Tiga mahasiswa master Fakultas Ilmu Budaya menyajikan hasil penelitian awal di Albert Ludwig Universitat Freiburg, mengenai krisis pengungsi Timur Tengah di Jerman. Mereka melakukan penelitian sejak bulan Oktober 2016 selama 3 bulan untuk bahan untuk penulisan thesis dan artikel jurnal di bawah supervisi Profesor Judith Schlehe, Institut Etnologi, ALU. Ketiga mahasiswa tinggal bersama keluarga Jerman yang banyak terlibat dalam mengurus para pengungsi. Data dikumpulkan melalui partisipasi dengan para pengungsi di wisma penampungan mereka.Rani Fajri mengungkapkan penggunaan ruang publik kota oleh para pengungsi yang sehari-hari banyak memiliki waktu luang setelah kursus bahasa. Oleh Pemerintah Jerman mereka diarahkan untuk membangun jaringan social dan banyak teman. Akan tetapi dorongan ini tidak selalu dapat dijalankan dengan baik. Ruang publik di kota ternyata bisa menjadi ranah yang sangat menekan dan membuat jengah sehingga sebagian pengungsi memilih diam di penampungan dan kian erat memegang norma serta nilai mereka sendiri.Ida Syarifa mengungkapkan kehidupan di Jerman bagi para pengungsi telah mengubah relasi gender dalam keluarga. Dibuka oleh keadaan, kaum perempuan mendapat kesempatan memasuki ranah publik tanpa dijaga oleh suami. Didorong oleh keadaan pula, kaum lelaki yang di negeri asal lebih banyak berada di ranah publik harus ikut bertanggungjawab dengan urusan domestik. Kehidupan di Jerman telah membuat batas ruang publik dan domestik yang semula terbedakan tegas secara gender menjadi kabur dan relasi gender dalam ruang domestik menjadi semakin setara.
Penelitian Rezki Handarta mengenai komunikasi verbal sebagai jembatan awal untuk mengintegrasikan para pengungsi ke masyarakat Jerman. Komunikasi tertulis dengan pamflet, poster, booklet menggunakan kalimat-kalimat asertif yang menyarankan bagaimana cara berlaku yang tepat dan sangat krusial bagi adaptasi para pengungsi dalam masyarakat Jerman karena ternyata ada banyak tata kehidupan yang sangat mendasar dijalankan secara berbeda namun dapat menjadi penghalang proses integrasi.
Penelitian ketiga mahasiswa ini mengungkapkan bahwa mengungsi adalah mobilitas geografis, sosial dan kultural sekaligus, dengan politik dan bahasa sebagai salah satu pagar besar yang harus dilintasi. Setelah habis-habisan menembus batas negara, para pengungi masih harus mampu menembus batas bahasa agar dapat menjadi bagian dari masyarakat yang dengan besar hati membuka pintu untuk mereka. ( Pujo Semedi, FIB)