Pada awal abad XX, kendaraan bermotor milik pribadi menjadi salah satu pemandangan baru di sepanjang jalan raya Daendels di Pantai Utara Jawa. Jalan di Pantai Utara “pantura” ini telah menjadi media mobilitas penting bagi gerak barang, jasa, dan orang. Ketika mobilitas orang, barang, dan jasa semakin intensif, respons atas perubahan itu juga berlangsung. Salah satu repons atas mobilitas orang, barang, dan jasa adalah munculnya kriminalitas. Hal itulah yang terjadi di Pantura sejak awal awal abad XX yang ditandai oleh sejumlah peristiwa kriminal. Istilah-istilah yang umum dikenal pada masa kini seperti perampokan, penganiyayaan, bajing loncat juga menghiasi sejumlah pemberitaan media massa pada hingga tahun 1960an.
Hal itu dikemukakan oleh Endah Sri Hartatik dalam Seminar Hasil Penelitian Disertasi, Program Studi Ilmu-imu Humaniora Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 12 Februari 2015. Dosen Sejarah Undip Semarang ini juga memaparkan bahwa pelaku criminal berasal dari berbagai kelas social, termasuk ada yang “berseragam”, seperti yang termuat dalam sejumlah koran pada tahun 1950an -1980an. Endah mensinyalir adanya sejumlah oknum yang memanfaatkan sejumlah kesempatan di era di mana prioritas ekonomi terabaikan, hususnya periode 1950an-1970an.
Seminar ini juga membahas hasil penelitian Tri Wahyuning M. Irsyam tentang Perjalanan Panjang Kota Depok, sejak dari wajah Depok Jawa Barat “kumuh” hingga menjadi Depok yang berwajah Jakarta, “metropolis”. Menurut Dosen Universitas Indonesia ini, perkembangan kota Depok tidak terlepas dari sejumlah faktor penting. Fator penting itu di antaranya, pembangunan infrastruktur kota Depok sejak Universitas Indonesia memindahkan sebagian Kampus dan aktivitas akademiknya. Pembangunan jalan raya untuk akses ke Depok terus mengalami perbaikan. Infrastruktur kereta Api sebagai pendukung mobilitas orang juga kapasitasnya terus mengalami penambahan. Infrastruktur tersebut telah mempermudah akses ruang terhadap kota depok dalam beberapa aspek.
Kota depok mengalami perubahan demografi yang signifikan. Konsentrasi penduduk masuk (in-migration) baik dari Jakarta maupun daerah lainnya yang ingin memanfaatkan ruang Kota Depok terus bertambah. Akibatnya bagi kota Depok adalah persoalan permukiman dan masuknya investasi hingga menjadikan kota Depok yang mendekati suasana “Jakarta”. Sejumlah hotel, apartemen, pemondokan untuk kaum buruh, dan fasilitas modern seperti Mall dan sarana hiburan dengan mudah ditemukan di kota Depok. Jadi kota Depok berhasil merubah dirinya menjadi Jakarta, tetapi gagal dalam merumuskan identitasnya karena secara administratif termasuk wilayah Jawa Barat.
Akibat lain dari perkembangan ini adalah, masyarakat kota Depok menjadi terhubung secara social, ekonomi dan kultural dengan Jakarta. Hubungan Patron klien juga terjadi antara pemilik tanah di Depok dengan para pemodal Jakarta. Bahkan tanah-tanah orang Depok menjadi milik konglomerat yang ber-KTP Jakarta. Realitas seperti itu bisa dibaca bahwa Depok dengan sumberdayanya dalam arti luas telah menjadi bagian penting Jakarta, meskipun secara administrative bagian dari Propinsi Jawa Barat, tutup Tri Wahyuning M. Irsyam.(LOR-0215)