Program Studi S3 Humaniora Fakultas Ilmu Budaya UGM menyelenggarakan Workshop bertajuk “Arsip dalam kajian Humaniora”, di ruang Sidang 1, Gedung Poerbatjaraka, 24-26 April 2016. Workshop ini menghadirkan pakar di bidang Kearsipan, Dr. Sri Margana, M. Phil. (UGM) dan Dr. Mona Lohanda (Arsip Nasional, Jakarta).
Dr. Sri Margana, M. Phil dalam pemaparannya membahas penggunaan arsip lokal, khususnya Jawa, yakni Arsip Pakualaman. Arsip-arsip sejenis juga bisa ditemukan di perpustakaan Mangkunegara Solo, Jawa Tengah dan Arsip Nasional Jakarta. Keberadaan Arsip yang berbahasa lokal sangat memudahkan peneliti yang bergiat dalam penelitian Humaniora. Menurut Margana, Arsip sangat membantu para peneliti sastra, budaya, bahasa, hukum, dan sejarah dalam memperoleh informasi mengenai informasi peristiwa pada periode yang diteliti, khususnya abad XIX karena kebanyakan arsip sudah dibundel dan diregister dengan baik. Bahkan menurut Margana, para dokter juga memerlukan arsip untuk mengetahui jenis penyakit yang pernah berkembang di kota-kota Indonesia sejak VOC sampai abad XIX, berikut cara-cara mengatasinya. Riset-riset penanggunalangan penyakit pada masa colonial hanya bisa diketahui melalui pembacaan arsip. Meskipun demikian, Dr. Margana menyarankan agar para peneliti terlebih dahulu harus mengetahui dan paham tentang bahasa yang ada dalam arsip.
Sementara itu, Dr. Mona Lohanda sependapat dengan Margana bahwa kemampuan bahasa dalam membaca arsip adalah kunci penting dalam memahami isi dan makna arsip untuk kepentingan penelitian dalam Ilmu Humaniora. Tampak bahwa minimnya penguasaan bahasa sumber arsip menurut Mona Lohanda, menjadi penyebab minimnya kontribusi arsip sebagai sumber pengetahuan dalam kajian ilmu Humaniora, terutama pada aspek bahasa, sastra, hukum, dan budaya.
Lebih lanjut, Dr. Mona Lohanda memaparkan betapa kayanya ilmu pengetahuan yang bersumber dari arsip untuk kajian berbagai ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu Humaniora. Mona Lohanda meyakinkan bahwa produksi arsip sejak masa VOC, kolonial Belanda, masa Jepang, dan awal kemerdekaan beserta kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara menjadi laboratorium Ilmu pengetahuan yang luar biasa kayanya, tidak akan habis. Oleh karena itu, bagi yang belum punya topik penelitian, Mona Lohanda menyarankan untuk tidak ragu mengambil topik penelitian karena arip sangat tersedia di berbagai lembaga, khususnya Arsip nasional, Arsip Daerah, Pusat Sejarah ABRI, Arsip perusahaan, Perpustakaan Nasional, dan sebagainya.
Peserta lokakarya berasal dari berbagai disiplin di lingkungan UGM, terutama sekolah Vokasi Prodi Kearsipan UGM dan yang tergabung dalam Program Studi S2 dan S3 Ilmu-Ilmu Humaniora Fakultas Ilmu Budaya UGM. (k-ode)
Lecture Series on Theory
Hari/Tanggal: Selasa, 3 Mei 2016
Waktu: Pukul 08.00 – 10.00 WIB
Tempat: Ruang A201, Fakultas Ilmu Budaya, UGM
Pembicara: Prof. Dr. Noorhaidi Hasan, M.A. (UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)
Being Young, Muslim, and Indonesian:
Kesalihan, Konsumsi dan Aktivisme Kaum Muda
Presentasi ini membahas bagaimana kaum muda Indonesia sedang terlibat dalam mengkontekstualisasi ulang keyakinan teologis dan identitas agama mereka sambil menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi yang melekat antara Islam dan modernitas global. Berfokus pada kaum muda di kota-kota provinsi, paper ini mengidentifikasi cara di mana mereka muncul menjadi negosiator yang aktif antara yang lokal dan global dan mengeksplorasi beberapa model ekspresi keagamaan dalam upaya untuk menempatkan diri dalam konteks sosial dan budaya yang tengah berubah. Setelah mendiskusikan latar belakang sejarah kontribusi sentral kaum muda dalam pembentukan Indonesia, presentasi ini mengkaji respon mereka terhadap kemunculan simbol-simbol Islam dalam ruang publik Indonesia. Dalam konteks ini menarik untuk melihat gaya hidup kaum muda serta kreativitas mereka dalam menempa aktivisme dengan mengadaptasi dan mendialogkan Islam dan lokalitas dan mengubahnya menjadi komoditas simbolis berselera global. Mereka tidak pernah merasa bahwa memegang teguh keyakinan dan identitas agama bermakna menghalangi partisipasi mereka dalam hiruk pikuk modernitas dan globalisasi. Dengan menggunakan simbol dan wacana agama mereka justru terlibat dalam menyuarakan berbagai keprihatinan bersama menyangkut persoalan-persoalan publik yang menggelayuti perkembangan kekinian di Indonesia dan berupaya membangun kesadaran bersama tentang nilai-nilai universal. Lahir dalam lingkungan sosial yang telah ‘terislamkan’, mereka melihat Islam sebagai sumber utama referensi tentang masa depan dengan sikap kritis yang cukup genuine terhadap pemahaman teologis yang kaku dan tertutup. Presentasi ini pada akhirnya berupaya melihat bagaimana kaum muda Indonesia sedang mengukir ruang sosial-budaya baru dan modernitas yang khas untuk kemudian merekonstruksi identitas melalui refleksivitas diri.
Noorhaidi Hasan adalah Guru Besar Islam dan Politik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan sekarang menjabat sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana di kampus yang sama. Ia meraih PhD dari Universitas Utrecht Belanda. Di antara publikasinya Islam in the Public Sphere: The Politics of Identity and the Future of Democracy in Indonesia, co-edited by Irfan Abubakar. Jakarta: CSRC and Konrad Adenauer Stiftung, 2011; “Piety, Politics, and Post-Islamism: Dhikr Akbar in Indonesia”, Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, 50, 2 (2012): 369-390; “Islamist Party, Electoral Politics and Da‘wah Mobilization among Youth: “The Prosperous Justice Party (PKS) in Indonesia”, Journal of Indonesian Islam, 6, 1 (2012): 17-47; “Post-Islamist Politics in Indonesia,” dalam Asef bayat (ed.), Post-Islamism The Changing Faces of Islamism. Oxford: Oxford University Press, 2013, pp.157-184; “Between the Global and the Local: Negotiating Islam and Democracy in Provincial Indonesia”, in In Search of Middle Indonesia: Middle Classes in Provincial Towns, ed. Gerry van Klinken and Ward Berenschot. Leiden dan Boston: Brill, 2014, pp. 170-197; Indonesian and German Views on the Islamic Legal Discourse on Gender and Civil Rights, edited volume, disunting bersama Prof Fritz Schulze. Wiesbaden: Harrassowitz Verlag, 2015; dan “Violent Activism, Islamist Ideology, and the Conquest of Public Space among Youth in Indonesia”, dalam Youth Identities and Social Transformations in Modern Indonesia, edited volume, disunting Kathryn Robinson. Leiden dan Boston: Brill, 2015, pp. 200-215.
Lecture Series on Theory FIB UGM
Tema: Media dan Mediatisasi Budaya
Selasa, 12 April 2016
Pukul 08.00WIB
Ruang A.201
Pembicara: Dr. Ratna Noviani
(Kajian Budaya dan Media, SPs UGM)
Kehadiran teknologi media tidak hanya mengubah praktik komunikasi antar manusia tetapi juga mengubah beragam praktik budaya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Di dunia serba media, beragam realitas menjadi termediasi, praktik sosio-kultural mulai dari praktik konsumsi, politik, agama bahkan parenting pun dilakukan ‘via media’. Media telah menjadi bagian integral dalam praktik kehidupan sehari-hari. Mediatisasi merupakan konsep analitis yang digunakan untuk mengkaji transformasi budaya dalam dunia serba media dan interrelasi antara perubahan media dan perubahan budaya dalam kehidupan sosial.
Pembangunan gedung baru Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM resmi dimulai, Kamis (31/3) ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Rektor UGM dan 8 orang perwakilan dari fakultas. Gedung baru yang diberi nama gedung R. Soegondo ini nantinya akan dipergunakan untuk kegiatan perkuliahan, kantor-kantor, serta pusat pelatihan bahasa.
“Saya berharap gedung ini nantinya dapat digunakan untuk menjalankan amanat mencerdaskan bangsa dan memberi manfaat bagi masyarakat,” jelas Dekan FIB UGM, Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono, M.A., saat membuka upacara tersebut.
Pembangunan gedung ini, menurutnya, kental dengan nuansa wanita, salah satunya karena pembangunan ini dilakukan berdasarkan visi dari dekan sebelumnya yang merupakan seorang wanita. Karena itu, dalam upacara peresmian pembangunan ini peletakan batu dilakukan oleh 9 orang wanita. Ia pun mengakui bahwa pembangunan gedung dapat terlaksana karena usaha yang sudah dimulai oleh dekan sebelumnya.
Usaha ini mendapat apresiasi dari Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D. “Saya merasa bangga FIB mampu berupaya secara mandiri untuk menyiapkan dana yang diperlukan. Kami dari universitas juga memberikan bantuan, tetapi kekuatan terbesar ada di fakultas,” jelasnya.
Dalam sambutannya, Rektor menyampaikan bahwa makna dari pembangunan ini bukan sekadar soal pembangunan gedung kuliah secara fisik, tetapi mendirikan sebuah balai nasional yang bermanfaat untuk ikut membangun ilmu pengetahuan dan budaya. Ia pun meminta perhatian dan kerja sama dari segenap pihak, khususnya civitas FIB, untuk bersama-sama menciptakan lingkungan belajar yang lebih baik, nyaman, dan kondusif, sehingga dapat menunjang proses belajar-mengajar.
Untuk mewujudkan hal tersebut, gedung ini akan dibangun dengan konsep yang ramah lingkungan, salah satunya dengan menggunakan teknologi-teknologi yang mampu menghemat penggunaan energi. Hal ini sejalan juga dengan konsep pembangunan kampus terbuka hijau yang juga digalakkan oleh Rektor sebelumnya, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc.,. Saat menjabat sebagai rektor, ia sempat mengumpulkan dekan fakultas-fakultas sosial humaniora untuk membahas rencana membangun kawasan kampus yang terbuka, menyatu, serta berwawasan lingkungan.
Dwikorita berharap pembangunan gedung baru FIB dapat menjadi bagian dari rancangan besar tersebut, dan dalam waktu ke depan gedung ini dapat digunakan untuk kemanfaatan bangsa dan negara. “Semoga semangat pengembangan budaya dapat semakin berkobar, semakin menyala dengan berbagai karya yang akan terus tercipta, dan terus mendukung loncatan Indonesia menuju masa depan yang lebih maju,” tambahnya.
Gedung R. Soegondo ini akan dibangun dengan tujuh lantai dan satu lantai semi-basement dengan luas bangunan 9.985 m2. Pembangunan blok pertama dari 3 blok yang direncanakan akan dibangun secara bertahap dan diperkirakan akan mampu diselesaikan dalam waktu 12 bulan, hingga Maret 2017. (Humas UGM/Gloria)
Lecture Series on Theory
Hari/Tanggal: Selasa, 29 Maret 2016
Waktu: Pukul 09.00 – 11.00
Tempat: Ruang A201, Fakultas Ilmu Budaya, UGM
Pembicara: Dr. Kris Budiman, dosen Program Studi Kajian Budaya dan Media, SPs UGM
Tema:
Estetika Semiotik Peircian: Teori dan Penerapan
Pendekatan estetika yang berdasarkan pada konsep-konsep semiotika Peircian memahami karya seni sebagai tanda-tanda yang terjalin dalam proses semiosis