SDGs 4: Cultural Diversity – SDGs 4: Quality Education – SDGs 5: Empowerment – SDGs 5: Equality – SDGs 8: Culture – SDGs 10: Education – SDGs 16: Peace, Justice, and Strong Institutions
Yogyakarta, 19 Februari 2024 (UGM) – Komunitas Malam Museum menggandeng See Jane Run Team dan Departemen Sejarah FIB UGM sukses mengadakan diskusi sejarah bertajuk “Di Manakah Rumah? Cerita tentang Kehidupan Orang Indo setelah Perang Dunia Kedua dari Jane Vogel Mantiri” yang berlangsung pukul 09.00 hingga 11.30 WIB di Ruang Sidang 1 Gedung Poerbatjaraka, FIB UGM. Dr. Wildan Sena Utama bertugas sebagai moderator dengan Jean Vogel Mantiri dan Tedy Hernawan, S.S., M.A. sebagai pembicaranya. Selain dihadiri oleh mahasiswa UGM, acara tersebut juga dihadiri oleh masyarakat umum dan mahasiswa dari universitas lainnya di sekitar UGM.
Jane Vogel Mantiri menceritakan kisah hidupnya, terutama sejarah keluarganya sebagai salah satu keturunan Indo (campuran Belanda dan Bumiputera). Studi genealogi telah dilakukan dengan hasil menunjukkan bahwa leluhur Belanda Jane datang ke Indonesia pada abad ke-18. Jane sendiri lahir di Jakarta, delapan tahun pasca berakhirnya Perang Dunia ke-2. Selama beratus-ratus tahun sejak kedatangan leluhurnya itu, keluarga Jane tumbuh besar dan menetap di Indonesia. Namun, ketika upaya pengikisan terhadap warisan kolonial terjadi pada masa dekolonialisasi (1950-an hingga 1960-an), Jane sekeluarga dihadapkan oleh kenyataan pahit sehingga harus meninggalkan Indonesia.
Salah satu cerita pahit yang akan selalu diingat oleh Jane adalah tentang saudari tercinta Ayahnya, yaitu Deetje. Pada akhir Oktober 1945, Deetje sedang dalam perjalanan menaiki kereta setelah menjenguk Ayahnya, kakek dari Jane, yang sakit akibat malnutrisi pasca ditawan oleh tentara Jepang. Lalu, keretanya diberhentikan oleh “pemberontak Indonesia”. Lantas, Deetje diperkosa dan kepalanya dipenggal. Jasadnya tidak pernah ditemukan hingga kini. Trauma atas kematian Deetje terus membayangi keluarga Jane, terutama Ayah Jane. Akhirnya, keluarga Jane meninggalkan Indonesia pada September 1954 dan pergi ke Belanda. Sayangnya, kedatangan mereka di Belanda tidak diterima dengan tangan terbuka karena kulit mereka yang tidak seputih orang Eropa tulen. Pada 1960, keluarga Jane bermigrasi ke Amerika melalui sponsor sebuah gereja. Di sana, mereka mendapatkan kewarganegaraan Amerika.
Bertahun-tahun Jane tumbuh dengan rasa malu sebagai orang asing di Amerika tanpa ada negara yang bisa ia sebut “rumah”. Titik balik yang membuat Jane memutuskan untuk kembali menelusuri identitasnya sebagai keturunan Indo adalah kematian kedua orangtuanya. Lagi pula, Jane yakin apabila kejadian yang menimpa Deetje tidak terjadi, tentu kedua orang tuanya tidak akan mau meninggalkan Indonesia dan menerima kewarganegaraan Belanda. Bahkan, makanan sehari-hari mereka adalah nasi, sayur, dan sambal. Oleh sebab itu, bagi Jane, keluarga tidak selalu tentang garis keturunan, tetapi bisa juga didefinisikan sebagai budaya.
Hingga kini, Jane mengaku masih trauma dengan kejadian yang menimpa keluarganya di masa lalu. Jane pun mengatakan bahwa tidak ada obat untuk trauma. Namun, seorang yang kini menjadi psikologis-trauma itu justru menjadikan rasa trauma sebagai alasan untuk menguatkan dirinya. Hal itu ia buktikan dengan cara mengunjungi Indonesia kembali dan membagikan kisah keluarganya dalam sebuah buku. “Di manakah rumah?”, pertanyaan Jane itu akhirnya terjawab. Bagi Jane, Amerika merupakan rumah adopsinya. Sementara itu, Indonesia sebagai ibu pertiwi akan selalu menjadi tanah airnya.
“Ketika berbicara mengenai pengalaman orang Indo sendiri dan bagaimana orang Indo sebagai outsiders, instead of insiders dan juga orang-orang yang uncategories atau tidak bisa dikategorisasikan itu sebenarnya cukup pelik mengenai perspektif tersebut, karena menurutku, bagaimana cerita seperti Bu Jane ini membuka diskusi-diskusi baru, ruang-ruang baru di mana suffering atau bagaimana merananya Ibu Jane ini dalam mengupas identitasnya sendiri, dan juga dia tidak merasa belong in the one community only, tapi juga bisa didefinisikan dalam berbagai atau multi-identity itu sendiri,” tutur Tamim, mahasiswa Sejarah angkatan 2021.
Wildan Sena Utama mengatakan bahwa diskriminasi rasial memang menjadi masalah global di abad ke-20. Ia menambahkan bahwa kelompok Indo merupakan kelompok marjinal yang terlupakan. Dalam konteks Indonesia, menurut Tedy Hernawan, berubahnya konsep “keindonesiaan” antara pra abad ke-20 dan abad ke-20 turut memengaruhi perubahan pandangan terhadap kelompok Indo. Pembahasan mengenai kelompok Indo tentu meningkatkan diskursus baru terkait kelompok marjinal karena tidak semua keturunan campuran Belanda-Bumiputera hidup dalam kemewahan.