Rampoe UGM yang merupakan salah satu Badan Semi Otonom di bawah Fakultas Ilmu Budaya kembali meraih prestasi pada 11th National Folklore Festival yang diselenggarakan pada 13 – 16 Maret 2017 di Auditorium Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia.
National Folklore Festival (NFF) merupakan kompetisi paduan suara dan tari tradisional terbesar se-Indonesia yang diadakan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia. Kompetisi ini dapat diikuti oleh siswa-siswi SMA, universitas, dan sanggar dan umum. Pada tahun ini, kompetisi tari tradisional dalam National Folklore Festival terdiri dari 16 tim dari kategori A (SMA), 18 tim dari kategori B (universitas), dan 11 tim dari kategori C (sanggar dan umum).
Berbeda dari tahun sebelumnya, pada tahun ini Rampoe UGM mengirimkan dua tim yang terdiri dari 19 penari, 2 syekh, dan 4 official. “Tahun ini kami mengirimkan 2 tim, yaitu tim putri yang membawa Tari Mesare-sare dan Tarek Pukat, serta tim putra yang membawa tari Rapai’i Geleng.” Ungkap Ridwan, ketua delegasi NFF 2017.
Kedua tim yang dikirim untuk mengikuti kompetisi tari tradisional pun berhasil mendapatkan juara 2 untuk Tari Mesare-sare dan Tarek Pukat dalam kategori B, dan juara 3 untuk Tari Rapa’i Geleng dalam kategori C. Menurut Laras, kemenangan Rampoe UGM ini tidak terlepas dari dukungan FIB, UGM, dan keluarga Rampoe.
Ketua Rampoe UGM, Laras Widyawati berharap Rampoe UGM bisa terus berprestasi dan berproses dengan baik ke depannya. (/Shofi)
HEADLINE
Gagasan tentang sebuah Negara bangsa Indonesia muncul secara resmi pada saat diadakannya Kongres Pemuda II tahun 1928. Pada saat itu, konsep negara bangsa yang kini menjadi Republik Indonesia adalah sebuah cita-cita, yang diperjaungkan dan menemukan momentumnya pada tahun 1928. Pada saat itulah lagu Indonesia Raya dikumandangkan, yang kemudian menjadi lagu kebangsaan Indonesia. Pada bait pertama lagu itu tercantum “…Tanah tumpah darahku//Di sanalah aku berdiri…” yang dapat dibaca bahwa pada saat lagu ini digubah, konsep negara dan bangsa masih dalam harapan dan cita-cita.
Hal tersebut diungkapkan oleh Prof. Dr. Faruk H.T., S.U. pada orasi ilmiah bertajuk “Krisis Nasionalisme: Sebuah Renungan Strategis” yang disampaikan dalam Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke-71 Fakultas Ilmu Budaya UGM, Jumat (3/3). Pada tahun ini Fakultas Ilmu Budaya UGM merayakan hari lahirnya yang ke-71 dengan mengambil tema “Multikulturalisme sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia untuk Kebhinekaan yang Harmonis”. Dalam rangka memeriahkan Dies Natalis ke-71 FIB UGM, serangkaian acara telah dilaksanakan sejak bulan Februari lalu, di antaranya adalah seminar, International Culture Festival (ICF), Hari Keluarga, pertandingan olah raga, anjangsana, dan diakhiri dengan Rapat Senat Terbuka.
Lebih jauh dalam orasi ilmiahnya, Prof. Faruk H.T., S.U mengungkapkan gagasan mengenai keindonesiaan pada sekitar tahun 1928 telah bergerak dari gerakan yang murni politik menuju gerakan kebudayaan. Seiring dengan semakin kuatnya tekanan politik pemerintah kolonial Belanda waktu itu, maka semakin kuat pula gerakan keindonesiaan yang bersifat kultural. Hal ini dibuktikan dengan munculnya kegiatan-kegiatan dan organisasi yang bersifat kultural, seperti terbitnya majalah Pujangga Baru, terbentuknya Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia), dan terjadinya polemik kebudayaan. Pada akhirnya, apa yang dinamakan nasionalisme telah mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan zaman dan konteks sejarah Indonesia.
Sementara itu dalam Laporan Kerja yang disampaikan saat Rapat Senat Terbuka, Dekan Fakultas Ilmu Budaya menyampaikan capaian-capaian kinerja dekanat FIB UGM yang merupakan keberlajutan dari program-program dekanat periode sebelumnya. Dalam ranah kelembagaan, FIB telah berhasil secara mulus merestrukturisasi jurusan dan program studi dalam departemen-departemen sesuai dengan arah kebijakan universitas. Dari sisi pengelolaan akademik, Dekan menyampaikan proporsi mahasiswa pascasarjana berdasarkan asal pendidikan mereka, yang didominasi oleh bidang ilmu tertentu, dalam hal ini Bahasa dan Sastra Inggris. “Untuk itu, ke depan kita harus memikirkan secara lebih strategis cara dan upaya agar para pendaftar dari Sastra Jawa, Sastra Indonesia, serta sastra dan baha lain tidak menjadi marjinal”, ujarnya.
Selain itu, Dekan juga menyampaikan bahwa dari sisi pengeloaan sumberdaya manusia (SDM), FIB mencatat kenaikan jumlah dosen bergelar doctor yang cukup signifikan. Pada periode 2012 – 2017 terdapat kenaikan jumlah dosen bergelar doktor dari 25,95% menjadi 43,14%, atau dari 34 orang menjadi 66 oraang. Sebaliknya, proporsi jumlah dosen bergelar master tercatat mengalami penurunan dari 64,12% menjadi 55,56%, meskipun secara kuantitatif jumlahnya masih sebesar 85 orang. “Dari jumlah tersebut, 32 orang sedang dalam proses studi S3,” tambahnya.
Sebagai penutup Rapat Senat Terbuka dalam rangka peringatan Dies Natalis ke-71 FIB UGM disuguhkan persembahan lagu-lagu yang dibawakan oleh Tim Paduan Suara Dosen, yang membawakan tiga buah lagu, yakni Goro-Gorone, sebuah lagu daerah Maluku, Plaisir D’Amour, sebuah lagu berbagasa Prancis, dan Sabda Alam. (Tim Humas FIB)
“Multikulturalisme sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia untuk Kebhinnekaan yang Harmonis” menjadi tema dalam Dies Natalis ke-71 Fakultas Ilmu Budaya UGM. Tema tersebut diangkat sebagai bentuk kepedulian dan respons Fakultas Ilmu Budaya terhadap perkembangan kondisi kehidupan bangsa dan negara Indonesia yang dewasa ini semakin memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Hiruk-pikuk politik pemilihan kepala daerah yang diselenggarakan serentak di seluruh pelosok negeri ternyata diikuti oleh menguatnya sentimen primordial-keagamaan dan merebaknya praktik-praktik intoleran, kekerasan, dan konflik horizontal yang utamanya bersumber pada egoisme dan kepentingan pribadi dan kelompok demi menggapai kepentingan politik sesaat.
Karena itu, Fakultas Ilmu Budaya memandang bahwa kondisi dan perkembangan tersebut harus disikapi dengan saksama karena bertentangan dengan semangat dan falsafah hidup bangsa yang secara historis sudah dilembagakan oleh para pendiri bangsa dalam Pancasila dan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Selain itu, sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi terkemuka di Indonesia dalam bidang kajian kebudayaan dan ilmu-ilmu humaniora, FIB bermaksud menegaskan kembali posisinya sebagai penjaga warisan sejarah dan kebudayaan bangsa serta pemberi suara kebijakan bagi masyarakat luas. FIB juga ingin kembali mengingatkan bahwa keindonesiaan yang dimiliki bangsa ini sejatinya dibangun berlandaskan pada prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan, dan penghormatan atas segala bentuk kebhinnekaan yang dimiliki anak bangsa sehingga harus terus dipelihara dan dijaga keberlangsungannya.
Dalam memperingati hari jadinya ini FIB mengajak semua komponen bangsa untuk merenungi dan menginsyafi kembali bahwa keragaman budaya, etnik, agama, ideologi, dan sebagainya merupakan bagian tidak terpisahkan dari jati diri bangsa Indonesia. Keragaman tersebut merupakan faktor-faktor utama yang secara historis telah membentuk keindonesiaan. Selain itu, FIB juga mengingatkan segenap anak bangsa tentang pentingnya upaya untuk merawat dan menjaga kebhinnekaan tersebut sebagai sebuah kekayaan bangsa serta menjadikannya sebagai sumber kekuatan kohesif bangsa dalam menghadapi tantangan zaman sehingga bisa menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara bangsa yang bermartabat dan diperhitungkan oleh dunia internasional.
Untuk itulah, dua kegiatan utama digagas dalam Dies Natalis ke-71 FIB UGM kali ini, yakni:
1. Festival Budaya Internasional (International Culture Festival).
Festival ini akan diselenggarakan pada 1 Maret 2017 di Gedung PKKH UGM. Kegiatan yang tahun lalu juga menuai sukses ini rencananya akan dimeriahkan oleh penampilan atraksi seni dan budaya serta tradisi kuliner dari berbagai wilayah di Indonesia dan dari negara-negara sahabat yang tersebar di seluruh penjuru dunia.
2. Rapat Senat Terbuka
Kegiatan ini akan dilaksanakan bertepatan dengan hari jadi FIB, yakni pada 3 Maret 2017 dan merupakan puncak dari rangkaian kegiatan Dies Natalis FIB UGM tahun ini. Dalam rapat ini Dekan Fakultas Ilmu Budaya akan menyampaikan laporan tahunan. Selain itu, Pidato Ilmiah yang bertemakan “Multikulturalisme” akan disusun dan disampaikan oleh tiga Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM dari tiga bidang ilmu di FIB, yakni Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A., M.Phil. (Antropologi), Prof. Faruk (Sastra), serta Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A. (Sejarah). Tidak lupa, pada akhir acara, kelompok paduan suara dosen dan karyawan FIB akan menampilkan tiga lagu dalam tiga bahasa: Prancis, Indonesia, dan lagu daerah Maluku.
Selain dua kegiatan utama tersebut, Dies Natalis ke-71 FIB UGM juga mengagendakan beberapa kegiatan lain yang sudah menjadi tradisi, di antaranya adalah:
1. Hari Keluarga yang akan dilaksanakan pada tanggal 26 Februari 2017
2. Olahraga yang akan dilaksanakan tanggal 18 dan 26 Februari 2017
3. Donor Darah yang akan dilaksanakan pada tanggal 20 dan 21 Februari 2017
4. Anjangsana Sesepuh FIB yang akan dilaksanakan pada tanggal 24 Februari 2017
Setelah sukses dengan agenda pemilihan Presiden LEM FIB 2017 pada Desember 2016 lalu, Panitia Pemira FIB 2016 masih harus menyelesaikan satu agenda lagi yaitu sidang umum AD/ART dan pembahasan LPJ LEM FIB 2016 serta serah terima jabatan antara Presiden LEM FIB 2016 dan Presiden LEM FIB 2017 terpilih.
Sidang umum AD/ART dilaksanakan pada 30 dan 31 Januari 2016 bertempat di ruang A211 FIB UGM. Sidang tersebut membahas kelembagaan mahasiswa yang ada di FIB. Diadakannya sidang ini bertujuan agar lembaga mahasiswa yang ada di FIB bisa lebih rapi dan teratur secara administratif dan juga memperjelas garis koordinasi serta garis komando antar lembaga. Sidang yang berlangsung dari pukul lima sore hari hingga jam sembilan malam selama dua hari menghasilkan keputusan-keputusan baru, seperti persetujuan semua pihak untuk memfungsikan kembali Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) sebagai legislatif di FIB yang akan dibentuk melalui forum komunikasi HMJ-BSO yang akan datang.
Setelah sidang usai dan AD/ART sudah disahkan, pada 1 Februari 2017 diselenggarakan pembahasan Laporan Pertanggungjawaban LEM FIB 2016 Kabinet Asakarta. Kevin Maulana Kurniawan, selaku Presiden, beserta jajarannya mempresentasikan program-program kerja yang sudah maupun yang belum terlaksana pada masa satu tahun kepemimpinannya di LEM FIB 2016. Kabinet Asakarta terdiri dari delapan kementrian dengan total 32 program kerja yang sudah terlaksana. Kementrian tersebut antara lain Advokasi, Humas dan Jaringan, Media, Sosial Masyarakat, Minat Bakat, PSDM, Kajian Strategis, dan Ekonomi Kreatif.
Usai pembahasan LPJ LEM FIB 2016, dilaksanakan pula serah terima jabatan dari Presiden LEM 2016 yang sudah resmi demisioner, Kevin Maulana Kurniawan kepada Presiden LEM 2017 terpilih, Tyassanti Kusumo Dewanti. Dengan serah terima jabatan tersebut, LEM FIB 2016 Kabinet Asakarta telah resmi demisioner dan tongkat kepemimpinan berikutnya akan digerakkan oleh Tyassanti Kusumo Dewanti dkk.
Sidang umum AD/ART dan pembahasan LPJ LEM 2016 tersebut bertujuan agar kelembagaan di Fakultas Ilmu Budaya UGM serta kinerja LEM FIB lebih baik lagi dan semakin sukses dari waktu ke waktu [suzahs].
The Theme of 15th Urban Research Plaza Forum 2017:
“Urban Resilience: Voicing ‘Others’ through Art and Culture”
Cities and urban areas in various part of the world, including in Asia and Japan and Indonesia in particular, are currently facing critical and continuous problems such as population pressure, climate change, social polarization and segregation, high unemployment, unbalanced composition of the population, endemic violence, and chronic food and clean water shortage. These problems have marginalized further powerless group in society and created stresses to all groups of societies that weaken the fabric of a city on a daily or cyclical basis to an extent that cities are no longer livable places. Among those powerless groups in urban areas are those sexually defined as ‘others’, which means among other people with disabilities, elderly people and LGBT (lesbians, gays, bisexual and transsexual).
Recently, the idea of urban resilience has a pivotal role in urban growth and planning. Yet, the concept of urban resilience is often applied only to the city as a whole, and put societal problems including the marginalization of ‘others’. Therefore, efforts are needed to include ‘others’ and strategies to give voice for them as part of the idea and practice of urban resilience.
Putting this into consideration, the 15th Urban Research Plaza Forum 2017 takes the following theme: “Urban Resilience: Voicing ‘Others’ through Art and Culture”. The forum invites urban researchers, activities and academia to discuss the role and participation of local government, communities, universities and other related stake holders, who use arts – modern and traditional – and cultural institutions, music, and social capitals in giving voice for ‘others’.
By taking this theme as a focus, the forum seeks to examine the way ‘others’ and its supporters using art and culture to negotiate their socio-cultural position in their respective societies. The forum also discusses the effectiveness of arts and culture as media for voicing the interests of ‘others’ as part of urban resilience. It is believed that arts and culture provide wider access for different agents, institutions and communities to be involved in solving such increasingly complex and sensitive urban issues in Japan as well as Indonesia.
15th Urban Research Plaza Academic Forum
Date : February 22, 2017
Venue : Multimedia Room, Rectorate Building (3rd Floor, North Wing), Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Time : 08.30am – 03.00pm
Speakers :
1. Mr. Sohei Yamada. (Osaka City University)
2. Mr. Atsushi Fujita. (Osaka City University)
3. Ms. Yu Ishikawa. (Osaka City University)
4. Dr. Farabih Fakih. (History Dept., UGM)
5. Rahmawan Jatmiko, M.A. (English Dept., UGM)
6. P. Gogor Bangsa, M.Sn. (Institut Seni Indonesia Yogyakarta)
7. Dr. Kurniawan Adi Saputra (Institut Seni Indonesia Yogyakarta)