
Yogyakarta, 17/4/2025- Di balik pertemuan-pertemuan kelas yang hangat dan diskusi lintas budaya yang akrab, ada kisah seorang tutor muda yang menjadikan pengajaran sebagai panggilan hati. Iqbal Tafqy Aunika, mahasiswa Sejarah angkatan 2022, memulai perjalanannya bersama Indonesian Culture and Language Service (INCULS) Universitas Gadjah Mada pada Juni 2024. Keputusan untuk bergabung bukan semata karena minat akademik, melainkan muncul dari tantangan yang dihadapi saat mengajar ekstrakurikuler Pramuka. Ketika menyadari belum pernah mengajar Bahasa Indonesia secara teori, Iqbal melihat kesempatan ini sebagai ruang untuk belajar, tumbuh, dan melampaui zona nyamannya.
Selama lebih dari satu tahun, Iqbal telah menjadi pengajar untuk mahasiswa dari berbagai program, seperti Gadjah Mada Immersion Fellowship (GMIF) dan Kokushikan. Namun, bagi Iqbal, menjadi tutor tidak hanya sebatas menyampaikan materi. Ia meyakini bahwa kunci pembelajaran terletak pada hubungan antar manusia. Karena itu, ia selalu memulai dengan mengenal hobi dan minat mahasiswa, lalu menjadikan itu sebagai jembatan untuk membangun kedekatan. Pendekatan ini membuat suasana kelas lebih cair dan memungkinkan mahasiswa merasa diterima, bahkan ketika perbedaan budaya terasa mencolok.
Iqbal kerap menggunakan metode yang fleksibel dengan menggabungkan pendekatan komunikatif dan gramatikal, menyeimbangkannya dengan situasi kelas, dan menyelipkan humor agar pelajaran terasa ringan. Ia juga tidak segan untuk menjelajah kota bersama mahasiswa, memperkenalkan Yogyakarta sebagai ruang belajar budaya yang hidup. “Kalau kita tahu apa yang mereka suka, pembelajaran tidak lagi kaku. Mereka jadi lebih berani untuk bertanya, berdiskusi, dan tertarik untuk mengenal Indonesia lebih dalam,” jelasnya.
Tantangan tentu ada, terutama di kelas pemula. Proses pemahaman mahasiswa kerap lambat di awal. Namun, Iqbal menghadapinya dengan kesabaran dan kreativitas. Salah satu pengalaman yang membekas adalah ketika mahasiswa asal Pakistan bertanya tentang kata-kata gaul dalam Bahasa Indonesia. Alih-alih menertawakan, Iqbal memanfaatkannya sebagai kesempatan untuk berdiskusi tentang etika berbahasa dan konteks sosial. Dialog seperti ini justru membuka ruang saling menghormati, sekaligus memperlihatkan kompleksitas budaya secara lebih jujur.
Baginya, menjadi tutor adalah juga menjadi wajah Indonesia. Saat memperkenalkan batik, misalnya, Iqbal tidak hanya menunjukkan motif atau corak, tetapi juga menyampaikan filosofi di baliknya. Dengan cara itu, ia berharap mahasiswa asing tidak hanya belajar tentang Bahasa Indonesia, tapi juga menangkap nilai-nilai yang membentuk masyarakat Indonesia. “Kami ini, secara tidak langsung, adalah delegasi budaya,” tuturnya. Ia percaya, dari ruang kelas kecil itulah muncul kesan pertama tentang Indonesia yang bisa tinggal lama dalam ingatan para mahasiswa.
Pengalaman bersama INCULS juga memberi Iqbal pelajaran yang mendalam. Ia menjadi lebih peka terhadap perbedaan, belajar menghargai budaya lain, dan menyadari pentingnya membangun hubungan yang setara. Ia bahkan masih menjaga komunikasi dengan mahasiswa yang pernah diajar, memperkuat ikatan yang telah terbentuk bukan hanya sebagai pengajar, tapi juga sebagai sahabat.
Iqbal berkomitmen untuk terus menjadi tutor selama masa kuliahnya. Menurutnya, INCULS bukan sekadar tempat mengajar, melainkan ruang bertumbuh yang membuka cakrawala baru. Ia berharap ke depan, INCULS bisa memperkenalkan Indonesia dari sisi yang lebih luas dari tarian tradisional, pakaian adat, hingga kehidupan sehari-hari yang kaya akan nilai-nilai lokal.
“Belajar Bahasa Indonesia bisa dari mana saja,” pesannya. Menurutnya, yang terpenting adalah semangat untuk memahami dan keberanian untuk membuka diri. Karena dalam bahasa, ada budaya dan dalam budaya, ada cara kita memanusiakan manusia.
[Humas INCULS UGM, Thareeq Arkan Falakh]