• About UGM
  • Academic Portal
  • IT Center
  • Library
  • Research
  • Webmail
  • Informasi Publik
  • Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Manajemen
    • Tenaga Kependidikan
    • Tenaga Pendidik
  • Akademik
    • Kalender Akademik
    • Program Sarjana
      • Antropologi Budaya
      • Arkeologi
      • Sejarah
      • Pariwisata
      • Bahasa dan Kebudayaan Korea
      • Bahasa dan Sastra Indonesia
      • Sastra Inggris
      • Sastra Arab
      • Bahasa dan Kebudayaan Jepang
      • Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa
      • Bahasa dan Sastra Prancis
    • Program Master/S2
      • Magister Antropologi
      • Magister Arkeologi
      • Magister Sejarah
      • Magister Sastra
      • Magister Linguistik
      • Magister Pengkajian Amerika
      • Magister Kajian Budaya Timur Tengah
    • Program Doktor/S3
      • Antropologi
      • Ilmu-ilmu Humaniora
      • Pengkajian Amerika
    • Beasiswa
  • KPPM
    • Info Penelitian
    • Publikasi Ilmiah
    • Pengabdian Masyarakat
    • Kerjasama Luar Negeri
    • Kerjasama Dalam Negeri
  • Organisasi Mahasiswa
    • Lembaga Eksekutif Mahasiswa
    • Badan Semi Otonom
      • KAPALASASTRA
      • Persekutuan Mahasiswa Kristen
      • LINCAK
      • Saskine
      • Keluarga Mahasiswa Katolik
      • Dian Budaya
      • Sastra Kanuragan (Sasgan)
      • Keluarga Muslim Ilmu Budaya (KMIB)
      • Bejo Mulyo
    • Lembaga Otonom
      • Himpunan Mahasiswa Arkeologi
      • Ikatan Mahasiswa Jurusan Inggris
      • Himpunan Mahasiswa Pariwisata
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia
      • Ikatan Mahasiswa Sastra Asia Barat
      • Himpunan Mahasiswa Bahasa Korea
      • Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara
      • Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah
      • Himpunan Mahasiswa Studi Prancis
      • Keluarga Mahasiswa Antropologi
      • Himpunan Mahasiswa Jepang
  • Pendaftaran
  • Beranda
  • SDGs 10: Berkurangnya kesenjangan
  • SDGs 10: Berkurangnya kesenjangan
Arsip:

SDGs 10: Berkurangnya kesenjangan

Korea Utara: Di Balik Mitos, Realitas, dan Imajinasi

Rilis BeritaSDGSSDGs 10: Berkurangnya kesenjanganSDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang Tangguh Jumat, 25 Juli 2025

Yogyakarta, 24 Juli 2025 – Dalam pandangan dunia luar, Korea Utara selalu diselimuti oleh tabir misteri. Banyak orang mengenal negara ini lewat laporan media, kesaksian para pembelot, atau bahkan lelucon yang beredar di internet. Namun, jika kita menelusuri lebih dalam mengenai teknologi, kebebasan rakyat, dan kondisi kehidupan di sana, kita akan menemukan kenyataan yang sangat berbeda dari dunia yang kita kenal. Korea Utara bukan negara yang sepenuhnya tertinggal, melainkan negara yang membangun sistem terpusat dengan fokus utama pada stabilitas rezim dan kekuatan militer . Korea Utara adalah masyarakat otoriter di mana kemajuan teknologi hidup berdampingan dengan penindasan terhadap rakyatnya.

Kemajuan teknologi Korea Utara sangat berorientasi pada militer. Sejak tahun 2006, negara ini aktif melakukan uji coba nuklir, mengembangkan peluru kendali balistik antarbenua (ICBM), satelit militer, dan teknologi bahan bakar padat. Kemampuan serangan sibernya juga menimbulkan kekhawatiran global, dengan kelompok peretas seperti Lazarus Group yang diduga berada di balik sejumlah serangan dunia maya besar.

Di bidang teknologi informasi, Korea Utara memiliki ponsel dan sistem operasi buatan sendiri seperti Arirang dan Red Star OS, yang hanya terhubung ke intranet nasional bernama “Kwangmyong” — jaringan lokal yang dikontrol ketat pemerintah. BBC bahkan mengungkap bahwa ponsel buatan Korea Utara dilengkapi sistem pemantauan internal yang dapat merekam layar dan melaporkan perilaku yang dianggap menyimpang, mencerminkan betapa ketatnya kontrol negara terhadap informasi.

Tak hanya dalam akses informasi, kebebasan bergerak pun dibatasi. Warga tidak dapat bepergian antardaerah tanpa izin resmi berupa “surat perjalanan”. Sistem sosial bernama songbun, yang mengklasifikasikan warga berdasarkan latar belakang keluarga, menentukan siapa yang boleh masuk ke kota-kota istimewa seperti Pyongyang. Tempat wisata alam seperti Gunung Myohyang dan Gunung Kumgang pun umumnya hanya terbuka bagi pejabat tinggi atau turis asing, bukan untuk rakyat biasa.

Pakaian warga Korea Utara juga sangat diatur. Seragam militer hanya boleh dikenakan oleh tentara, sementara masyarakat umum seperti pelajar dan pekerja diwajibkan memakai pakaian seragam yang sederhana. Pakaian mencolok atau bergaya individual dianggap sebagai simbol pengaruh budaya Barat. Celana jeans, misalnya, pernah dilarang sepenuhnya karena dianggap sebagai simbol kapitalisme. Meski kini mulai muncul kembali di pasar gelap, penggunaannya tetap terbatas, terutama di kota-kota besar seperti Pyongyang. Di sana, jeans bukan sekadar pakaian, melainkan simbol dari perlawanan ideologis.

Lalu, mengapa rakyat Korea Utara tidak memberontak? Jawabannya bukan karena mereka tidak mau, tetapi karena mereka tidak memiliki ruang untuk melakukannya. Pemerintah menutup akses informasi, sehingga rakyat sulit membandingkan kehidupan mereka dengan dunia luar. Kalaupun ada arus informasi yang masuk lewat pasar gelap, hanya segelintir orang yang bisa mengaksesnya. Mayoritas masih percaya bahwa Korea Utara adalah negara terbaik di dunia—atau setidaknya, mereka tidak bisa memastikan kebenarannya.

Indoktrinasi sejak kecil dan pemujaan terhadap pemimpin telah membentuk gambaran bahwa hidup tanpa pemimpin adalah mustahil. Rasa takut akan hukuman, bahkan yang bisa menyeret seluruh keluarga, membuat siapa pun enggan mengkritik, apalagi mengorganisir perlawanan. Ditambah lagi, sistem pengawasan sosial seperti “rapat evaluasi kehidupan” menciptakan lingkungan penuh kecurigaan, di mana teman bahkan keluarga bisa menjadi pelapor. Kepercayaan sosial pun runtuh, dan gerakan perlawanan sulit tumbuh.

Korea Utara bukan sekadar rezim jahat atau objek ejekan media, tetapi cermin ekstrem dari sebuah sistem otoriter yang menekan manusia hingga kehilangan hak memilih. Rakyat Korea Utara tidak diam karena tidak tahu, melainkan karena mereka tidak bisa berbicara atau bertindak tanpa risiko besar. Dari menonton drama Korea secara diam-diam, bertukar informasi di pasar gelap, hingga menyimpan pemikiran alternatif dalam hati—semua adalah bentuk kecil perlawanan dan kemanusiaan yang tetap menyala dalam tekanan. Memahami Korea Utara bukan sekadar mengenali sebuah negara, tetapi juga mengajak kita merenungi kembali makna kebebasan, kebenaran, dan kemanusiaan dalam kehidupan kita sendiri.

[National Chengchi University, Pan Ke En]

Kisah Kopi Es Tak Kie dan Ingatan Kampung Rawa: Perjuangan dan Warisan Tionghoa di Tengah Kota

Rilis BeritaSDGSSDGs 10: Mengurangi KetimpanganSDGs 11: Kota dan Pemukiman Yang BerkelanjutanSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Rabu, 23 Juli 2025

Yogyakarta, 22  Juli 2025 – Di Jakarta, ada sebuah sudut kota yang sederhana namun hangat yaitu kedai Kopi Es Tak Kie . Kedai kopi ini bukan sekadar tempat minum teh atau kopi, melainkan seperti lorong waktu yang memungkinkan kita mengintip kehidupan para imigran Tionghoa di masa lalu, serta ingatan kolektif mereka yang dimulai dari tanah “rawa” (kampung rumput atau kampung rawa).

Istilah “cao pu” (kampung rawa) dulu digunakan masyarakat perkotaan di Indonesia untuk menyebut wilayah rendah yang belum berkembang dan sering tergenang banjir. Bagi para imigran Tionghoa awal yang bermigrasi ke Indonesia, tanah-tanah seperti ini sering kali menjadi satu-satunya tempat mereka bisa bertahan hidup. Meskipun terpinggirkan oleh tata kota utama, justru di tempat seperti inilah mereka memulai hidup, berwirausaha, dan menetap.

Kopi Es Tak Kie berdiri di kawasan seperti itu. Pendiri kedai ini, Tuan Liang Gwe Tjong, adalah seorang imigran Kanton yang selama bertahun-tahun berjualan kopi dengan gerobak keliling di wilayah cao pu. Setelah menabung cukup lama, ia akhirnya bisa membeli tempat tetap pada tahun 1927.Sekarang , generasi ketiga dari keluarga ini masih menjaga kedai, termasuk sang pemilik yang bertugas di balik meja kasir.

Tak hanya pelanggan lama yang datang, generasi muda pun mulai tertarik mengunjungi tempat ini. Meski mereka tidak mengalami kerasnya hidup di kampung rawa, lewat foto-foto lawas di dinding dan potongan surat kabar tua yang dipajang, mereka mulai memahami dari mana asal-usul keluarga mereka.

Banyak anak muda keturunan Tionghoa yang bekerja di kota mengenang cerita dari orang tua atau kakek-nenek mereka: “dulu kalau hujan besar, rumah bisa hanyut semua,” atau “dulu kirim barang harus dorong papan lewat jalan berlumpur.” Ingatan-ingatan seperti ini kini kembali dirajut dan dihargai lewat ruang seperti Tak Kie, menjadi tempat bagi generasi muda untuk merebut kembali identitas budaya dan akar sejarah mereka.

Namun, gelombang urbanisasi kini mengancam keberadaan kawasan-kawasan seperti kampung rawa yang pernah dibangun oleh komunitas Tionghoa. Gedung-gedung tinggi dan proyek besar perlahan menggantikan rumah-rumah sederhana. Banyak komunitas lama dipaksa pindah ke pinggiran, sementara ruang budaya yang mereka warisi mulai hilang. Ini bukan hanya penggusuran ruang fisik, melainkan juga kehilangan memori kolektif dan identitas sosial. Para lansia Tionghoa seringkali kesulitan beradaptasi, dan pola hidup berbasis jaringan sosial dan solidaritas komunitas semakin terkikis.

Bagi generasi muda, tanpa tempat seperti Tak Kie, akan semakin sulit menjalin hubungan dengan akar budaya mereka. Untungnya, ruang seperti ini tetap bertahan dalam celah-celah sempit kota. Tak hanya menyajikan makanan khas seperti bakmi dan pangsit hangat, Tak Kie juga menjadi pengingat sejarah dan ruang pendidikan budaya bagi masyarakat luas.

Semangat cao pu bukanlah nostalgia belaka, melainkan pengingat bahwa di tengah dorongan efisiensi dan modernisasi kota, kita tidak boleh melupakan mereka yang diam-diam membangun impian dari tanah becek dan licin. Kisah mereka adalah bagian dari sejarah kota — bukan hanya milik komunitas Tionghoa.

Saat kita duduk di Kopi Es Tak Kie, sambil menyeruput semangkuk kuah pangsit yang mengepul, mungkin kita sedang merasakan tiga hal sekaligus: memori rawa yang lembap, perjuangan migran, dan tarik-menarik kota modern. Pembangunan kota seharusnya tidak hanya soal membangun ke atas, tapi juga menyelami akar ke bawah. Bila kita bersedia menyisakan ruang bagi warisan budaya seperti ini, maka tempat-tempat seperti Tak Kie akan terus menjadi penjaga jiwa kota.

[National Chengchi University, Pan Ke En]

Menyalakan Cahaya Pendidikan Melalui Aksi Nyata

SDGs 10: Berkurangnya kesenjanganSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Senin, 16 Juni 2025

“Saat kecil, aku selalu bertanya-tanya: mengapa ketika aku bisa memikirkan sesuatu, orang lain belum tentu bisa? Begitu pula sebaliknya, orang lain bisa memikirkan hal-hal yang bahkan tak pernah terpikirkan olehku. Lama kelamaan, aku menyadari bahwa setiap orang memiliki cara berpikir dan kecerdasannya masing-masing.”

Refleksi sederhana itu kini menjadi pondasi kuat bagi langkah-langkah inspiratif Noveza Prima Prasta, mahasiswa semester 2 Program Studi Sastra Arab, Fakultas Ilmu Budaya UGM. Seiring waktu dan perjalanan, pemikiran tersebut membawanya menyelami dunia pendidikan dan pengajaran anak-anak dari berbagai latar belakang—bukan sekadar menjadi pengajar, namun juga pembelajar dari kehidupan.

 

Memahami Dunia dari Perspektif Anak

Sebagai mahasiswa muda, Noveza telah aktif terjun dalam berbagai kegiatan kerelawanan di bidang pendidikan. Ia percaya bahwa memahami realitas anak-anak dan cara mereka berpikir adalah jalan awal untuk membuat perubahan. Keyakinan ini membawanya bergabung dengan sejumlah komunitas pengajar, seperti Rumah Mengajar UGM, Elbom, Arabic Camp, dan TPA Al Akhdor. Di tempat-tempat itu, ia tak hanya mengajar membaca dan menulis, tetapi juga belajar memahami keragaman karakter, harapan, dan cara berpikir anak-anak.

“Setiap kali aku bertemu dengan anak-anak dari berbagai lingkungan, aku belajar satu hal: tidak ada kecerdasan yang lebih tinggi dari yang lain, hanya cara kerja otak dan pengalaman yang berbeda,” ujarnya.

 

Pendidikan Bukan Sekadar Kelas

Noveza juga aktif di berbagai komunitas edukatif lainnya seperti Sekolah Rakyat Serdadu Kumbang. Dalam setiap kegiatan, ia selalu mengedepankan nilai inklusivitas dan empati, menyadari bahwa pendidikan bukan hanya soal materi pelajaran, melainkan juga soal keberpihakan dan perhatian.

“Banyak dari mereka yang hanya butuh didengar, dihargai, dan diyakinkan bahwa mereka mampu,” tambahnya. Dan dari sanalah dia bertekat untuk hadir tak hanya sebagai guru melainkan menjadi teman belajar yang mampu mendengarkan setiap suara yang muncul dari hati kecil setiap anak.

Dalam perjalanannya menjadi relawan pendidikan, Noveza sering kali dihadapkan pada satu kenyataan yang menyentuh: masih banyak anak-anak di Indonesia yang belum mendapatkan ruang belajar yang sesuai dengan cara pikir dan kecerdasan mereka. Padahal, setiap anak memiliki potensi dan gaya belajar yang berbeda-beda. Ada yang cemerlang dalam logika, ada yang gemilang dalam seni, ada yang tumbuh lewat diskusi, dan ada pula yang berkembang lewat sentuhan kasih sayang.

Namun sistem pendidikan yang seragam dan berorientasi pada capaian angka sering kali tidak memberi cukup ruang bagi keragaman tersebut. Banyak anak merasa tertinggal, bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena metode belajar yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.

“Kadang aku bertemu anak-anak yang dicap ‘lambat’ di sekolah, padahal saat aku ajak bermain sambil belajar, mereka justru sangat cepat menyerap,” cerita Noveza. “Masalahnya bukan di mereka, tapi pada pendekatan yang belum berpihak pada semua anak.”

Baginya, menjadi volunter bukan sekadar kegiatan tambahan, tapi sebuah jalan hidup. Ia bermimpi kelak bisa mendirikan ruang belajar mandiri bagi anak-anak marginal, tempat di mana belajar terasa menyenangkan dan bebas dari tekanan. Ia percaya, dalam dunia yang penuh tantangan ini, setiap aksi kecil yang konsisten bisa menjadi cahaya besar bagi mereka yang membutuhkan. Dan seperti kata pepatah Arab yang ia sukai, “العلم نور”—ilmu adalah cahaya.

Pengalaman-pengalaman di atas lah yang membuat Noveza semakin yakin bahwa pendidikan tidak boleh berhenti hanya pada kelas dan kurikulum. Ia percaya bahwa semua anak, dari latar belakang apapun, berhak atas ruang belajar yang adil-yang tidak hanya menuntut, tapi juga memahami.

[Humas FIB UGM, Candra Solihin]

Workshop Tengah Program MARS UGM: Melihat Kompleksitas Isu Migrasi dari Kacamata Dunia Selatan

News Release Kamis, 22 Mei 2025

Yogyakarta, 22/5/25 ― Pada Senin (28/04) beberapa dosen Antropologi, Sejarah, Pariwisata dan Sastra Prancis FIB UGM yang tergabung dalam program riset ‘Non-Western Migration Regimes in a Global Perspective’ (MARS) melangsungkan workshop tengah program bertempat di Ruang Baca Departemen Antropologi. Program riset ini dipimpin oleh Pujo Semedi mendapat pendanaan dari European Commission dengan melibatkan konsorsium peneliti dari sejumlah universitas di Eropa, Asia Tengah, dan Asia Tenggara (diwakili oleh UGM) mengemban misi untuk memberi tempat para peneliti Dunia Selatan (Global South) untuk ikut andil dalam diskursus migrasi global. Selain Pujo Semedi, beberapa dosen ikut andil dalam program ini seperti, Heddy Shri Ahimsa-Putra; Bambang Purwanto; Agung Wicaksono; Arifah Arum Candra Hayuningsih; Agus Indiyanto; Realisa D. Masardi; dan Runavia Mulyasari. Workshop berlangsung selama kurang lebih tiga jam, turut diikuti oleh beberapa mahasiswa magister antropologi.

Hasil riset tim peneliti yang disampaikan dalam workshop menyinggung isu migrasi di Dunia Selatan terutama kawasan Indonesia saling terkait dengan isu sosial, politik, dan ekonomi. Mengambil studi kasus migrasi internal (transmigrasi, tenaga kerja, pemekaran wilayah) dan interlokal (diaspora Indonesia di Eropa dan diaspora Jawa di Kaledonia Baru) menunjukkan isu migrasi sebagai fenomena yang kompleks dan menjadi kesempatan baru bagi ilmu sosial-budaya untuk ikut andil didalamnya. Mengakhiri workshop, Pujo Semedi menuturkan beberapa anggota peneliti pada semester depan diharapkan dapat memulai residensi ke beberapa universitas yang tergabung dalam konsorsium dengan harapan menghasilkan tulisan final dari hasil riset program MARS.

[S1 Antropologi Budaya, Okky Chandra Baskoro]

Contemporary American Issue: Seminar Pengkajian Amerika dan Freedom of Speech di Amerika era Kontemporer

AGENDAHEADLINERilis BeritaSDGs 10: Berkurangnya kesenjanganSDGs 10: Mengurangi KetimpanganSDGs 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan Yang TangguhSDGs 4: Pendidikan Berkualitas Kamis, 22 Mei 2025

Yogyakarta, May 22, 2025 — Pada tanggal 9 Mei 2025, Pengkajian Amerika berhasil melaksanakan Seminar ”Contemporary American Issue” yang dilaksanakan di Gedung Soegondo 709. Selain memberikan kesempatan kepada audience untuk mendengar pemaparan dari Prof. Gade, seminar kali ini juga mengundang Achmad Munjid, Ph.D. sebagai pembicara kedua yang membahas topik “Contestation on Freedom of Speech in the US Today.”

Pada sesi kedua di seminar ini, isu yang diangkat membahas topik seputar bagaimana kebebeasan berbicara di Amerika kini mengalami pergeseran makna yang amat sangat  signifikan hingga ke titik dimana masyarakat di dalamnya hanya memiliki kebebasan bersuara dan beropini selama suara mereka mewakilkan suara pemerintahan. Hal ini bisa dilihat dari berbagai aspek dalam masyarakat Amerika pada masa kini. Dalam pembahasannya, dijelaskan juga bahwa berkurangnya demokrasi yang terjadi di tengah globalisasi yang semakin marak adalah karena lahirnya perspektif anti globalisasi di berbagai belahan dunia sehingga menimbulkan perpecahan antar individual, termasuk di Amerika.

Selain membahas isu-isu kontemporer yang terjadi, pembahasan kali ini juga membahas mengenai berbagai macam hal yang tengah terjadi di Amerika, sekaligus alasan hal tersebut bisa terjadi. Menelaah isu ini lebih dalam, perubahan yang terjadi di Amerika tidak jauh dari Sejarah yang melatar belakangi pembentukan Amerika. Walaupun ada banyak kontradiksi yang terjadi di Amerika pada masa kini, diskusi kali ini mengajak para peserta untuk bisa berpikir lebih kritis mengenai kesetaraan sosial, kebebasan bersuara, dan transparansi negara dalam skala nasional maupun global sebagai bagian dari warga negara Indonesia.

[S2 Pengkajian Amerika, Reni Renatawati]

123…19

Rilis Berita

  • Jadwal Kuliah Semester Gasal 2025/2026
  • Mahasiswa KKN-PPM UGM Kenalkan Pariwisata Mangrove Lewat Plang Multi-Bahasa
  • Mengenang Mendiang Eyang Nini Klenyem: Sosok Inspiratif Sastrawan Jawa Modern di Yogyakarta
  • Mahasiswa KKN-PPM UGM Edukasi Warga Getrakmoyan Olah Sampah Jadi Paving Block
  • Program Studi Magister Sastra Berhasil Meluluskan Tiga Wisudawati dalam Wisuda Pascasarjana UGM Periode IV, Salah Satunya Menjadi Lulusan Tercepat

Arsip Berita

Video UGM

[shtmlslider name='shslider_options']
Universitas Gadjah Mada

Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Jl. Nusantara 1, Bulaksumur Yogyakarta 55281, Indonesia
   fib@ugm.ac.id
   +62 (274) 513096
   +62 (274) 550451

Unit Kerja

  • Pusat Bahasa
  • INCULS
  • Unit Jaminan Mutu
  • Unit Penelitian & Publikasi
  • Unit Humas & Kerjasama
  • Unit Pengabdian kepada Masyarakat & Alumni
  • Biro Jurnal & Penerbitan
  • Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
  • Pusaka Jawa

Fasilitas

  • Perpustakaan
  • Laboratorium Bahasa
  • Laboratorium Komputer
  • Laboratorium Fonetik
  • Student Internet Centre
  • Self Access Unit
  • Gamelan
  • Guest House

Informasi Publik

  • Daftar Informasi Publik
  • Prosedur Permohonan Informasi Publik
  • Daftar Informasi Tersedia Setiap Saat
  • Daftar Informasi Wajib Berkala

Kontak

  • Akademik
  • Dekanat
  • Humas
  • Jurusan / Program Studi

© 2024 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY