Yogyakarta, 17 November 2025 – Apakah masuk angin benar-benar penyakit, atau sekadar konstruksi budaya yang membentuk cara masyarakat memahami tubuh dan kesehatan?
Pertanyaan ini menjadi fokus diskusi yang menghadirkan Prof. Dr. Atik Triratnawati dari Fakultas Ilmu Budaya UGM, yang dalam sebuah episode Podcast UGM memaparkan hasil penelitiannya mengenai fenomena yang sangat akrab dalam kehidupan masyarakat Indonesia ini.
Prof. Atik menjelaskan bahwa masuk angin bukanlah diagnosis medis, melainkan konsep budaya yang menggambarkan keluhan seperti lelah, tidak enak badan, dan sensasi dingin. Penelitiannya mengklasifikasikan masuk angin menjadi tiga tingkatan: ringan, berat, dan angin duduk—kategori terakhir yang kerap disalahpahami, padahal merupakan kondisi serius menyerupai serangan jantung dan memerlukan penanganan medis segera.
Diskusi ini juga membahas praktik kerokan sebagai penanganan tradisional yang umum. Dalam podcast tersebut, Prof. Atik menekankan pentingnya teknik yang tepat—mulai dari sudut sekitar 45 derajat hingga pemilihan alat dan minyak—karena kesalahan dapat menimbulkan risiko kesehatan. Bagi masyarakat, koin, bawang merah, atau minyak herbal bukan hanya alat, tetapi bagian dari pengetahuan budaya yang diwariskan lintas generasi.
Selain itu, istilah masuk angin telah berkembang menjadi metafora sosial dan politik untuk menggambarkan kondisi yang tidak stabil atau tidak berjalan sebagaimana mestinya. Perluasan makna ini menunjukkan kuatnya posisi masuk angin dalam bahasa dan budaya Indonesia.
Melalui penelitian dan pemaparannya di Podcast UGM, Prof. Atik menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara pelestarian praktik tradisional dan pemahaman medis modern. Edukasi dan dokumentasi menjadi kunci agar tradisi seperti kerokan tetap dihargai, namun tetap aman bagi masyarakat. Fenomena masuk angin pada akhirnya memperlihatkan bagaimana budaya, bahasa, dan pengalaman tubuh saling berkaitan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
[Antropologi Budaya, Daiva Keefe Kalimasadha]
