SDGs 4: Quality Education | SDGs 4: Education for sustainability | SDGs 4: Education | SDGs 10: Culture | SDGs 11: Cultural heritage
Pada Jumat, 1 Maret 2024, Departemen Sejarah FIB UGM kembali menggelar acara kolokium magister sejarah. Terdapat dua pemakalah dan dua pembahas dalam kolokium tersebut, yakni Fajar Santosa dan Adi Wildan Alamsyah sebagai pemakalah, serta Dr. Ahmad Athoillah dan Dr. Ravando Lie sebagai pembahas. Acara berlangsung secara hybrid (daring dan luring) sejak pukul 09.00 hingga 12.00 WIB di Ruang 709 Gedung Soegondo FIB UGM.
Fajar Santosa merupakan pemakalah pertama dalam kolokium itu. Ia mempresentasikan rencana tesis berjudul “Ketika Rakyat Memberontak: Gerakan Massa dalam Reformasi 1998 di Surabaya” yang membahas gerakan massa di kota metropolitan kedua, yakni Surabaya, ketika pecahnya peristiwa reformasi yang berpusat di Jakarta. Ia menjelaskan bahwa tuntutan terhadap reformasi disebabkan oleh krisis ekonomi yang terjadi ketika itu. Krisis itu menyebabkan harga barang naik, PHK terjadi di berbagai tempat, dan kerusuhan terjadi di mana-mana. Rakyat kecil dan kaum menengah pun panik. Mereka membentuk gerakan sosial yang menuntut adanya reformasi serta mundurnya Presiden Soeharto dari jabatannya.
Fajar Santosa mengatakan bahwa narasi yang selama ini berkembang hanya menggambarkan gerakan reformasi pada 1998 sebatas gerakan mahasiswa sebagai representasi dari kelas menengah. Sementara itu, narasi yang menjelaskan bahwa reformasi digerakkan oleh seluruh kelas, baik rakyat kecil, menengah, dan elit belum banyak dibicarakan, termasuk dalam konteks Surabaya. Dalam rencana tesisnya, Fajar Santosa menggunakan teori Gerakan Massa milik Eric Hoffer sebagai basis konseptual.
Selanjutnya, rencana tesis berjudul “Komunitas Tionghoa di Jember 1947-1971: Pengungsian dan Proses Integrasi Sosial dengan Masyarakat Lokal” dipresentasikan oleh Adi Wildan Alamsyah sebagai pemakalah kedua. Ia menjelaskan bahwa pada masa Bersiap (1945-1947), masyarakat Tionghoa menjadi salah satu kelompok yang tereksklusi. Sekitar 4000 pengungsi Tionghoa dari Jawa Barat memilih Jember sebagai tempat tujuan mencari perlindungan. Di wilayah baru itu, mereka melanjutkan kehidupan dan berintegrasi dengan masyarakat Jemberan. Kegiatan permainan sepak bola dan keberadaan alun-alun menjadi media integrasi antara pengungsi Tionghoa dan masyarakat Jemberan.
Adi Wildan Alamsyah mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa Jember dipilih sebagai tujuan pengungsi Tionghoa, yaitu kemungkinan karena Jember menjadi anggota dari kamar dagang Cina. Anggota lain dari kamar dagang Cina itu misalnya Cirebon, Bandung, serta Batavia sebagai pusatnya. Ia juga mengatakan bahwa Jember sebagai kota bisa dikatakan memang menjadi kota diaspora. Hal itu dikarenakan banyak orang dari berbagai suku dan etnis yang datang dan menetap di Jember, seperti Jawa-Madura, Osing, Mandar, maupun Tionghoa.