuliah Paradigma dan Teori Antropologi di luar kelas bertajuk “Relevansi Dekolonialisme dalam Studi Antropologi” pada 4 November 2025. Dalam kegiatan ini, mahasiswa berjalan berpasangan dari Fakultas Ilmu Budaya menuju Gedung Pusat Balairung UGM sambil melakukan refleksi kritis tentang teori dekolonialisme serta relevansinya dalam praktik antropologi.
Dr. Sita Hidayah, S.Ant., M.A., selaku dosen pengampu, turut mengajak mahasiswa merefleksikan sistem pendidikan tinggi di Indonesia yang merupakan jejak kolonialisme di Indonesia. Kegiatan ini menjadi ruang belajar alternatif yang mengajak mahasiswa menghayati langsung bagaimana warisan kolonial masih membentuk cara pandang, institusi, hingga kurikulum universitas saat ini. Dengan mengambil rute yang perjalan yang historis—dari Fakultas Ilmu Budayam hingga gedung Balairung UGM sebagai simbol birokrasi akademik—para mahasiswa merefleksikan bagaimana struktur pengetahuan modern sering kali masih menempatkan cara pandang Eropa sebagai pusat sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
Mengkritisi Sistem Pengetahuan yang “Membebani” Sejarah
Dalam kuliah ini, mahasiswa merujuk gagasan Boaventura de Sousa Santos (2024) mengenai bagaimana sejarah modern dibangun melalui “dominasi pengetahuan” yang menempatkan Eropa sebagai ukuran universal bagi kemajuan, rasionalitas, dan modernitas. Santos menekankan bahwa kolonialisme tidak hanya merampas tanah dan tenaga kerja, tetapi juga melakukan epistemicide—penghapusan ataupun pengerdilan pengetahuan lokal—yang berdampak panjang pada masyarakat bekas kolonialisme.
Refleksi ini mengantarkan mahasiswa pada pemahaman bahwa antropologi sebagai disiplin ilmu perlu terus mengkaji ulang metode, kategori analitis, dan literatur yang digunakannya. Banyak teori klasik lahir dari konteks kolonial. Tanpa kesadaran kritis, antropologi berpotensi mengulang posisi hierarkis antara pengamat dan yang diamati.
Menimbang Sistem Pendidikan yang Masih Berjejak Kolonial
Selama perjalanan, mahasiswa mendiskusikan bagaimana UGM dibangun di atas struktur pendidikan kolonial yang menempatkan pengetahuan Barat sebagai standar baku. Praktik kurikulum, administrasi akademik, hingga penilaian ilmiah masih merefleksikan apa yang oleh Santos disebut “linearitas waktu modern”—gagasan bahwa Barat selalu berada di garis paling maju, sedangkan budaya lokal diposisikan sebagai tradisional, statis, dan tertinggal
Dalam diskusi, mahasiswa menilai bahwa sistem kampus sering secara tidak sadar mengikis unsur-unsur budaya lokal, baik dalam cara mengajar, membaca, maupun memproduksi ilmu. Salah satu contohnya, praktik internasionalisasi kampus, yang kadang tanpa disadari lebih menonjolkan standar dan kebutuhan mahasiswa asing dibandingkan pengalaman mahasiswa lokal—dapat mencerminkan bias pengetahuan global yang masih berpusat pada perspektif Barat.
Sita yang juga sebagai kepala Program Studi Magister, mengungkapkan bahwa beliau sangat bangga ketika Departemen Antropologi UGM menerima mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia. Baginya, keberagaman latar belakang mahasiswa lokal adalah kekuatan penting bagi pengembangan antropologi di tanah air. Ia menambahkan bahwa proses internasionalisasi kampus tentu tetap diperlukan, tetapi penerimaan mahasiswa asing—baik melalui skema student exchange maupun jalur lain—tidak seharusnya menggeser penghargaan terhadap keberagaman pengetahuan yang lahir dari pengalaman lokal para mahasiswa Indonesia sendiri.
Dalam kegiatan kuliah luar kelas ini, Sita bersama para mahasiswa menyimpulkan bahwa dekolonisasi pendidikan tidak cukup dilakukan hanya dengan mengganti atau menambah materi ajar. Lebih dari itu, dekolonisasi menuntut upaya untuk membongkar struktur pengetahuan yang selama ini menentukan apa yang dianggap sah sebagai “ilmu”, serta membuka ruang yang lebih setara bagi berbagai cara mengetahui, termasuk yang berakar pada pengalaman dan kebudayaan Indonesia.
Upaya Mengembalikan Ruang bagi Pengetahuan Lokal
Kuliah luar kelas ini mendorong peserta mengidentifikasi bagaimana sistem-sistem kehidupan yang berorientasi Barat dapat menggerus, menyingkirkan, atau bahkan menghilangkan ekspresi pengetahuan dan budaya asli masyarakat Indonesia. Di sisi lain, mahasiswa juga merefleksikan aspek positif modernitas—seperti hak asasi manusia atau sistem hukum modern—yang menurut Santos dapat digunakan secara counter-hegemonic sebagai alat perlawanan dan pembelaan kelompok marjinal.
Dengan demikian, kegiatan ini tidak hanya mengajak peserta mengkritik, tetapi juga membayangkan bagaimana kampus dapat mengembangkan ruang akademik yang lebih inklusif bagi keberagaman epistemologi—mulai dari pengetahuan adat, praktik keseharian, hingga narasi-narasi yang selama ini dianggap tidak ilmiah.
Melalui kuliah luar kelas ini, Magister Antropologi UGM menunjukkan bahwa pendidikan kritis dapat tumbuh dari langkah sederhana—dari gerak tubuh, perjalanan bersama, hingga refleksi kolektif. Dengan menelusuri jejak kolonial dalam ruang kampus, mahasiswa diajak tidak hanya mempelajari dekolonialisme, tetapi juga mempraktikkannya. Kegiatan ini sekaligus memperkuat komitmen terhadap SDGs, khususnya pendidikan berkualitas dan pengurangan ketidaksetaraan, dengan mendorong cara belajar yang lebih adil, inklusif, dan peka terhadap keberagaman pengetahuan.
Referensi
Santos, B. (2024). Twelve theses on decolonizing history. NUML Journal of Critical Inquiry, 22(I). https://doi.org/10.52015/numljci.v22ii.287
Penulis: Sandya Kirani

