Yogyakarta yang dijuluki sebagai Kota Pelajar memiliki kuantitas dan kualitas bidang pendidikan yang sangat baik. Banyak mahasiswa menjadikan Yogyakarta sebagai salah satu destinasi untuk melanjutkan studi pendidikan, tak terkecuali pemuda Batak. Melanjutkan kehidupan dengan tujuan pendidikan di salah satu kota besar yang juga terkenal kental dengan budayanya, mengharuskan pemuda Batak beradaptasi pada lingkungan baru dengan lebih cepat dan efektif di berbagai bidang kehidupan agar pemuda Batak sukses meraih apa yang mereka usahakan. Problem seperti disimilaritas budaya menjadi tantangan yang besar untuk segera diselesaikan dengan penyesuaian diri yang baik dari pemuda Batak, ditambah lagi bagi yang baru pertama kali merantau. Dengan demikian diperlukan bekal ilmu dari kampung halaman untuk bisa bertahan di dunia perantauan.
Berangkat dari persoalan adaptasi tersebut, Tim Kreativitas Mahasiswa Bidang Riset Sosial dan Humaniora (PKM-RSH) UGM melakukan penelitian belum lama ini. Tim yang beranggotakan Geraldo Situmorang (Kehutanan 2020), Julian Dwi Efendi (Sejarah 2020), Fahri Reza (Sastra 2021), Hendra Prasetya (Kebijakan Publik 2022), dan Iqbal Sinulingga (Teknologi Industri Pertanian 2022) telah berhasil melakukan penelitian dengan topik “Dalihan Na Tolu : Life Survival System Orang Batak di Perantauan pada Komunitas Mahasiswa Batak Toba Yogyakarta”.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, terungkap bahwa falsafah Dalihan Na Tolu yang merupakan sistem kekerabatan sanggup menjadi pembawa perubahan dalam penyesuaian diri mahasiswa Batak di perantauan. Adanya marga yang menjadi dasar berjalannya sistem membawa mahasiswa masuk ke dalam komunitas, baik di dalam maupun luar kampus. Adanya komunitas dari mahasiswa Batak Toba menjadi implikasi dari persoalan adaptasi yang dihadapi mahasiswa Batak ditambah interaksi sesama orang Batak yang ada di perantauan.
Dalihan Na Tolu diartikan sebagai tiga tungku yang terdiri dari Manat Mardongan Tubu, Somba Marhula-hula, dan Elek Marboru. Ketiganya merupakan trilogi inti yang berlaku sebagai tema dasar dari Dalihan Na Tolu. Peran Dalihan Na Tolu dalam mempermudah mahasiswa Batak beradaptasi di Yogyakarta diterapkan dengan tarombo. Tarombo merupakan sistem yang dibentuk dengan asas kekeluargaan yang menunjukkan hak dan kewajiban seseorang terhadap keluarganya dengan menggarisbawahi peran dan fungsi seseorang dalam struktur kekeluargaan yaitu melalui partuturan (tutur-sapa). Dengan begitu, mahasiswa diajarkan untuk bersikap bagaimana, kepada siapa, untuk alasan apa, dan tidak terbatas hanya pada struktur keluarga.
Sistem Dalihan Na Tolu, yang mengajarkan interaksi sosial dalam budaya Batak, berdampak pada pembentukan komunitas Batak di dalam dan di luar kampus. Beberapa komunitas seperti Komunitas Mahasiswa Batak (Universitas Atma Jaya Yogyakarta), Imbada (Universitas Duta Wacana Yogyakarta), Sada Pardomuan (Universitas Sanata Dharma Yogyakarta), dan Marga Sumut (Universitas Gadjah Mada) di Yogyakarta membantu mahasiswa dalam beradaptasi sosial. Motivasi bergabung dengan komunitas bervariasi, dan kegiatan yang diadakan oleh komunitas mampu membantu menjaga warisan budaya Batak.
Di luar kampus, komunitas berbasis marga seperti Situmorang dan Parna serta kelompok pemuda gereja juga memberikan dukungan dan memperluas jaringan sosial mahasiswa. Namun, terdapat beberapa pergeseran dari sistem Dalihan Na Tolu, seperti penggunaan sistem pemanggilan bahasa Batak yang terbatas pada lingkungan sesama Batak dan penurunan pemahaman tentang sistem Partuturan. Mahasiswa merasa malu atau kurang edukasi dalam menggunakan bahasa Batak, dan sistem pemanggilan tradisional mulai bergeser menjadi penggunaan bahasa umum seperti “Mas” dan “Mbak.” Ini mengindikasikan perubahan dalam pembelajaran budaya Batak di kalangan mahasiswa perantauan.
Dalam penerapan konsep Dalihan Na Tolu, terdapat dua faktor yang memengaruhi mahasiswa Batak di Yogyakarta. Faktor internal dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan yang diwariskan dari keluarga terdekat, kurangnya kepedulian terhadap tradisi adat, rasa penasaran yang tinggi terhadap budaya lokal, dan kurangnya partisipasi dalam acara adat di perantauan. Faktor eksternal, dipengaruhi oleh perbedaan budaya antara Batak Toba dan Kota Yogyakarta, yang didominasi oleh budaya Jawa dan budaya lainnya. Keberagaman mahasiswa dari berbagai daerah juga berkontribusi pada percampuran budaya.
Dengan demikian , sistem Dalihan Na Tolu dan tarombo sebagai penerapannya membantu mahasiswa Batak dalam beradaptasi. Marga dan komunitas Batak di dalam dan di luar kampus menjadi wadah yang mempermudah proses adaptasi dan memungkinkan mahasiswa untuk menjalin hubungan sosial. Namun, dari hasil penelitian terindentifikasi adanya pergeseran dalam penerapan budaya Batak, terutama dalam penggunaan bahasa Batak dan sistem partuturan. Faktor internal, seperti kurangnya pengetahuan yang diwariskan dari keluarga, dan faktor eksternal, seperti dominasi budaya Jawa, memengaruhi perubahan ini. Dalam analisis lebih dalam, pergeseran dalam penggunaan bahasa dan partuturan menunjukkan adanya penyesuaian budaya yang terjadi pada mahasiswa Batak di Yogyakarta. Meskipun Dalihan Na Tolu tetap menjadi pegangan, implementasinya dapat berubah sesuai dengan lingkungan budaya yang dihadapi.