Yogyakarta, 21/1/2025 – Hari pertama Konferensi Internasional ke-20 Asosiasi Internasional untuk Studi Migrasi Paksa (IASFM20) dilaksanakan pada Selasa, 21 Januari 2025 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Serangkaian agenda di hari pertama meliputi sambutan-sambutan, kuliah umum, sidang pleno, presentasi kreatif, berbagai sesi paralel, Rapat Umum IASFM, dan makan malam bersama.
Dokumentasi Departemen Antropologi UGM
Setelah upacara pembukaan yang diselenggarakan di Gedung Grha Sabha Pramana, agenda dilanjutkan dengan adanya kuliah umum yang bertajuk “International Migration and Forced Displacement in The Southeast Asia Region” yang disampaikan oleh Prof. Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, M.A., profesor dengan spesialisasi di bidang keamanan nasional dan isu-isu strategis di Indonesia. Beliau memegang posisi penting di Pusat Penelitian Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), di mana beliau mendedikasikan karirnya untuk mendalami migrasi, keamanan manusia, dan hubungan internasional, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Prof. Pudjiastuti adalah seorang ahli yang diakui dalam bidang migrasi paksa dan penyelundupan manusia. Penelitiannya yang secara signifikan mempengaruhi pembuatan kebijakan dan wacana akademik tentang isu-isu tersebut.
Setelah diselingi dengan sesi coffe break, terdapat sesi pleno dengan topik “Reflection on the Global Agenda for International Migration“. Sesi pleno tersebut diawali dengan penyampaian materi “Global Migration Agenda and Realities in Southeast Asia” yang mengkaji hubungan antara agenda migrasi global dan realitas di lapangan di Asia Tenggara. Presentasi ini menyelidiki dampak dari kebijakan migrasi dan suaka ASEAN (atau ketiadaan kebijakan tersebut) terhadap perlindungan hak-hak migran, perdebatan mengenai keteraturan dan ketidakteraturan dalam konteks Asia Tenggara dengan fokus khusus pada bagaimana ASEAN menangani migran dari Myanmar setelah kudeta Februari dan isu represi transnasional. Presentasi ini diakhiri dengan beberapa pemikiran untuk memikirkan kembali implikasi dari kurangnya tata kelola migrasi ASEAN serta komitmen terhadap perlindungan hak-hak migran di kawasan ini. Materi tersebut disampaikan oleh Dr. Sriprapha Petcharamesree, ahli dalam bidang hak asasi manusia, studi ASEAN/SEA, migrasi, kewarganegaraan, bisnis dan hak asasi manusia, serta hubungan internasional.
Materi kedua disampaikan oleh Prof. Ranabir Samaddar, ilmuwan politik India yang menjabat sebagai Ketua Terhormat dalam Studi Migrasi dan Migrasi Paksa di Mahanirban Calcutta Research Group. Beliau menyampaikan materi dengan judul “Protection as Punishment” yang dalam penjelasannya, Prof. Ranabir Samaddar mengungkapkan bahwa sosok pengungsi dalam situasi tertentu mewakili keberadaan ilegal – yang secara “sah” kehilangan hak, moda mobilitas, dan sumber daya. Kemanusiaan dalam kondisi seperti itu mengikat sosok ilegal ini dengan negara demi kelangsungan kehidupan ilegal atau semi-legal. Kedaulatan dikembalikan oleh neoliberalisme dengan cara ini. Mode kontrol digital dan mode kontrol lainnya digunakan. Dan, ingat, di sini juga, alasan di awal selalu perlindungan. Memang, dorongan global compact untuk menggunakan teknologi baru untuk melindungi pengungsi dan migran sangat jelas dan lantang.
Pada penyampaian materi terakhir, Dr. Susan Banki, ahli dalam bidang politik, kelembagaan, dan sosial, menjelaskan akar dan solusi untuk pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran keadilan sosial, menyampaikan materi dengan judul “What Refugee Activists Contribute to Global Protection Regimes“. Menurut beliau, agenda migrasi global, proses, dan aktor yang terkait dengannya dapat dibedakan dari Global Protection Regime yang tanpa ragu mengedepankan perlindungan terhadap populasi migran daripada kontrol terhadap mereka. Dalam materi ini, Dr. Susan Banki menunjukkan bahwa migran dan pengungsi memainkan peran penting dalam bentuk-bentuk aktivisme yang memajukan Global Protection Regime.
Dengan berakhirnya hari pertama Konferensi Internasional ke-20 IASFM di Universitas Gadjah Mada, diskusi secara mendalam telah membuka portal penghalang bagi kolaborasi lebih lanjut dalam mengkaji isu-isu migrasi paksa di tingkat regional maupun global. Para peserta, baik yang berprofesi sebagai peneliti atau individu yang tertarik dengan topik ini tidak hanya mendapatkan wawasan baru dari para pakar ternama, tetapi juga diajak untuk merenungkan peran kebijakan, teknologi, dan aktivisme dalam menciptakan sistem perlindungan yang lebih inklusif dan adil bagi para migran dan pengungsi.
[Humas FIB UGM, Muhammad Ebid El Hakim]