SDGs 4: Quality Education | SDGs 4: Education in Developing | SDGs 4: Education for Sustainability | SDGs 5: Gender Equality | SDGs 5: Empowerment | SDGs 9: Cooperation | SDGs 10: Reduced Inequalities | SDGs 11: Sustainable Cities and Communities | SDGs 17: Partnerships for the Goals | SDGs 17: Global Partnership
Bagi banyak orang, pertukaran pelajar merupakan salah satu hal yang sangat diidamkan. Seperti halnya dengan Made Widiadnyani, seorang mahasiswi program studi Sastra Inggris angkatan 2020, yang mendapat kesempatan berharga untuk melakukan pertukaran pelajar ke Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) yang sekaligus menjadi penerima beasiswa JASSO (Japan Student Service Organization) selama 5 bulan untuk fall semester. Selama masa studinya di TUFS, ia mengambil beberapa courses seperti Management and Culture in Japan, Introduction to American Short Story, Intercultural Communication, Thai Society, Culture, and Literature in Film, Social Interaction in Culturally Diversifying Japan.
Terlibat dalam program ini memberikan ia pengalaman dan pengetahuan yang baru tentang berbagai macam hal. Contohnya, ketepatan waktu yang telah menjadi kebiasaan masyarakat Jepang pada umumnya. Selama perkuliahan, Made selalu memperhatikan bahwa para dosen selalu memulai kelas tepat waktu sesuai jadwal dan menyelesaikan materi maupun diskusi sesuai dengan jadwal. Sangat lumrah melihat dosen yang sudah berada di kelas 5 – 10 menit sebelum kelas dimulai sehingga kelas selalu dimulai tepat setelah bell pergantian periode kelas berbunyi. Selain itu, setiap bulan November, dilaksanakan festival kampus yang bernama Gaigosai Festival. Selama satu minggu, perkuliahan ditiadakan karena mahasiswa terlibat langsung dalam festival ini dengan mengadakan pertunjukan, menjual makanan dari berbagai negara, hingga menjadi panitia festival.
Pengalaman yang dirasakan Made tentu tidak hanya pengalaman yang menyenangkan saja, terlebih ia tinggal di negara di mana Bahasa Inggris bukan lah bahasa utama yang mereka gunakan sehari-hari, bahkan sangat sedikit masyarakat yang mampu berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Pada awalnya, hal ini cukup menyulitkan Made yang tidak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dalam Bahasa Jepang, ditambah ia harus mengurus berbagai macam dokumen yang menggunakan bahasa tersebut. Namun demikian, hal ini tidak menyurutkan semangatnya, ia mulai belajar beberapa kosakata dalam Bahasa Jepang yang sering digunakan dalam kegiatan sehari-hari melalui google translate, teman-temannya yang berasal dari Jepang, dan sebagainya.
Selain pengalaman yang telah disebutkan di atas, Made juga mengalami beberapa culture shock. Salah satu hal yang paling ia sadari adalah bahwa para penumpang sangat menjaga ketenangan ketika sedang berada dalam transportasi umum. Kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk membaca buku atau bermain ponsel sampai mereka sampai di stasiun tujuan. Selain itu, supermarket di Jepang rata-rata menerapkan sistem pembayaran self-service. Mulai dari scan produk hingga memasukkan ke dalam kantong belanja, semua dilakukan mandiri oleh pembeli.
Pengalaman exchange yang dialami oleh Made Widiadnyani tidak hanya sekadar perjalanan fisik ke luar negeri, tetapi juga sebuah perjalanan batin yang penuh makna. Bagi Made, ini bukan hanya sebuah petualangan internasional pertamanya, tetapi juga merupakan pencapaian besar karena dilakukan secara mandiri. Pentingnya pengalaman ini tidak hanya terletak pada destinasi atau kegiatan yang diikuti, melainkan pada proses keseluruhan yang melibatkan perjuangan, ketekunan, dan ketidakputus-asaan dalam mencapai tujuan. Meskipun Made mengalami beberapa kali kegagalan sebelumnya dalam mencoba mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program exchange, ia tidak pernah menyerah.
Pesan terpenting dari kisah Made adalah bahwa kegagalan tidak selalu berarti akhir dari segalanya. Justru, kegagalan dapat menjadi batu loncatan untuk mencapai kesuksesan. Artinya, sejauh kita mampu melihat kegagalan sebagai peluang belajar dan tidak menyerah, kita masih memiliki kesempatan untuk mencapai impian kita.