Sepanjang sejarah, bangsa Arab telah menjadi pusat perhatian atas polaritas dan orientasi yang bersifat kontiguitas. Identitas Arab selalu ditandai dengan pergulatan antara persatuan dan fragmentasi, tradisi dan modernitas, serta nilai-nilai agama dan sekuler. Bangsa Arab seringkali dianggap sebagai bangsa Timur yang berusaha mengejar ketertinggalan dari Barat yang dianggap sebagai lambang kemajuan dan kemakmuran, khususnya di bidang kebudayaan dan sastra.
Baru-baru ini, Profesor Dr. Fadlil Munawwar Manshur dikukuhkan menjadi Guru Besar Kebudayaan Arab di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Dalam pidato pengukuhannya yang bertajuk Kontiguitas Budaya Arab Dengan Budaya Barat : Perspektif Interaksionisme Simbolis, beliau membahas mengenai bangsa Arab beserta warisan budaya dan sastranya yang telah mengalami banyak transformasi seiring berjalannya waktu. Ia berbicara tentang hubungan antara budaya Arab dan Barat dari perspektif interaksionisme simbolik.
Dalam pidatonya, beliau menyampaikan lima kesimpulan mengenai kedekatan budaya Arab dengan budaya Barat. Pertama, para intelektual Arab mencapai puncak kejayaannya akibat gerakan brain drain, yang menyaksikan banyak ilmuwan dan penulis Arab mempelajari dan menyempurnakan teori-teori ilmiah Barat. Kedua, lambang lebah dan madu melambangkan kekuatan energi budaya dan ilmu pengetahuan dalam kebangkitan budaya Arab.
Ketiga, para cendekiawan Kristen memainkan peran penting dalam melestarikan warisan Yunani kuno, yang mencakup transmisi ekstensif dari literatur Yunani ke literatur Syria dan transmisi dari literatur Syria ke literatur Arab. Dalam pergaulan antara Arab-Islam dan Kristen, terjadi keharmonisan dan kehangatan yang luar biasa. Keempat, simbol pedang dan pena melambangkan kepahlawanan dan intelektualisme Arab, dimana pedang melambangkan kekuatan dan kekuasaan, dan pena melambangkan kebaikan, perdamaian, dan cinta ilmu.
Terakhir, Fadlil membahas bagaimana masyarakat Arab modern digambarkan dalam empat novel yang melambangkan kekuatan ideologi, imigrasi, superiorisme, dan agilisme dalam budaya Arab. Dijelaskannya, kedekatan budaya dengan budaya lain perlu diperkuat dengan konsep struktur, fungsi, komunikasi, dan relasi. Dari segi praksis, ia menekankan bahwa teori kedekatan budaya harus memberikan cetak biru metode yang konkrit, aplikatif, dan spesifik untuk mengintegrasikan pekerjaan manusia ke dalam konteks sosio-kulturalnya.
Sebagai kesimpulan, pidato Fadlil menyoroti perlunya memperkuat hubungan antara budaya Arab dan Barat, yang dapat membantu kita lebih memahami dunia Arab yang kompleks dan beragam.